SKWAC | Chapter 4 √

1046 Kata
*** Vivian tidak bisa bergerak saat Dafa tak juga beralih dari tempatnya. Dadanya terasa sesak membayangkan apa yang akan Dafa lakukan selanjutnya. Beruntung, ketukan pintu menghentikan pergerakan lelaki itu. "Vi, kamu di dalam?" itu suara Rose, ibunya. Vivian menghembuskan napas dengan lega. Dia menatap Dafa dengan penuh ancaman, "Minggir atau kamu akan diusir oleh Mama," ucapnya. Dafa terkekeh, Vivian yang sekarang terlihat lebih berbahaya dari pada Vivian yang dulu. Perempuan ini tampak lebih tegas dan tak mudah terlena. Dafa menyadari, dirinya harus berusaha lebih giat untuk mendapatkan Vivian lagi. "Iya ma sebentar," jawab Vivian. Setelah itu dia mendorong Dafa. Menghampiri pintu, memutar kuncinya lalu membukanya. Rose menatap Vivian dan Dafa bergantian. "Kenapa harus di kunci?" selidiknya. "Ahhh itu.." "Rose ayo! Katanya mau temanin Papa ke kantor," lagi-lagi Stev menjadi penyelamat bagi Dafa. Dia juga tidak tahu harus menjawab apa untuk pertanyaan tante Rose yang entah sejak kapan berubah galak padanya itu. Padahal, dulu begitu lembut dan menyayanginya. Rose berdecak sebal. Stev benar-benar datang di waktu yang tidak tepat. Kenapa juga suaminya itu harus membuka mulutnya sekarang. "Ayo, Papa sudah telat." kekesalan yang Rose rasakan berkali lipat. Dia menatap tajam ke arah Stev yang tak mengerti kodenya. "Jadi ikut atau nggak, Ma?" lagi, suara Stev terdengar sangat mengganggu. "Pergi aja, Ma, aku juga mau kembali ke restoran." sahut Vivian agar mamanya tak ragu untuk pergi. "Aku ikut ke restoran kamu ya, Vi," Dafa juga menyahut dengan cepat. "Ah iya, boleh juga Daf, coba kamu lihat restoran baru Vivian," "Papa!" Rose dan Vivian serentak memanggil Stev. Meskipun terlihat tak tahu apa-apa, tapi sesungguhnya Stev paham betul apa yang Rose dan Vivian inginkan. Stev juga mengerti tujuan Dafa saat ini. Memang benar Dafa sudah menyakiti Vivian, tapi sebagai sesama lelaki Stev bisa melihat ketulutan dan penyesalan di mata Dafa karena telah menyakiti Vivian. Stev juga dapat melihat keseriusan dalam diri lelaki itu. Tidak adil rasanya bila semua orang membenci Dafa. Bukan karena Stev tidak menyayangi Vivian, tapi Stev memihak Dafa karena dirinya tahu Vivian masih sangat mencintai lelaki itu. "Silakan," ucap Stev dengan santai. Vivian hanya bisa mendesah pasrah. Dia mengangguk singkat kepada Dafa. Mau tak mau Vivian membiarkan Dafa ikut bersamanya. Padahal, kembali ke restoran hanya alasan saja. Vivian hanya ingin menghindari Dafa. "Aku aja yang nyetir," ucap Vivian saat Dafa meminta kunci mobil padanya. Dafa mengangguk singkat. Meski terlihat jelas Vivian menjaga jarak darinya, tapi Dafa tidak marah. Wajar bila perempuan itu menjauh darinya. Dafa hanya harus memastikan Vivian kembali ke dalam pelukannya. *** Keduanya sampai di restoran milik Vivian tepat jam makan siang. Seperti biasa, Vivian langsung menuju dapur. Dafa mengekorinya. Restoran Vivian cukup menarik menurut Dafa. Dirinya juga yakin menu di restoran ini juga tak kalah menarik melihat banyak sekali pelanggan yang berdatangan. Dafa mengangguk mantap. Dia baru saja memutuskan sesuatu. "Aku akan memasak secara gratis di sini," ucapnya. Hal itu jelas menghentikan langkah kaki Vivian sekaligus menghentikan kegiatan memasak di dapur. Vivian menoleh pada Dafa. Dia menatap tajam lelaki itu. "Apa kamu bilang?" tanyanya sambil berkacak pinggang. Dafa menaikan salah satu alis matanya. Dia mengedikan bahu, "Aku mau menghadiahkan keahlianku sebagai ucapan selamat atas restoran baru kamu, Vi," terang lelaki itu. Vivian terkekeh, "Maaf tidak butuh." balasnya. Dengan sigap Vivian