***
Tepat pukul Delapan malam Ardafaza Prangestu baru saja tiba di kediaman Vivian dan orang tuanya. Vivian betul-betul tidak menjemput lelaki itu sesuai dengan apa yang dia katakan.
Decakan kesal keluar dari mulut Dafa. Dia terpaksa memohon pada Geo agar mengantarnya karena sungguh sial bagi Dafa yang lupa membawa dompetnya.
"Assalamu'alaikum," sapa lelaki itu setelah mengetuk pintu yang terkunci dari dalam. Dafa menghela napasnya, dia menunggu seseorang membukakan pintu untuknya. "Loh Daf kok pulang? Katanya kamu tidur di restoran," adalah Stev yang mengalah membukakan pintu untuk Dafa. Lelaki parubaya itu mengerut heran mendapati mantan calon menantunya berada di luar, sementara baru setengah jam yang lalu putrinya berkata Dafa menginap di restoran.
Dafa tidak merasa terkejut dengan kata-kata itu. Dia tahu persis siapa yang menyebarkan informasi palsu yang mengatakan dia menginap di restoran. "Ahh, iya om, Dafa lupa harus melakukan sesuatu besok pagi," ucapnya secara asal.
Stev yang mengerti mengangguk saja. Dia tak perlu banyak bertanya karena tak mungkin Dafa tidir di restoran yang tidak memiliki bilik untuk tidur. "Ayo masuk!" ajaknya. Dengan begitu Dafa pun masuk ke dalam. Matanya mencari-cari keberadaan makhluk cantik yang bertahun ini selalu dia abaikan. Siapa lagi kalau bukan Vivian, mantan tunangannya.
"Kamu mencari Vivian?" pertanyaan Stev yang terdengar secara tiba-tiba membuat Dafa salah tingkah. Ia mengusap tengkuknya dengan malu. "I.. Itu om, emmhh iya," jawabnya pada akhirnya. Stev sadar betul rasa bersalah dalam diri Dafa karena telah menyakiti putrinya masih terlihat jelas. Lelaki itu bahkan tampak kikuk padanya.
"Vivian sedang pergi bersama Teo," terang Stev. Dia juga penasaran bagaimana reaksi Dafa setelah mendengar jawabannya.
"Maksud Om?" pertanyaan Dafa sudah membuktikan ketidak nyamanannya terhadap jawaban Stev. "Mereka makan malam berdua?" lalu pertanyaannya pun mampu membuat Stev yakin hati Dafa sedang terbakar. Namun, Stev mengerutkan dahi sebab setahunya Vivian dan Teo pergi untuk urusan bisnis yang sedang Teo rintis. Meskipun hanya tunangan kilat, tetapi sejak dulu Vivian memang dekat dengan Teo. Apa lagi keduanya baru bertemu lagi setelah sempat terpisahkan oleh jarak dan waktu.
"Iya," dan akhirnya Stev memilih jawaban itu. Dia yakin Dafa mengetahui pasal makan malam ini juga dari Vivian. Stev juga yakin putrinya berbohong karena suatu alasan. "Mereka pergi sekitar Tiga puluh menit yang lalu," terangnya menambahkan.
Reaksi Dafa atas penjelasan itu adalah menggenggam tangannya dengan keras. Bahkan bukuh jarinya tampak menegang dan menonjol dengan jelas di sana. "Terima kasih, Om. Dafa ke kamar dulu," ucapnya. Stev ingin sekali menertawakan sikap Dafa atas keluguannya yang mau-mau saja ditipu anaknya. Namun, di sisi lain, Stev juga merasa kasihan melihat lelaki itu patah hati dan kecewa.
Stev semakin merasa kasihan saat mengingat suatu hari nanti Dafa akan semakin terluka setelah segala yang pernah Vivian rencanakan menyakitinya. "Sudahlah, itu urusan mereka. Lagi pula Dafa mungkin pantas mendapatkannya setelah pernah menyakiti Vivian," bathinnya.
"Dafa!"
Panggilan itu menghentikan langkah kaki Dafa. Menoleh pada Stev di bawah tangga sana. Stev masih saja merasa tidak tega. "Kamu sudah makan malam?" tanya Stev.
