Leo POV
Aku sangat cemburu melihat Amanda bersama Kim. Tanpa sadar aku terus meneguk whiski tanpa henti. Kenapa aku harus cemburu? Aku memiliki Sarah, aku tidak mengerti. Sementara Sarah di sebelahku hanya peduli dengan penampilannya. Dia tersenyum terus menerus mencoba mengobrol kepada tamu yang lainnya namun mereka tidak terlalu menanggapi Sarah sehingga Sarah mulai mengadu ini itu kepadaku membuat kepalaku semakin sakit.
Aku meninggalkan Sarah cepat yang terus memanggil namaku. Di pikiranku hanya satu, menemukan Amanda. Aku terus mencarinya dan menanyakan kemana arah sosok Kim karena banyak orang disini tidak mengetahui siapa Amanda. Dan kemudian aku melihat mereka berdua duduk saling menatap penuh kasih. Terang sekali Kim sangat menyukainya. Apalagi aku mendengar kata itu, Kim meminta Amanda untuk menjadi kekasihnya. Mataku gelap oleh amarah dan tanpa sadar sudah mendekati mereka dengan buas.
Kuraih tangan Amanda keras seolah dia bisa kabur kapan saja. Kutahan amarah ku, jika lebih lama di hadapan Kim mungkin aku akan membuatnya babak belur. Aku ingin memiliki Amanda seutuhnya. Semua orang harus tahu bahwa aku adalah suaminya dan Amanda adalah milikku. Aku menarik tubuhnya dengan kasar menuju penthouse. Ketika di dalam master room, aku menyuruhnya bertelanjang tubuh di hadapanku. Hanya aku yang boleh memiliki dan merasakan kehangatan tubuhnya, tidak dengan pria lain. Wajahnya menatapku pucat dan ketakutan. Amanda memohon untuk melepaskan dirinya. Tentu saja cemburu sudah meliputiku. Aku tahu dia akan kembali ke sisi Kim.
Meski dengan tangan gemetar dia tetap membuka seluruh gaunnya dan memperlihatkan kewanitaannya yang selalu membuatku tergiur. Ada rasa penyesalan atas apa yang kuperbuat. Amanda tidak melakukan kesalahan apapun. Tetapi lagi-lagi cemburu sudah menguasai seluruh isi pikiran dan hatiku. Kejantananku sudah tegak dan segera kuarahkan kedalam kewanitaannya. 2 bulan ini kami tidak pernah berhubungan badan lagi semenjak Sarah menempati mansion kami dan tidur bersamaku di kamar utama.
Sekali hentakan semuanya masuk, Amanda menangis meronta memintaku menghentikannya. Aku tidak peduli, dia harus sadar dengan siapa dia menikah. Aku terus menikmati gesekan dan kehangatan kewanitaan Amanda. Aku harus menahan keras untuk tidak klimaks dengan cepat. Aku begitu merindukan miliknya 2 bulan ini. Saat aku mengosongkan benihku di dalam tubuhnya, Amanda sudah tidak sadarkan diri. Kukecup bibirnya yang dingin, kupeluk erat tubuhnya dan tertidur lelap.
Pagi harinya aku terbangun dengan Amanda tidak disisiku lagi. Aku menoleh dengan cepat, dimana dia? Tidak mungkin dia keluar dari kamar ini karena aku menggunakan sidik jari untuk membuka pintu kamarku. Aku berdiri dan menuju kamar mandi dan tidak ada sosoknya disana. Aku berjalan menuju kamar ganti dan di sanalah Amanda berada dipojokan, sama saat pertama kali aku melihat dirinya sebelum kami menikah. Tubuhnya bergetar hebat. Rambutnya terurai dengan tidak beraturan. Dia terlihat sangat stress dan ketakutan. Begitu melihatku dia semakin bersembunyi.
“Jangan mendekat!!!” pekiknya keras. Wajahnya pucat, dia hanya memakai selimut untuk menutupi tubuhnya.
