2. Jayagiri dan Jelita

3493 Kata
Anjani sedang menghapus polesan merah di bibir suara berdecit terdengar di kasur. Pria tampan yang berbaring di atasnya berputar. Mata coklat pria muda itu mengedut ketika cahaya matahari menyentuh matanya. Anjani sengaja membuka tirai dan jendela untuk mengusir semua nuansa yang tersisa di kamar ini, tapi sinar matahari pagi tidak pernah menjadi sambutan yang baik bagi para pelanggannya. Untungnya pelanggan satu ini tidak pernah protes berlebihan atau berhenti menggunakan jasanya hanya karena seberkas sinar. “Kamu bangun pagi sekali,” Pria itu bicara dalam bahasa Melayu yang santun lagi halus. Suaranya setengah mengeluh. “Selalu.” Anjani tertawa pelan. “Aku wanita karir yang sibuk.” Pria itu mengendurkan otot-ototnya sejenak, membiarkan Anjani melihat torsonya yang berotot, bisepsnya yang kencang, dan separuh tubuh perkasanya secara cuma-cuma. Kulitnya yang sawo matang mengilap seperti logam kualitas tinggi, campuran tembaga dan kuningan yang mewah. Anjani tersenyum memuji keberuntungannya hari ini. Pria indo itu berbaring menghadap dirinya yang tengah bercermin. Senyum terlukis di wajahnya yang tampan, persis matahari yang mengintip di ufuk timur setiap pagi. Mata Anjani merayap turun ke tubuh telanjang pria itu. Separuhnya tertutup dengan sia-sia oleh selembar selimut putih. Pondokan Salumi mungkin tidak menyediakan minuman yang tidak berbau seperti kencing kuda ataupun makanan yang layak, tapi tempat tidur mereka cukup memadai untuk tamu-tamu yang memang hanya ingin dihangatkan oleh para wanita. Selimutnya tebal, kasurnya empuk, dan temboknya pandai menjaga rahasia. Anjani memberikan senyumnya yang paling cantik kepada pria itu. Senyumnya yang paling profesional. “Tidurmu nyenyak?” Pria itu bersenandung. Suaranya jernih, tidak seperti kaum kelas kuli yang sumbang dan serak. “Kamu masih bertanya?” Anjani balas menggumam, lalu berpangku tangan di depan meja rias. “Entahlah, Rass,” jawabnya. “Kamu tampak resah sekali semalam. Seperti orang gelisah.” Frederick Rass melirik langit-langit. Pandangannya menerawang. Senyumnya hilang. “Kamu dengar soal rumor yang beredar di Dengklok belakangan ini?” Anjani menggeleng. “Ada banyak sekali rumor.” Rass tertawa renyah. “Soal kejadian yang baru ini terjadi di Dengklok,” ujarnya. “Penemuan lima mayat dalam keadaan tersayat-sayat dan digantung di hutan.” “Oh, berita yang itu.” Anjani ingat betul saat semua surat kabar, Londo maupun Melayu, membahas penemuan lima mayat ambtenaar di tepi hutan wilayah Dengklok. Berita menamai kasus itu sebagai pembunuhan tragis dan tidak manusiawi. Semua orang heboh dan Marsose serta Polisi bersama-sama berusaha keras mengungkap kasusnya. “Bukankah pelakunya pemberontak?” Anjani menyahut dengan tenang. “Pemberontak yang anti-rakta?” “Itu rumor yang berkembang karena korban-korbannya dari Divisi Empat yang khusus menyelidiki Rakta,” Wajah Rass berubah muram. “Tapi kenyataannya tidak semudah itu.” Anjani mencondongkan tubuh ke arah Rass. “Oh ya? Ada sesuatu yang lain?” “Seorang saksi mata yang kami lindungi. Dia satu-satunya yang selamat.” “Ah, ada yang selamat juga rupanya.” “Tapi dia gila.” Rass mengernyit, seolah sedang mengingat hal yang tidak ia sukai. “Ocehannya tidak ada yang masuk akal: bola api terbang, cahaya aneh, korban-korban yang kata dia tersayat-sayat sendiri.” Anjani terkikik. Tangannya menyentuh dahi Rass. “Karena itulah kamu punya kerutan dalam di sini.” Rass tertawa, lalu mengecup jari Anjani. “Ya, itu memang ucapan orang gila. Tapi salah satu ucapannya membuatku khawatir.” Anjani semakin penasaran. “Ucapan apa?” Tiba-tiba, Rass mengenggam tangan Anjani begitu erat. Seperti mencari pegangan bagi dirinya sendiri. Kemudian kata-kata itu meluncur dari mulutnya: “Dayuh dari Girah.”   