Dafa sempat terdiam dan menunduk. "Sudah Om," jawabnya yang kembali menatap pria parubaya yang urung menjadi mertuanya itu. Dafa terpaksa berbohong mengingat tadi dirinya ingin makan malam berdama Vivian di rumah. Namun, sayang, tak dijemput dan mendapati Vivian tidak ada di rumah mengurungkan semua itu.
"Naiklah," sahutan yang Stev berikan membuat Dafa mengangguk singkat. Ia kembali melanjutkan langkah kakinya.
Ketika sampai di dalam kamar, Dafa menutup rapat pintunya. Ia merebahkan tubuhnya yang terasa sangat letih hari ini. Bagaimana tidak, sehabis turun dari pesawat ia langsung membantu di restoran. Apa lagi dirinya juga tak sempat mengisi perut seharian ini karena terlalu sibuk memikirkan rencana untuk kembali mendapatkan Viviannya.
"Ini baru sehari, Dafa! Jangan nyerah kayak gini!" ujar lelaki itu menyemangati diri sendiri.
Dafa memejamkan matanya, membawa tangannya ke atas dahi. Dafa kembali mengingat apa yang telah dia lakukan di masa lalu pada Vivian. Kini, semua seolah berbalik padanya. Vivian membencinya, menjaga jarak sejauh mungkin darinya. Hal itu menyakiti hati Dafa. "Ternyata begini rasanya, Vi. Aku menyesal mengabaikanmu dulu," lirihnya.
Iya, Dafa menyesal karena ternyata dia mencintai Vivian. Dafa sungguh menyayangkan sikapnya di masa lalu. "Maafin aku, Vi, semoga kamu masih mau balikan sama aku," harapan melambung tinggi bersama angin di atas kebohongan yang Vivian ciptakan. Kebohongan yang suatu saat nanti akan menyakiti Dafa dengan sangat dalam. Hingga bisa membuat keduanya sama-sama terluka.
Sayang, mereka tak juga menyadari. Terlebih Dafa, dia tidak menyadari ada sandiwara besar yang sedang Vivian mainkan demi mengusirnya pergi.
"Maafin aku, Sayang," lirih Dafa. Ia semakin memejamkan matanya dengan erat hingga bermenit lamanya. Bahkan lelaki itu tak berniat membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Dia memilih membiarkan keringat menyatu dengan kulitnya. Padahal lelaki itu belum mandi sejak datang kemari.
"Dafa!"
Lalu suara pekikan sekaligus pintu yang berdebam keras kembali membuat mata chef bertubuh tinggi itu terjaga. Ia membuka matanya dengan paksa saat ternyata kantuk sudah menyerangnya beberapa saat yang lalu. "Vivian?" sejumlah tanya menyeruak dalam benaknya kala mendapati wanita yang ia cintai sedang berdiri tegak di tengah-tengah pintu.
"Kamu.." suara Vivian yang tinggi teredam begitu saja saat melihat wajah Dafa yang sayu. Mendadak rasa bersalah memenuhi ruang hatinya. Namun, secepat kilat Vivian menyingkirkan rasa tak pantas itu. "Kenapa kamu pulang?" tanyanya. Beberapa pertanyaan lain yang sudah mengantri dalam benak chef cantik itu pun coba ia singkirkan. Pertanyaan yang menjadi alasan kenapa dirinya sudah ada di rumah lagi saat ini. Padahal pertemuan penting milik Teo belum selesai sepenuhnya.
"Kenapa kamu di sini, Vi?" bukan menjawab pertanyaan Vivian lebih dulu, tetapi Dafa balik bertanya.
Vivian memutar bola matanya. Mencoba menahan mulutnya agar tidak menjawab tanya itu dengan jujur. Sebab, yang menjadi penyebab kenapa ia ada di sini adalah informasi dari Geo tentang Dafa yang tak sempat makan siang maupun makan malam selama di restoran hari ini. Hanya karena itu Vivian berlari, meninggalkan pertemuan penting yang Teo sedang lakukan bersama kliennya. "Memangnya aku nggak boleh pulang? Ini rumah orang tuaku kalau kamu lupa!" kesalnya.
Dafa mengerutkan dahi. Bukan itu yang dia maksud. "Tapi bukannya kamu lagi makan malam sama tunanganmu itu?" tanya Dafa penasaran.
