2. Kami Akan Bercerai
Amelia
Bagaimana cara menjelaskan kepada dua anak yang hampir remaja bahwa ayah mereka telah meninggalkan rumah untuk memulai hidup baru dengan orang lain, sementara hatiku sendiri bahkan belum sepenuhnya memahaminya?
Malam itu, saat aku pulang, aku mulai menghancurkan segala sesuatu yang telah ku persiapkan untuk perayaan kami. Aku tidak peduli, aku membuang peralatan makan "berharga" yang diberikan oleh ibu Yohan beberapa tahun lalu. Wanita itu tak pantas mendapatkan pertimbanganku. Dia tidak pernah menganggapku sebagai istri anaknya, tapi dia menerima selingkuhannya. Luar biasa, bukan?
Di sini, orang bodohnya adalah aku. Sekarang aku sadar bahwa pertemuan-pertemuan yang mengharuskan ia pulang larut malam itu adalah perselingkuhan. Atau saat dia harus pergi mendadak tanpa memberi tahu ke mana. Semua itu karena dia punya wanita lain yang harus dibahagiakan. Betapa bodohnya aku, betapa aku terlalu percaya. Aku tidak pernah mengira dia akan jatuh cinta pada orang lain, padahal di mataku dia lah satu-satunya. Dia dan anak-anak kami, mereka lah segalanya di hidupku. Setidaknya sampai kemarin.
Aku memutuskan untuk menelepon ibuku untuk memintanya agar tidak membawa anak-anak ke rumah.
"Bu?" Aku berusaha agar suaraku tidak terdengar terlalu terguncang, tapi aku rasa aku tidak bisa menahannya. Dia pasti akan menyadarinya dan bertanya padaku, dan aku belum siap untuk memberitahunya. Belum, dan aku tidak tahu kapan aku akan siap.
"Halo, sayang! Perayaannya lancar, kan? Apa kamu kecapekan?"
Seandainya dia tahu bagaimana perasaanku, dia pasti tidak akan mencoba bercanda, tapi ini bukan salahnya aku merasa tidak bahagia.
"Kayaknya aku mau pilek, Ma. Semisal aku minta tolong titip anak-anak ke Mama hari ini gimana? Besok aku jemput, atau Mama bisa nganter mereka nanti." Aku perlu mempersingkat percakapan ini. Ibu sangat peka dan pasti tahu kalau aku sedang menyembunyikan sesuatu.
"Ada apa, Amel? Mau cerita sama Mama?"
Seperti saklar yang diputar, air mata dan isak tangisku mulai mengalir tanpa terkendali. Tidak perlu waktu lama bagi rasa sakitku untuk muncul seperti itu.
"Kamu bertengkar sama Yohan?"
"Tolong, Ma, aku belum siap bicarain ini. Jangan tanya lagi, ya? Nanti kalau aku siap, aku cerita. Tapi sekarang belum bisa."
Isak tangisku hampir membuatku tidak bisa bicara, suaraku serak. Aku tahu aku membuat Ibu khawatir, tapi aku benar-benar tidak bisa mengatakannya. Hatiku begitu sakit dan jantungku seakan bisa berhenti kapan saja karena terlalu menderita.
"Nggak apa-apa, sayang, Mama nggak akan maksa. Kalau kamu siap, kamu tahu Mama selalu ada buat kamu."
Aku duduk, meski aku tak bisa melihat diriku sendiri. Tapi kalau mereka melihatku seperti ini, mereka akan khawatir, dan ayah mungkin akan mencari Yohan untuk melabraknya. Aku tak ingin ada konfrontasi di antara mereka.
"Terima kasih, Ma, dan tolong, jangan bilang apa-apa sama Papa atau anak-anak."
Aku tidak berkata apa-apa lagi, jadi Ibu menutup telepon dan membiarkanku meluapkan kesedihanku. Setelah telepon selesai, aku langsung meringkuk di tempat tidur. Hari ini aku akan menguras rasa sakitku. Tapi besok aku harus bangkit. Aku tak bisa membuat anak-anak menderita melihat ibunya seperti ini, padahal mereka juga akan berjuang dengan kesedihan mereka sendiri. Aku tak sadar apakah ini siang atau malam. Aku begitu lelah menangis hingga akhirnya tertidur.
Amel, janji kamu bakal selalu mencintai aku.
Janji.
Karena kalau kamu berhenti mencintai aku, aku bisa mati, dan aku rasa kamu nggak akan mau tanggung jawab atas kematianku. Terus selalu jadi pemilik hatiku, ya?
Bodoh, kamu harusnya nggak janji kayak gitu. Kalau kamu ketemu orang lain dan jatuh cinta lagi? Apa kamu sanggup tanggung jawab atas matinya hatiku?
Nggak mungkin, Mel, aku nggak akan pernah berhenti mencintai kamu. Kuulangi, kamu akan selalu jadi satu-satunya pemilik hatiku, jiwaku, dan hidupku. Cuma kamu, sayang.
Aku terbangun dan sadar bahwa aku masih menangis. Sudah berapa lama aku begini? Tidak, aku tak bisa membiarkan diriku dikalahkan. Kalau dia sudah bersama orang lain, aku tak bisa terjebak begitu saja. Aku memutuskan untuk tidak membiarkan pengkhianatannya menghancurkanku.
Tanpa tenaga, aku bangkit dari tempat tidur dan menuju ke kamar mandi. Aku harus berpakaian dan menjemput anak-anak. Aku bukan satu-satunya yang akan menderita dari situasi ini. Aku harus memikirkan mereka. Meskipun Yohan akan selalu menjadi ayah mereka, mereka terbiasa dengan kehadirannya yang konstan. Aku harus segera berbicara dengan mereka, atau ibu Yohan akan mendahuluiku. Aku tahu wanita itu pasti sangat senang, tapi aku tidak akan memberinya kesenangan melihatku kalah.