Kesunyian tiba-tiba mengepung ruangan itu. Tapi hanya untuk sesaat, sebelum Anjani menyentil hidung Rass dan menarik tangan kirinya dari pria itu. “Itu konyol.” Rass ikut tertawa. “Ya, aku tahu. Aku juga tidak menganggapnya serius. Tapi rumornya semakin kencang berbunyi sejak kemarin.” “Ah, hantu dari Girah berabad-abad lalu itu membunuh orang lagi?” tebak Anjani. “Ya.” Wajah Rass kembali suram. “Satu divisi Marsose wilayah selatan Jayagiri dibantai saat berpatroli. Dengan cara yang sama seperti lima ambtenaar itu. Dengan saksi mata yang juga menuturkan hal yang sama.” Anjani mengingat-ingat. “Ah, ya, kalau tidak salah aku juga dengar beritanya,” ujarnya. “Ada surat ancaman juga yang datang ke markas Marsose Jayagiri keesokan harinya.” “Ditulis dengan tinta merah, seperti darah, tapi ternyata palsu.” Rass menghela napas. “Hanya cat merah.” “Oh? Aku tidak tahu yang itu.” “Kamu ini….” Rass mencubit pipi Anjani gemas. “Kamu ini Jager, sedikit banyak, cobalah untuk peduli pada sekelilingmu!” “Kalau mereka tidak menghasilkan uang, untuk apa aku peduli?” Anjani melepaskan cubitan Rass. “Aku sudah cukup repot karena satu tangan di sini. Untuk apa aku peduli pada penjahat tanpa poster buronan?” Rass duduk di atas ranjang. Senyumnya yang menggoda memudar. “Ada seseorang lagi yang mengatakan hal buruk tentangmu?” Anjani berputar kembali ke cermin. “Tidak ada yang tidak bisa aku lalui.” Wajah sempurna Rass dihampiri kabut mendung. Pria itu mencondongkan tubuh mendekat sementara kedua mata Anjani terpaku ke cermin. Wanita itu sudah sibuk menghapus sisa riasan yang tidak terhapus air mandi. “Kamu mau cerita?” Rass bertanya. Suaranya penuh empati, tapi Anjani melihat kilatan kemarahan di matanya. “Aku bisa menghajarnya sekarang juga.” Anjani tertawa renyah. “Apa kata Societeit jika kamu menghabiskan usaha sebegitu besarnya untuk seorang p*****r?” “Aku tidak peduli kata-kata mereka.” Rass menyapukan buku jarinya ke pipi Anjani. “Kebanyakan hanya omong kosong.” Sekali lagi Anjani tertawa. “Yah, kamu tidak salah untuk yang satu itu.” Anjani mencondongkan badan ke cermin, menatap wajah pucat seorang wanita yang senyumnya hampa. Sepasang mata biru wanita itu tajam, seperti langit lembayung ketika senja tenggelam. Mata itu dipoles oleh alis yang melekuk tajam secara alami dan bulu mata yang lentik. Tulang pipinya bulat dan bibirnya penuh. Tapi kulitnya pucat. Putih dalam rona yang tidak seharusnya ada di tubuh makhluk Sekala. Ketiadaan rona itu menghapus ciri gadis Bali yang pernah menempel begitu erat di wajah wanita itu. Di masa lalu. Ia meraih sisir, merapihkan rambutnya untuk kali terakhir sebelum mengikatnya dalam kucir kuda rendah. Ia mengikat tali itu dalam bentuk pita. “Aku sudah menyisakan air hangat untukmu.” Anjani melirik ke arah Rass. Jarinya yang tertutup sarung tangan biru gelap menunjuk toilet di dalam kamar. Salah satu dari banyak fasilitas mewah kamar ini yang telah disewa oleh Rass. “Segeralah mandi sebelum dingin.” “Bagaimana kamu tahu aku akan segera bangun?” Rass bertanya dan tanpa menoleh pun, Anjani tahu, ada senyuman genit di wajah pria itu sekarang. Anjani tersenyum miring. “Bagaimana mungkin aku tidak mengenal pelangganku yang paling setia?” Rass menyentuh dadanya yang berotot. “Aku sangat tersanjung, Meisje.” Anjani lanjut mengancingkan dasinya. Sekali lagi, berbentuk pita. Kemudian merapihkan keliman kemeja putihnya. Ia lantas berdiri, mematut dirinya bolak balik, depan dan belakang. Memastikan tidak ada noda apa pun yang ditinggalkan Rass atau pelanggan-pelanggannya yang lain di kemeja maupun rompi birunya. “Aku tidak memujimu.” Anjani mengendus kemejanya sendiri, lalu keringatnya. Aroma sabun. “Maksudku kamu bodoh sekali mau tidur dengan Siluman.” “Nee.” Rass beranjak dari kasur dan merangkul bahu Anjani. Ia mencium sekilas pipi wanita itu. “Aku hanya beruntung karena bisa tidur bersamamu.” Anjani mendengkus. “Seleramu buruk sekali.” “Kalau menyukai wanita sepertimu itu buruk, aku tidak tahu mana lagi yang baik dan yang buruk.” Ketika Rass mengeluarkan jurus rayuan mautnya, Anjani hanya bisa tersenyum simpul. “Aku bukan wanita,” Anjani mengingatkan. “Aku ini Siluman.” “Kamu tetap perempuan.” Rass beranjak dari kasur. Selimut penginapan jatuh di lantai ketika pria itu bangun, memperlihatkan setiap lekuk dan otot yang tersembunyi tadi. Rass tampaknya tidak ragu menunjukkan itu bahkan ke khalayak ramai sekalipun. Anjani terkikik. Rass dan ucapannya tidak pernah bisa dipegang. Yah, tapi memang seperti itulah semua laki-laki. “Aku akan pergi duluan.” Anjani mengambil jas hitam miliknya dan mengenakannya sembari jalan. Rass memandanginya dengan bingung dari depan pintu kamar mandi. “Meninggalkanku?” Pria itu menampakkan wajah pura-pura sedih. “Kamu menyakitiku.” Anjani tidak mengindahkannya. “Dan kamu menyakitiku semalam.” Ia menyentuh pundak Rass dan berjingjit karena tinggi pria itu satu kepala di atas puncak kepalanya. “Semalaman.” Rass cengar-cengir seperti orang gila. “Sampai jumpa di krisis berikutnya.” Anjani mengedip dan berlalu dari hadapan Rass yang masih telanjang di depan pintu kamar mandi. Ia melambaikan tangan tanpa pernah menoleh ke belakang, Seperti biasanya. “Jangan terlalu berharap pada krisis, Meneer.” Anjani berucap sembari membuka pintu. “Aku tidak mau Marsose kehilangan salah satu perwira kesayangan mereka.” *** Pondokan Salumi adalah kelab malam merangkup rumah b****l yang masuk ke dalam kalangan rumah b****l layak di kota Jayagiri. Bahkan jika disandingkan di pusat kota, di luar kawasan kumuh tempat rumah ini terpaksa harus menjalankan bisnisnya, Salumi sanggup bersanding dengan rumah-rumah b****l lain yang diisi oleh para Noni buangan. Anjani berani mempertaruhkan semua isi dompetnya pagi ini untuk hal itu. Di malam hari, boleh saja tempat itu hingar bingar oleh wanita-wanita penghibur dari berbagai ras dan umur, beserta para pelanggan mereka yang dimabuk kepayang. Tapi di siang hari, rumah b****l ini tidak ubahnya rumah kosong. Tapi begitu pula sebagian besar aktivitas di kawasan kumuh kota Jayagiri. Anjani bergerak perlahan menuruni tangga. Langkahnya tidak menimbulkan suara di tiap anak tangga kayu yang biasanya berderit dan mengancam runtuh setiap kali pelanggan kelebihan berat badan menaikinya. Anjani adalah pengecualian. Bahkan dengan sepatu sol tebalnya, sedikit sekali debu yang terangkat dari anak tangga. Padahal debu adalah taplak dan tirai di lantai satu Pondok Salumi, tempat semua kekacauan bermula dan berakhir tanpa bisa menyentuh lantai dua, tempat semua kesenangan berlabuh ke ranjang. Aroma tuak, nira, dan bir-bir murahan yang dioplos dari ale yang diselundupkan para pedagang memenuhi lantai bawah Salumi. Meja-meja masih bergelimpangan dan terbalik di berbagai tempat. Beberapa muntahan dan ceceran bir belum dibersihkan. Kursi-kursi yang terbalik belum dibenahi, bahkan dua kursi yang patah bekas perkelahian semalam beserta pecahan-pecahan beling dari gelas yang tumpah belum disingkirkan. Anjani mengeluarkan jam saku. Ia mengernyit. Sudah