Vivian terkejut. Ia lupa tentang rencana makan malam yang dirinya karang beberapa jam yang lalu. Dengan pura-pura tak enak badan Vivian berkata, "Aku pulang karena kepalaku pusing." jawabnya.
Jawaban itu berhasil membuat Dafa berlari menghampirinya. "Kamu sakit?" dan pertanyaan kecil dalam bentuk perhatian itu membuat Vivian terenyuh. Lalu sebuah pengharapan muncul dalam hatinya. Andai dulu Dafa memperlakukannya seperti ini, mungkin mereka tak perlu memutuskan hubungan. Mungkin sekarang mereka sudah memiliki rumah tangga yang diharapkan.
"Aku baik-baik aja," sahut Vivian. Dia mundur selangkah dari Dafa. Menciptakan jarak yang teramat sangat tidak lelaki itu sukai. "Vi," Dafa maju selangkah, kembali mengikis jarak di antara mereka.
Dalam waktu yang sama detik seolah berhenti berputar. Keduanya saling menatap. Membiarkan rasa itu melebur menjadi satu meski hanya beberapa detik saja. Sebab Vivian kembali menciptakan jarak untuk keduanya. "Kamu nggak mandi?" dan pertanyaan serta kernyitan di hidung mancung Vivian berhasil menghentikan pergerakan Dafa yang ingin menggenggam pergelangan tangan Vivian.
Dafa membawa langkahnya mundur ke belakang. Kini dia sendiri yang menciptakan jarak itu. Mendadak Dafa menyesal tak langsung mengguyur tubuhnya beberapa saat lalu. Andai dia tahu Vivian akan kembali dengan cepat, mungkin kejadian seperti ini tak perlu membuatnya malu. "Ahh maaf," ucapnya sambil mengusap lehernya.
"Aku mandi sekarang!" ujar lelaki itu sambil berlari cepat, masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya itu. "Vi, nanti kita ngobrol lagi!" seruan Dafa masih terdengar oleh Vivian saat dia baru saja akan menutup pintu kamar lelaki itu. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman yang terasa canggung. Tidak ada kata nanti yang Dafa harapkan karena Vivian baru saja menyesali perbuatannya yang mengkhawatirkan Dafa.
Vivian menutup rapat pintu kamar Dafa dari luar. Dia menyenderkan tubuhnya di sana tanpa sadar ada yang diam-diam memperhatikannya.
"Jadi Dafa adalah alasan kenapa kamu ninggalin Teo gitu aja, Vi?" pertanyaan itu memenuhi indra pendengaran Vivian begitu saja. Vivian terkejut, ia menoleh dengan cepat pada sumber suara. "Mama?" jelas suara Vivian mengandung tanya. Kenapa mamanya harus melihatnya yang sedang menenangkan diri akibat telah salah mengkhawatirkan Dafa.
"Kenapa, Vi? Masih cinta sama Dafa?" tanya itu kembali terdengar. Buru-buru Vivian menghampiri mamanya dan menarik tangan wantia parubaya itu dengan lembut. Vivian takut Dafa telah menyelesaikan mandinya dan mendengar percakapan mereka.
"Jawab Mama Vivian!" ujar Rose dengan nada suara yang cukup tinggi setelah mereka sampai di kamar Vivian.
"Mama, nggak gitu, Ma. Vivian cuma.."
"Kamu cuma masih belum sepenuhnya lupain dia, gitu?" potong Rose dengan cepat. Sebagai ibu, Rose benar-benar tidak ingin putri semata wayangnya itu kembali menderita.
Vivian terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa, sebab mamanya benar. Hanya saja tak mungkin hatinya menyuarakan itu dengan lantang.
"Mama nggak mau kamu terluka lagi, Vi. Mama mau kamu bahagia, Sayang. Kamu nggak tahu kan hancurnya hati mama saat kamu pulang ke sini dalam keadaan yang berantakan," terang Rose mengulang memori beberapa bulan lalu.
Sungguh benar, hari itu Vivian menumpahkan air matanya di depan Rose dann Stev. Ia menunjukan betapa sakitnya dirinya karena Dafa. Sementara beberapa menit lalu, dia kembali mengkhawatirkan lelaki itu. "Maafin aku, Mama. Mulai sekarang itu nggak akan terulang lagi," janjinya.
.
.
Bersambung.