Aku terdiam dan berhenti. Hatiku terenyuh melihatnya. “Amanda… aku…”
“PERGIIIII!!!” Teriaknya keras. “PERGIIIII!!!” wajahnya kembali berpaling, tubuhnya semakin bergetar. Aku tahu dia sangat ketakutan.
“Kamu terluka… biarkan aku melihatmu.” Aku melihat memar di kedua pergelangan tangannya karena cengkramanku.
“PERGI!!! Kamu monster!” Teriaknya lagi. “Aku tidak pernah ingin bersamamu lagi!! Kamu hanya menyakitiku!”
Mendengar perkataannya amarahku kembali tersulut. “Kamu tidak akan pergi kemana-mana!” desisku.
“Aku ingin kita bercerai sekarang juga!” tambahnya. Mendengar itu, wajahku memerah karena amarah. Kudekati dia dengan langkah panjang dan menggendong tubuhnya paksa. “LEPASKAN!!! TOLONGGGGGG!!!” Teriaknya dan meronta.
Kembali kuhempaskan tubuhnya di atas king bedku dan menarik selimut yang di gunakannya, “Kamu belum sadar juga rupanya.” Aku kembali membuka celana dalamku memperlihatkan kejantananku yang sudah tegak. “Kita tidak akan pernah bercerai!” kutindih tubuhnya yang masih meronta. Dengan kedua tanganku, kuikat kedua tangannya di atas kepala tempat tidur. Amanda masih terus meronta dan memohon kepadaku namun kuhiraukan. Sekali hentakan seluruh kejantananku memasuki kewanitaannya. Amanda kembali menangis perih.
“Tidak Leo… sakittt… aku mohon.” Rintihnya.
Aku terus memaju mundurkan kejantananku dengan keras, menghiraukan permintaan Amanda. 10 menit kemudian aku mengosongkan seluruh benihku di dalam tubuh Amanda. Aku merasa sangat puas. Sementara aku melihat Amanda kembali tidak sadarkan diri. Kubuka ikatan di tangannya yang memerah dan berdarah. Dengan panik kuraih handphoneku dan menghubungi Darius sahabat SMAku yang adalah seorang dokter kandungan saat ini.
30 menit kemudian Darius datang dan kubawa untuk memeriksa Amanda. Begitu melihat Amanda wajahnya Darius menatapku tak percaya.
“Man… kamu gila? Ini pemerkosaan namanya!” marah Darius. “Kasihan dia!”
Aku hanya mematung melihat tubuh Amanda yang terkulai tak sadarkan diri. Pergelangan tangannya masih berdarah. “Dia istriku.”
“Lalu kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?!” Darius memandangku marah. “Kesalahan apapun yang di lakukannya. Kamu tidak bisa seperti ini! Kalau dia melaporkanmu kepolisi dia memiliki hak untuk itu.” Darius memegang lengan Amanda yang berdarah. “Bahkan kamu mengikatnya hingga dia berdarah seperti ini. Kamu memperlakukannya seperti barang.”
“DIAM!” kataku kemudian. “Periksa saja dia!”
Darius memandangku lama kemudian kembali memeriksa Amanda. Ada rasa marah saat dia memeriksa kewanitaan Amanda. Namun aku harus bersabar. Darius bangkit dengan wajah sedih. “Kewanitaannya juga terluka parah. Kamu terlalu memaksakan.” Darius menghela napas dan menatapku lama. “Aku tidak tahu jika harus mengatakan ini, sepertinya dia sedang mengandung.”
Mataku terbelalak kaget, “hamil maksudmu?”
Darius mengangguk, “Aku belum tahu pasti tetapi dari bentuk tubuh dan firasatku juga. Aku selalu memiliki insting kuat.” Aku menatap tubuh Amanda yang kini tertutup selimut, Amanda mengandung anakku? Kudekati tubuhnya dan kusentuh wajahnya. “Bisakah kamu memeriksanya dengan teliti? Kamu tahu jika aku sulit memiliki anak bukan?”
Darius mengangguk, “Aku akan mengambil sampel darahnya. Kemungkinan usia kandungannya sekitar 6-7 minggu. Tapi biar hasil lab yang membuktikannya.“
Sepeninggal Darius aku duduk di sebelah tubuh Amanda. Wajahnya masih pucat. Aku menarik napas panjang, Amanda mengandung anakku. Jika benar ini sebuah keajaiban yang lain. Aku mengecup lembut kening Amanda dan beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Aku menyuruh chefku untuk membuatkan makanan untuk Amanda jika dia bangun.
Aku membuka laptopku dan mulai membuka file pekerjaanku. Aku memutuskan mengambil waktu libur sekarang. Amanda masih tidak sadarkan diri. Mendekati jam makan siang Amanda bangun. Aku segera menghampirnya.
Merasakan sentuhanku Amanda bangkit dan menjauh dariku. Wajahnya masih ketakutan. “Amanda…” panggilku lembut, dia tidak bereaksi dan hanya menatapku ketakutan. “Maafkan aku. Ini semua salah. Aku menyesal.”
Amanda tidak merespon dan hanya duduk memeluk lututnya ketakutan. Aku menghampirinya dan hendak menyentuhnya. “TIDAKK! JANGANNNN!” Teriaknya histeris.
“Amanda…” panggilku lembut. “Biarkan aku membantumu.”
“TIDAKKKK!” Amanda semakin histeris, dia berusaha bangkit dari tempat tidur kemudian jatuh. Kakinya terlihat terluka. Segera kuhampiri dengan panik, aku sangat takut membahayakan kandungannya.
“Kamu tak apa?” aku mengenggam tangannya lembut.
“LEPASKAN.” Amanda terus berontak.
“Hey…hey… hey… maafkan aku.” Aku berusaha membuatnya tenang. “Kamu membahayakan anak kita.”
Mendengar itu Amanda memandangku tak percaya, “A… anak?”
Aku mengangguk sambil tersenyum, “Ya. Anak kita.”
Amanda kemudian menatapku marah. Dihempaskannya tanganku kasar. “Jangan berbohong! Aku tidak ingin memiliki anak denganmu.”
Hatiku sakit mendengar pernyataannya. Amanda kembali meringkuk. Kakinya yang terluka diabaikannya. Tubuhnya bergetar, wajahnya pucat dan bibirnya kering. Apa yang telah kulakukan kepadanya? Dia sangat berbeda tadi malam yang bagaikan bidadari. Aku merengkuh tubuhnya. Amanda kembali berontak. “LEPASKAAAAAAAN!”
Aku sangat berhati-hati menggendongnya bridal style meski dia berontak dan beberapa kali mengenai wajahku, aku menahannya agar anak dalam kandungannya tidak terluka. Kubaringkan diatas tempat tidur, beberapa waktu kemudian Amanda bangkit dan berlari dengan kaki pincang menuju kamar mandi. Di muntahkannya seluruh isi perutnya. Fix Amanda mengandung, aku tersenyum.
5 menit kemudian, Amanda masih memuntahkan isi perutnya. Aku sudah berada di sebelahnya mengusap-usap punggungnya yang kubaluti selimut. Amanda membasuh mulutnya dan kemudian menangis, dia kembali berjongkok dan menangis. “Tenggorokan dan perutku sakit.” Katanya disela tangis. Tangannya yang terluka dengan gemetar menghapus airmatanya. Aku sangat sedih melihatnya seperti ini. Aku tahu ini adalah hasil perbuatanku. Kembali kuraih tubuhnya dan membaringkan di tempat tidur. Aku menghubungi pelayan untuk membawakanku makan pagi untuk Amanda.
Saat satu troli penuh makanan tiba, Amanda hanya menyantapnya sedikit. Dia tidak memiliki selera untuk makan dan juga dia tidak menatapku. Aku duduk di sebelahnya berusaha untuk berbicara padanya.
“Darius, dokter yang memeriksamu akan memberikan hasil lab nya malam ini.” Kataku. Amanda hanya diam. Wajahnya dingin. “Aku….” Rasanya sulit. “Aku minta maaf atas apa yang kulakukan tadi malam.” Akhirnya aku bersuara. Ini pertama kalinya aku meminta maaf pada oranglain selain orang tuaku.
Amanda menoleh dan memandangku tajam, “Kenapa kamu lakukan ini kepadaku?” wajahnya merah menahan marah. “Aku tahu posisiku, itulah mengapa aku membiarkanmu membawa Sarah dalam mansion milikmu. Kamu tidak memperlakukan aku baik sejak awal tetapi aku mengerti karena kamu mencintai wanita lain. Aku tidak berharga di matamu dan hanya sebagai benalu atas penghalang kebahagiaanmu dengan sarah, itupun aku mengerti. Kapan aku tidak pengertian?” air matanya kembali mengalir. “Aku menikahimu karena ayahmu. Ini juga bukan keinginanku.” Isaknya kembali terdengar, tubuhnya bergetar.
Aku menelan ludah keras, saat ini hatiku pun sakit. Aku tidak mengerti kenapa.
“Aku memohon kepada ayahmu dua bulan lalu dan beliau mengizinkan kita bercerai.” Lanjutnya.
Mendengar kata bercerai, hatiku sakit. Aku memandangnya panik, “Apa maksudmu?”
“Aku akan mengajukan surat perceraian kita senin besok. Dan kita bisa kembali kekehidupan masing-masing.”
“Kamu sedang mengandung!” tambahku, aku masih sangat panik mendengarnya akan menceraikanku. Suaraku bergetar.
“Tidak masalah. Baik aku ataupun kamu tidak menginginkan bayi ini. Aku akan menggugurkannya.” Jawabnya dingin. Tidak ada rasa kasih di dalam suaranya.
Tubuhku menjadi dingin mendengar jawabannya. Aku tidak mampu berkata. Bukannya ini yang kuinginkan? Hanya Sarah yang akan mengandung anak milikku. Tetapi hatiku bergejolak. Aku tidak ingin Amanda menggugurkannya. “Ke… kenapa? Dia adalah bayi kita.”
“Itulah alasannya. Karena ini bayimu, aku ingin menggugurkannya. Aku tidak ingin memiliki bayi denganmu.” Amanda menoleh, pandangannya masih dingin.
Aku mengepalkan tangan marah, “Aku ingin mempertahankannya.”
Amanda tersenyum sinis, “Kenapa harus mempertahankannya? Kamu bisa mendapatkan anak lain dari perempuan terhormat yang kamu inginkan tidak denganku yang hanya menjual diri demi melunasi pinjaman orang tuanya, bukan begitu?”
Ini seperti boomerang yang mengenai wajahku sendiri, “HENTIKAN!” aku membentaknya, “Suka atau tidak suka, anak itu akan tetap harus di pertahankan.”
“Kamu sangat egois! Kamu menyiksaku! Kamu tahu itu?” Amanda melampiaskan kekesalannya. “Aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaanku tanpa ada hubungan lagi denganmu. Dan kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, kenapa kamu ingin menyiksaku lagi?”
Perkataannya benar, kenapa aku menjadi seperti ini? Menginginkan sebuah keluarga nyata dari Amanda dan anak kami. Seharusnya bukan dia tetapi Sarah. Kenapa aku berubah?
“Donna akan mengajukan surat perceraian itu besok. Kim akan membantuku mempercepatnya dan setelah itu aku akan menghilangkan bayi ini. Baik aku atau kamu tidak akan ada hubungannya lagi. Aku pun tidak akan mengambil sepeserpun dari hartamu.”
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tidak mampu berkata. Aku yang biasanya berkuasa tidak mampu melawan bahkan sekedar menjawab lidahku sudah keluh. Kutatap Amanda yang kini berbaring memunggungiku. Dia serius dengan perkataannya. Senjata makan tuan, inilah yang pepatah yang pantas di sematkan di wajahku saat ini.