jam enam tapi belum ada aktivitas. Seharusnya sudah ada yang piket di jam ini. “Kowe bakal kena masalah.” Anjani memasukkan jam sakunya kembali saat kaki-kakinya mendarat dengan tak acuh di tengah sebuah ruang bersih yang langka di tengah kekacauan. “Begitukah?” Anjani menjawab dalam bahasa Jawa yang sama. Matanya menunduk ke lantai, mengernyit menghindari ceceran muntah berwarna kuning keputihan yang ia tidak mau thau terbuat dari apa. “Kamu dapat kabar itu dari mana, Sum?” Anjani melirik ke arah satu dari sedikit meja yang masih berdiri di ruangan luas itu. Di sana, di atas kursi yang masih baik, seorang wanita tengah duduk santai. Wanita muda itu memakai kain jarik yang menutupi sebagian besar tubuhnya, membiarkan pundak dan sedikit dadanya terlihat bebas. Kalung emas bertengger di lehernya, tepat di sebelah bercak merah yang memudar. Dengan santai, wanita itu mengisap tembakau dari cangklong perunggu. Ia mengembuskan asap tembakau dengan santai ke sepenjuru ruangan. Sumarah melirik ke arahnya. Matanya yang sipit hasil dari ayahnya yang keturunan Yunan membuat tatapan wanita itu tampak tajam secara alami. Senyum miring terkembang di bibirnya. “Semalam ada yang nyari-nyari kowe. Pakai seragam Polisi.” Sum berujar dengan kegembiraan jelas. “Mereka marah-marah dan bakal nyari kowe lagi pagi ini.” “Oh, aku akan mati?” Anjani menyahut dengan kesenangan palsu. “Akhirnya.” Sum membanting cangklongnya dengan marah ke asbak di atas meja. “Kowe anggap aku ini bercanda, hah?” Sum menghardik marah. “Lihat aja! Bakal ada yang ngejar kowe! Mayat kowe bakal ada di got siang ini juga!” Anjani memutar bola mata dengan terang-terangan. Dia melambaikan tangan dengan tak acuh kepada Sum. “Ya, ya, terima kasih, Sum.” Anjani berlalu dari wanita yang masih saja marah-marah itu. “Senang bertemu denganmu. Semoga kamu lebih berguna bagi Nyai lain kali!” Sekeluarnya dari pintu depan Salumi, Anjani disambut pagi hari yang dingin dari bulan Juli. Angin kemarau yang membawa suhu kering nan dingin pada malam hari masih berbekas sebelum matahari terbit. Anjani lekas berjalan ke arah Timur. Jalanan di kawasan kumuh Jayagiri tidak berbeda dari kota mati ketika matahari belum terbit. Tidak ada yang membereskan kekacauan yang terjadi sepanjang malam di rumah-rumah b****l, kawasan kumuh, kawasan p*******n kelas rendah di kawasan kumuh, maupun bar-bar tempat minum pejabat rendahan. Ketika cahaya matahari naik, barulah akan ada beberapa orang muncul untuk membereskan semua kekacauan. Aktivitas itu berlangsung selama beberapa jam, sebelum kembali sepi dan baru akan benar-benar terlihat geliat kehidupannya ketika sore hari menjelang. Untuk saat ini, Anjani menjadi satu-satunya pengisi jalanan distrik remang-remang Jayagiri. Sepatu Anjani tidak mengeluarkan banyak suara sekalipun berjalan di jalanan yang tidak beraspal. Enam belas depa di depan sana, jalur trem terlihat. Satu trem  melintas, membawa penumpang sejumlah hitungan jari. Hanya ada dua jadwal keberangkatan trem dari dan ke tempat ini. Selain karena pemerintah tidak mau mengakui betapa lakunya distrik remang-remang, mereka tidak mau orang-orang banyak hilir mudik dan meningkatkan kemungkinan kejahatan dari para Pemberontak, mengingat pelanggan paling banyak di tempat ini adalah para perwira, ambtenaar, dan kalangan militer. Anjani memeriksa dua pisau di pinggangnya. Lengkap. Langkah demi langkah ditempuh Anjani mendekati jalan raya satu-satunya di kawasan remang-remang Jayagiri. Sambil menanti langkah-langkah yang mengikuti diam-diam di belakang sana untuk masuk ke dalam jangkauannya. Dengan perlahan, Anjani