kembali melangkahkan kakinya. Geo yang mendengar itu menarik sudut bibirnya. Sejak tadi lelaki itu menyimak pembicaraan mereka. "Kenapa kamu nolak, Vi? Aku ikhlas," ucap Dafa sambil mengejar Vivian. Namun, Vivian tidak mengubrisnya. "Vivian!" ujar Dafa. "Aku yang nggak ikhlas, Daf!" balasnya. Dafa terdiam, dia tidak tahu bagaimana caranya mendekati Vivian bila dia tidak diterima di restoran ini. Padahal salah satu cara terbaik untuk kembali merebut hati Vivian adalah dengan berbagi dapur bersama. "Ide bagus, Vi, aku setuju kalau Dafa bekerja di sini," sahutan Geo membuat Vivian mendelikan matanya. Lelaki itu hanya sekilas melirik Vivian, setelahnya dia memperhatikan Dafa sepenuhnya. Geo mengangkat telapak tangannya, "Hai Daf, kita bertemu lagi," sapanya. Dafa mendengus pelan. Dirinya tidak berniat mengucapkan terima kasih pada Geo yang seolah mendukungnya. Geo tidak sebaik itu, sejak dulu yang paling melarang Vivian dekat dengannya adalah Georgeo, kakak sepupu Vivian. Ck. Geo berdecak melihat sikap Dafa yang angkuh. "Dari dulu sampai saat ini sikap kamu tidak berubah," ucapnya. "Satu sama, Geo. Kamu juga begitu," "Aku bisa merasakannya," kekeh Dafa. Geo mengangguk pelan berkali-kali. Lelaki tampak memutar benda tajam kesayangannya itu. Lalu dengan sengaja menghentaknya hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras, tetapi hanya terdengar di area dapur saja. "Tepat sekali. Aku memang tidak bisa berubah begitu saja," ucapnya. "Lalu kenapa kamu setuju aku bekerja di sini, Georgeo?!" kesal Dafa sambil menunjuk Geo. Entah kenapa, dibanding Teo, Dafa lebih merasa Geo seperti rival sungguhannya. Padahal Geo adalah kakak sepupu Vivian. "Itu karena aku ingin bersaing dengan masakanmu, Chef Dafa," Vivian tahu itu adalah jawaban paling jujur dari Geo. Sudut bibir Vivian membentuk senyuman. "Baiklah, kamu boleh kerja di sini," ucapnya. Dafa ingin protes tapi ini kesempatan baginya untuk kembali mendekati Vivian. Tidak masalah baginya bersaing di dapur dengan Geo. Dafa tak merasa takut untuk melakukan itu. Kemampuannya tidak seburuk itu untuk menghadapi Chef Geo. "Okay! Mulai besok aku akan bekerja secara cuma-cuma di sini," putus Dafa dengan tegas. Belum apa-apa saja Dafa sudah merasa selangkah lebih dekat dengan Vivian. Dia berjanji akan membuat Vivian kembali luluh padanya. Dafa tahu betul bahwa Vivian sangat menghargai masakan. Dulu, selama mereka di dapur yang sama, Vivian selalu menahan diri untuk tidak bertengkar dengannya karena begitu menyukai dapur. Kali ini, Dafa akan memanfaatkan situasi dan kondisi yang ada untuk membuat hubungannya dengan Viviam membaik. "Terserah!" ujar Vivian. Dia meninggalkan Dafa dan bergabung bersama Geo dan yang lainnya. Vivian ikut menyicipi menu yang Geo sajikan. Dia juga menilai rasanya. "Masakan kakak sepupuku memang paling top! Kalah sama Teo hihii," suara Vivian yang memberikan pujian untuk Geo membuat Dafa berdecak sebal. Bahkan, perempuan itu juga terlihat sangat mengenal Teo. Jika seperti ini Dafa yakin rivalnya yang sesungguhnya bukan hanya Geo, tetapi juga Teo. Astaga! Dafa benar-benar harus memikir cara agar secepatnya membuat Vivian kembali padanya. "Aku akan mulai bekerja hari ini!" Dafa berucap dengan tegas, lantas dia meminta perlengkapan chef pada salah satu karyawan di sana. Dafa tampak mengabaikan tatapan aneh yang diberikan Vivian dan Geo padanya. Vivian mengedikan bahu, "Terserah," ucapnya. Senyum Dafa mengembang sebelum Vivian kembali berkata, "Aku akan pulang," setelah itu Dafa merasa percuma saja berada di dapur sekarang juga. . . Bersambung. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN