***
Dafa menghela napasnya dengan berat saat menyadari pandangan mata Geo menatap lurus padanya setelah dia bergabung di dapur mereka.
"Are you okay, Dafa? Kenapa nggak pulang juga?" akhirnya Geo tak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Pasalnya, Vivian betul-betul kembali meninggalkan restoran setelah adik sepupunya itu berkata akan pergi.
"Apa aku harus melakukan itu Georgeo?" Dafa balik bertanya. Sesungguhnya dia sungguh kesal melihat tatapan menyelidik yang Geo berikan padanya sejak tadi. Dafa tidak suka lelaki bertubuh tinggi itu menatapnya penuh rasa curiga.
"Tidak perlu karena aku sangat yakin Vivian pergi menyusul Teo," lelaki itu sengaja menambah bara dalam api yang memang sudah berkobar sejak tadi di dalam diri Dafa.
Mendengar itu, Dafa benar-benar merasa percuma saja dia ada di sini. "Siapa Teo sebenarnya?" tanya Dafa dengan nada penuh ancaman. Beruntung restoran sudah mulai sepi sehingga mereka tak disibukan oleh masakan lagi. "Dia tidak mungkin tunangan Vivian!" ujar lelaki itu dengan penuh kekesalan.
Geo terkekeh. Ada kesenangan sendiri di dalam dirinya melihat Dafa seperti ini. Sebagai kakak sepupu yang baik, Geo tidak suka pada Dafa yang mengabaikan Vivian bertahun lamanya. Lelaki itu akan melakukan apapun untuk membalas rasa sakit yang pernah Vivian rasakan. "Teo memang betul tunangan adik sepupu saya. Kamu mau apa, Dafa?" salah satu alis mata Geo terangkat sebagai bentuk dari tanya yang terdengar remeh di telinga Dafa.
"Tidak mungkin secepat itu Vivian melupakan aku!" Dafa tidak terima. Namun tatapan mata Geo yang terlihat serius membuat Dafa tak bisa berkutik. Tatapan tajam itu menunjukan sebuah kebenaran. "Sialan!" ujarnya.
Sengaja mengabaikan Geo, Dafa kembali sibuk dengan isi pikirannya sendiri. Ingin segera pergi dari sini, tetapi restoran belum tutup. Sebagai seorang chef, Dafa tak bisa pergi begitu saja. Dia harus mempertanggung jawabkan apa yang tadi dia inginkan. Beruntung pesanan kembali datang hingga Dafa tak harus terbunuh karena kesunyian. Dafa mengambil pesanan itu dan dengan gesit membuatkannya.
"Kuakui dirimu terlatih," pujian dari Geo tak membuat Dafa menghentikan aktivitasnya. "Terima kasih." tetapi tak urung lelaki itu mengucapkan terima kasih pada Geo.
"Setelah ini kau boleh kembali ke rumah Vivian. Aku sungguh takut jari-jarimu terluka karena memikirkan kemesraan Teo dan Vivian di luar sana," Dafa merasa bukan jarinya yang akan terpotong, tetapi mulut lancang Geo yang rasanya ingin dia jahit sampai rapat.
"Maafkan aku karena harus mengecewakanmu, Geo. Aku tidak akan bergeser sedikit pun dari dapur ini sebelum restoran tutup." balas Dafa dengan tegas. Teo mungkin sudah betul-betul mencuri hati Vivian darinya, tetapi Dafa tak akan membiarkan Geo mencuri dapurnya hari ini. Meskipun di sini Dafa lah yang melakukan itu pada Geo.
Geo menggelengkan kepalanya sambil terkekeh sinis. "Dasar keras kepala," ucapnya. Lelaki mengelurkan ponsel pintarnya. "Halo Vi, jemput Dafa sekarang juga. Aku takut dia mengacaukan dapur kita," perkataan Geo yang terdengar jelas oleh Dafa membuatnya mengangkat kepala. Pesanan pelanggan sudah siap untuk disantap setelah diolah oleh kedua tangan terampil lelaki itu. Dia memberikan dua piring berisi makanan itu pada pelayan.
"Apa maksudmu Georgeo?" tanya Dafa yang terlanjur kesal karena perkataan Geo.
Dafa melihat Geo mengayunkan ponselnya. Nama Vivian ada di layar itu. Detik-detik terlewati, panggilan telepon terus saja berjalan.
"Apa maksudmu Geo?" itu jelas suara Vivian. Dia menggunakan kalimat yang sana dengan yang Dafa gunakan.
"Mantan tunanganmu terlalu hebat, aku takut dia mencuri dapurku lebih lama lagi, Sayang," jawab lelaki itu. Dengan sengaja ia menyematkan panggilan manis untuk Vivian agar Dafa semakin kebakaran di dalam sana. "Bawa dia pulang." lanjutnya.
Dengan cepat Dafa merebut ponsel itu dari tangan Geo. "Di mana kamu?" bukan menyanggah apa yang Geo katakan, Dafa justru menanyakan di mana keberadaan mantan tunangannya itu. Geo terkekeh lucu. Dia menatap takjub sekaligus heran pada Dafa. Ternyata, Dafa betul-betul termakan omongannya. Lelaki itu pasti sibuk mengira kebersamaan seperti apa yang Vivian dan Teo lakukan di tempat lain.
"Apa maksudmu huh? Aku di rumah. Pulang kamu! Kenapa kamu ngacauin dapur aku!" bentak Vivian dengan kesal. Dia pun ikut termakan oleh apa yang Geo katakan sebelumnya. Terang saja hal itu membuat Geo kembali terkekeh.
Dafa menghembuskan napasnya dengan lega setelah mengetahui di mana keberadaan Vivian. Dafa yakin perempuan itu tidak berbohong.
"Aku nggak ngacauin dapurmu, Sayang," balas Dafa. Dirinya juga sengaja memanggil Vivian dengan panggilan sayang seperti yang beberapa saat lalu Geo lakukan. Membuat Geo berdecak sebal.
Begitu juga dengan Vivian. Perempuan itu juga berdecak tak suka mendengar Dafa memanggilnya dengan cara seperti itu.
"Aku pulang sekarang ya," tiba-tiba saja Dafa menjilat lidahnya sendiri. Dia yang tadi menolak meninggalkan dapur berubah pikiran begitu mendengar Vivian berada di rumah sendirian. Iya, tentu saja sendirian, orang tuanya pasti belum kembali ke rumah.
Namun, dengan mendadak pula Vivian merubah pikirannyan. "Nggak! Nggak usah! Kamu diam aja di sana. Sekalian tidur di sana nggak apa-apa," ucapnya dengan buru-buru.
Kembali terdengar kekehan keluar dari mulut Geo. Lucu sekali, karena Vivian dan Dafa terlihat bodoh di matanya.
"Aku nggak mau nginap di sini, Vi. Jemput aku kalau restoran sudah tutup!" ujar Dafa. Namun, Vivian tidak sependapat. Vivian pikir Dafa lebih baik tidur di restoran saja, di lantainya. Ingin sekali Vivian tertawa jahat.
"Maafkan aku Dafa, tapi aku ada dinner malam ini sama Teo," tentu saja Vivian berbohong. Sejak kapan dirinya dan Teo makan malam bersama tanpa Geo? Ck. Vivian harus tetap membawa permainan ini bersamanya sampai Dafa menyerah dan pulang ke Indonesia.
"Dalam mimpimu, Vi! Sampai kapan pun aku nggak akan biarin kamu makan malam dengan lelaki itu!" dapat Vivian rasakan betapa tegasnya suara Dafa diujung sana. Namun, Vivian tidak takut sama sekali. Dia akan menantang apapun yang Dafa inginkan.
Dalam gerakan paling ringan, Vivian menekan tombol merah di layar ponselnya. Perempuan itu mematikan sambungan tanpa peduli apa yang sedang terjadi di restorannya. "Dalam mimpimu juga Dafa, selamanya kamu nggak pernah bisa dapatin hatiku lagi." rupanya rasa benci karena penolakan beberapa bulan yang lalu mengakar di dalam hati Vivian. Tekatnya benar-benar sudah bulan dalam membuang jauh-jauh harapnya tentang Dafa.
Semua sudah terlanjur, tak ada jalan kembali untuk keduanya. Vivian akan terus berjalan dengan jalan yang dia pilih. Meskipun Dafa akan berlari mengejarnya. Sekali ini saja, Vivian ingin melihat bagaimana tertatihnya ia dulu melalui Dafa dalam memperjuangkan cinta dan sebuah ikatan yang kini lelaki itu lakukan.
"Berbalik sudah, Daf. Semoga kamu sadar seberapa keras aku mencintaimu dulu," lirihnya
.
.
Bersambung