berbelok ke salah satu tikungan dan berhenti ketika tidak ada cahaya mengganggunya. Tikungan itu berakihr di jalan buntu. Tembok batu bata setinggi dua pal menghalangi jalan larinya. Anjani menoleh ke kanan dan kiri. Pintu dan jendela tertutup. Tidak ada tangga. Tidak ada jalan melarikan diri. “Sengaja memasukkan diri ke dalam perangkap, hah, Siluman Licik?” Dari bayangan yang ditampakkan di belakang, Anjani tahu satu-satunya jalan keluar sudah ditutup. Sulur-sulur atma merah murni berputar di udara, menari tepat di hadapannya. Anjani lantas berputar, menghadap enam pria yang menghalangi jalan keluarnya. Pria-pria itu berbadan tegap dan berotot. Tidak ada perut buncit atau bisep yang kendur. Meski memakai kaus oblong, Anjani hampir yakin kalau pria-pria itu dari kesatuan keamanan. Minimal politie atau jawara. Jadi inilah ancaman yang diperingatkan Sumarah tadi. Anjani mendebas pelan. Ia harus mengajukan surat pengunduran diri dari Pondok Saluman segera. “Goedemorgen, Tuan-Tuan!” Anjani melipat tangan di belakang punggung. Suaranya mengalun merdu ketika menyapa pria-pria itu dalam bahasa campuran Nederland dan Melayu. “Apa ada yang bisa aku bantu?” Pria-pria itu bertukar pandang. Separuh senang, separuh jengkel. Beberapa di antara mereka menyeringai, sementara yang lain mengernyit. “Nggak banyak, Non.” Salah satu yang menyeringai angkat bicara dalam bahasa Melayu pasar. Ia menuding pria di sebelahnya. “Tapi salah satu kawan kita ngerasa ketipu! Dia sudah bayar di muka, tapi dia nggak dapat pelayanan yang layak dari lo, Siluman jalang.” Mendapat keluhan seperti itu, Anjani memerhatikan wajah para pria yang berniat mencari masalah dengannya hari ini. Satu demi satu. Hanya ada satu yang dikenalinya. Satu yang ditunjuk oleh pria pertama tadi. Anjani langsung menyeringai. Ia memang pelanggan Anjani dua malam yang lalu. Anjani masih ingat betul bau keringat pria, minya jelantah, dan bau hangus matahari yang menguar dari tubuhnya ketika mereka ada di satu ranjang. Tidak perlu dikatakan lagi, itu salah satu pengalaman yang ingin Anjani lupakan. Dia juga tidak dibayar mahal untuk satu jam yang menyakitkan itu. Anjani mengacungkan tangan kanannya yang terbungkus rapih dalam balutan sarung tangan kulit yang elegan. Entah apa yang salah dari sarung tangan itu sampai para pria di hadapannya bergidik. Wajah0wajah mereka yang marah berubah ketakutan seketika. Anjani tersenyum, padahal ia belum mengeluarkan cakarnya sama sekali. “Hanya karena aku Siluman? Kejam sekali. Aku sudah memberikan pelayanan maksimal sampai dia tiba-tiba saja menjerit dan gagal selesai.” Anjani berkata tanpa penyesalan. “Bukankah beberapa rumah b****l di kawasan ini menyewakan jasa penghibur Siluman juga?” “Rumah b****l Salumi bukan buat siluman bau tengik!” “Tapi tidak ada alasan yang melarangnya juga, Tuan-Tuan,” Anjani menyatakan kebenaran. “Tidak ada larangan aku tidak boleh ikut berpartisipasi di Salumi, bukan begitu?” Para pria itu mendadak terlihat marah. Anjani menyeringai tak terkejut. Tentu saja mereka marah. Mereka tahu Anjani benar. “Siluman banyak bacot!” Enam pria itu pun menyerang secara bersamaan. Anjani pun melompat ke tembok setinggi dua pal di belakangnya. Dengan santai ia duduk di sana selama beberapa saat sebelum tersenyum ke arah para pria yang melongo di bawah. “Dag!” Anjani pun berbalik dan melompat lebih tinggi. Meninggalkan debu untuk dimakan para pecundang yang tertinggal di bawahnya. Dengan cekatan, ia mencengkam inding batu bata dengan tangannya, meraih celah yang tidak bisa dilihat Manusia, lalu berakhir di puncak salah satu bangunan. Anjani