Setelah mandi, aku mengenakan pakaian yang nyaman dan menuju ke rumah orang tuaku. Mereka akan sangat sedih karena, berbeda dengan orang tua mantan suamiku, orang tuaku sangat menyayangi menantunya. Dia membuat mereka percaya bahwa aku akan selalu bahagia dan baik di sisinya.
Tapi itu semua hanya omong kosong.
Aku mengambil kunci mobil dan pergi menjemput anak-anak. Saat tiba, aku parkir tapi tidak langsung keluar. Aku masih harus berpikir bagaimana cara mengatakannya agar tidak terlalu traumatis bagi semua orang seperti yang aku rasakan.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian, lalu keluar dari mobil. Aku membuka pintu rumah dengan kunciku sendiri, dan aku bisa melihat mereka semua sedang makan siang di ruang makan.
"Mami, Mami!"
Anak-anak berlari menghampiriku. Mereka memelukku, dan kehangatan yang kurasakan sedikit menghiburku.
"Halo, sayang. Lanjutin sarapannya."
Setelah memberiku kecupan, mereka kembali ke meja. Ayahku tidak mengatakan apa-apa, tapi ibuku tidak bisa diam, jadi dia memanggil namaku begitu saja.
"Amelia, ke ruang tamu, yuk."
Aku bangkit dan mengikuti ibuku. Yang harus kuceritakan bukanlah hal sepele, jadi aku menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, sebelum dia mulai bertanya.
"Bu... Kemarin Yohan ketahuan selingkuh. Dia punya perempuan lain, dan ibunya tahu. Mereka kecelakaan mobil, dan aku dipanggil dari rumah sakit karena dia sempat nggak sadar. Dia bahkan nggak repot-repot membantah, membela diri. Kami bakal cerai, dan Papa Mama pasti paham, hati Amel sakit sekali. Padahal aku masih harus memberitahu anak-anak, tapi aku nggak tahu gimana caranya."
Kalimat terakhir hampir tak bisa kuucapkan. Air mata kembali menggenangi pelupuk mataku. Rasa sakit ini menyiksaku. Ibuku memelukku seperti saat aku kecil. Dia mengelus rambutku, dan aku seketika meluapkan kesedihanku.
"Apa kamu yakin pernikahanmu nggak bisa diselamatkan?" tanya Ibu, denganku masih dalam pelukannya.
Aku menggelengkan kepala, sehingga dia hanya menghela napas panjang.
"Ibu nggak nyangka jadinya begini. Dia pernah ngobrol sama kami pas kamu hamil, dia janji bakal selalu nemenin kamu, mencintai kamu. Makanya kami setuju kamu menikah muda. Tapi 'selamanya'-nya mungkin punya tanggal kedaluwarsa, ya. Tapi kamu nggak boleh menyerah. Menangislah sepuasnya, tapi jangan lupa berhenti. Anak-anakmu nggak bisa melihat mami mereka patah hati dan papi mereka bahagia sama perempuan lain. Di masa depan, kamu akan jadi contoh buat Lili."
Ibuku benar. Aku harus segera bangkit. Aku tak mau anak-anak menderita karena ayah mereka. Ibu memberiku tisu, dan aku mengelap air mataku.
Kami keluar bergabung dengan keluarga di meja, meskipun aku hanya minum kopi. Aku benar-benar tidak nafsu makan. Aku menunggu anak-anak selesai makan dan memberi mereka waktu sejenak agar makanannya turun. Setelah siang, aku memutuskan sudah waktunya untuk berbicara dengan mereka.
"Mami, Mami flu? Mata Mami merah."
Anton kecilku. Dia begitu baik dan tampan. Aku yakin saat dia dewasa nanti, banyak perempuan yang akan jatuh cinta padanya. Untuk menjadikannya pria baik, yang akan menghormati gadis yang akan jadi pasangannya, adalah tugasku. Sementara itu, Lili-ku hanya diam. Dia sangat peka, dia mungkin sudah tahu kalau ada sesuatu yang serius terjadi di keluarga kami.
"Nggak, sayang, Mami nggak flu. Sebenarnya, ada yang terjadi. Sesuatu yang sangat penting."
Aku menunggu sebentar untuk menarik napas.
"Papi Mami mau bercerai."
Aku melihat wajah mereka pucat karena terkejut.
"Mami becanda?" Anak perempuan yang sangat mengagumi ayahnya itu melompat berdiri seperti terlonjak dari pegas.
"Apa Mami kelihatan kayak baru bercanda?" Dia menggelengkan kepala, terlihat jelas terkejut.
"Kamu udah besar, Mami nggak akan menyembunyikan apapun dari kamu. Papi sudah punya perempuan lain. Dia memutuskan untuk memberi kesempatan pada perempuan itu, dan Mami nggak akan mengganggu kebahagiaannya. Papi Mami sudah menikah selama dua belas tahun, tapi itu bukan berarti kami akan bertahan selamanya. Takdir punya rencana lain buat Papi Mami. Tolong, Mami minta kalian mengerti. Dia akan tetap menjadi Papi kalian; dia cuma bukan suami Mami lagi. Setelah semuanya resmi, kita urus segala-galanya untuk kalian berdua. Sementara itu, Papi nggak akan tinggal di rumah lagi. Paham?" Air mata kembali menggenangi mataku.
Aku tahu ini menyakitkan hari mereka, dan ini akan membawa perubahan dalam hidup mereka, tapi pada akhirnya, mereka akan bisa melewatinya.
Kita akan melewatinya.