tidak mau bersantai, maka ia pun melanjutkan perjalanan, melompati satu demi satu atap rumah yang disinggahinya selincah kelinci yang bisa terbang. Setiap lompatannya bisa melewati satu rumah dengan mudah dan Anjani tidak pernah ragu melihat ke bawah. Langkah Anjani berhenti di salah satu atap datar. Mata biru Anjani menyongsong cakrawala tempat teluk Jayagiri berada. Suara bising yang khas bergema di udara lepas. Spektrum cahaya merekah menjadi kilau tujuh warna di langit ketika Pelindung Kota ditembus dengan mulus oleh satu kapal udara. Aliran-aliran listrik statis dalam cahaya merah hasil benturan dua energi Rakta membakar lapisan Pelindung, menciptakan medan elektrik yang membakar para Asura kelas Bhuta dari berbagai klan yang hendak menyelinap masuk. Satu kapal udara kelas Mekara mendarat dengan sukses di Bandar udara Jayagiri. Lamat-lamat di kejauhan, Anjani mendengar tepuk tangan riuh. Sekali lagi pendaratan itu menjadi tontonan gratis. Dan Anjani tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Selain karena para Manusia senang melihat Asura dibantai kebodohan mereka sendiri, kendaraan udara sangat mewah dan sulit dipertahankan. Area di luar pelindung adalah dunia liar tempat ribuan Asura dari kelas Bhuta dan Raksasa berkumpul menyerang apa pun yang bergerak. Sehingga melihat satu kapal datang dan pergi dengan selamat saja sudah menjadi satu keajaiban tersendiri. Jadwal keberangkatan kapal yang langka membuat setiap keberangkatan kapal sebagai pertanda masih terhubung dan nyatanya dunia luar menjadi kemewahan dan tontonan menarik setiap hari. Membawa harapan ke benak semua orang. Terlebih sejak kapal udara komersil kelas Mekara resmi diluncurkan. Tidak seperti kapal udara kargo yang hanya memiliki maksimal empat baling-baling, kapal udara kelas Mekara memiliki enam baling-baling dengan tambahan baling-baling ekstra di sayap puncak tepat di atas buritan kapal. Desain moncongnya melengkung menurut hukum aerodinamika. Lapisan besi mengisi bagian depan kapal semnetara kaca berada di bagian bawah moncong yang aman terlindung dari tekanan udara dan terpaan angin di ketinggian. Badan besi dari kapal udara itu berkilau ditimpa sinar mentari pagi. Membangunkan orang-orang yang masih tertidur pulas. Anjani menyaksikan ketika enam baling-baling kapal itu berhenti perlahan dan palka diturunkan. Tulisan Gajahmina tercetak tebal di badan kapal. “Oh,” Anjani berujar singkat. “Jadi itu namanya.” Anjani baru hendak pergi lagi ketika satu suara memanggilnya dari bawah. “Anjani?” Anjani menunduk, melihat balkon di bawah atap tempatnya berdiri. Seorang wanita berkulit kekuningan mendongak menatap dirinya. Mata wanita itu tidak seperti mata Manusia. Warnanya kuning keemasan dengan pupil seperti jarum kecil di tengah. Matanya mengerjap ke arah Anjani. “Apa yang kamu lakukan di atas sana?” Senyum menghiasi bibir Anjani saat ia berjongkok santai di atap. Mengangkang sepuas hati, menikmati kemewahan celana. “Lari dari masalah,” jawabnya. “Kamu baru bangun, Mayang?” Gadis itu tersenyum tipis dan mengangguk. Telinga kucing di atas kepalanya berdiri tegak. “Baru saja.” Sejenak, Anjani yakin melihat senyum khas suku Bali dari wajah wanita itu ketika tersenyum. Suaranya mungkin tidak beraksen Bali, tapi kulit kekuningan, matanya yang tajam, dan senyumnya yang berlesung pipit mengatakan segalanya. Sayang, darah siluman yang sedikit terlalu kental di tubuhnya membuat ciri itu sedikit terhapus. Bukan masalah bagi Anjani, tapi jelas masalah bagi sebagian besar Manusia, termasuk orang tua yang sudah membuangnya sejak dini ke kawasan p*******n kumuh di bawah sana. “Hati-hati di jalan ya.” Sebelah alis Anjani terangkat. Ini tidak biasa. “Kamu tidak menawariku masuk?” Anjani memerhatikan sekujur tubuh Mayang, mencari sedikit saja keanehan. Di pundak wanita itu, Anjani melihat lebih banyak memar dan bilur. Dua kali lipat lebih banyak dari biasa. Dan Anjani yakin penyebabnya bukanlah sesuatu yang seksi. “Kamu melalui malam yang berat.” Mayang menggeleng, tapi ekspresi mukanya pilu. Ia mengalihkan pandang ke bawah. “Tidak separah yang lain.” Anjani melongok. Kawasan kumuh membentang di bawahnya. Sekilas pandang saja dari atas, siapa pun akan mengatakan, Salumi tampak seperti surga jika dibandingkan apa yang membentang di bawah sana. Gang-gang sempit tempat hanya penyamun dan penjudi berdompet tipis yang bisa mampir membentang sepanjang dua blok. Rumah-rumah yang masih semi permanen berusaha berdiri menyokong para penghuninya yang kebanyakan bukan sepenuhnya Manusia. Tidak jarang, rumah-rumah ini berulang kali. Karena itulah, kayu dipilih alih-alih batu bata sebagai dinding. Dan kain usang dipilih ailh-alih tirai dan selimut yang layak. Aroma tengik campuran dari keringat, minyak wangi murahan, bunga kenanga dan melati, tanah yang berlumut, tuak, dan aroma dari tubuh-tubuh yang tidak mencicipi kemewahan mandi berhari-hari bersatu padu di dalam sana. Tidak banyak Manusia dalam keadaan waras yang mau ke tempat ini kecuali mereka yang memang tidak punya pilihan dan mereka saja sering muntah mencium aroma di dalam sana. Anjani tidak berani membayangkan apa yang dirasakan Mayang setiap hari. Mayang bahkan mengaku tidak lebih baik penciumannya dari Manusia sekarang. Saat mengamati, Anjani melihat beberapa orang seperti Mayang keluar dari salah satu pondok b****l di bawah. Mereka berpenampilan beragam: bertanduk, bercakar, bertelinga hewan, beberapa bahkan memiliki lengan yang sepenuhnya ditutupi bulu. Mereka menggotong sebuah buntalan kain kusam raksasa. Ada percikan darah di kain itu. Ekspresi mereka semua murung, tapi tidak ada air mata keluar. Air mata telah lama kering dari lubuk nurani mereka. Anjani melompat turun. “Pelanggan yang buruk?” Mayang mengangguk sedih. “Sekumpulan Politie datang. Mereka menghancurkan beberapa ruangan. Kami sedang berusaha membangunnya kembali.” Wanita itu lantas tersenyum menenangkan ke arah Anjani. “Tidak apa-apa. Kami pernah melewati yang lebih buruk, kok. Segini saja belum cukup untuk membuat kami tumbang.” Anjani terdiam. Matanya tertuju kepada gelang besi di leher Mayang. Bercak-bercak merah terlihat di gelang itu. Batu Rakta yang ada di sana masih menyala merah. “Kamu memberikan perlawanan yang sengit, pastinya.” “Sudah jelas kan?” Mayang, kendati suaranya sedikit melengking dan terlalu feminin untuk dibilang gahar, tetap berusaha tegar, bahkan di hadapan Anjani. “Aku tidak akan membiarkan mereka merusak mata pencaharian kami.” Manusia yang melihat senyum itu akan menyangkanya sebagai pertanda hilangnya sebuah hati. Tapi Anjani tahu, hati dan emosi adalah sesuatu yang mewah di tempat semua sampah di dunia ini bermuara. Mayang dan semua Siluman di tempat ini bisa menangis dan masih menangis, tapi mereka melakukannya tidak di hadapan dunia. Dan untuk itu, Anjani mengelus rambut Mayang. “Kamu sudah berusaha dengan baik.” Kemudian ia menyentil dahi wanita itu. “Baiklah, aku pergi dulu. Nanti ada yang marah jika aku datang kesiangan.” Mayang mengangguk. Pipinya bersemu merah. Kesedihan yang tadi membayang di wajahnya sedikit terhapus. Lalu dengan satu pelukan, Anjani pun pergi dari tempat itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN