***
Dafa menyenderkan badannya di dinding tepat di samping pintu kamar Vivian yang tidak terkunci. Pintu itu sedikit terbuka sehingga Dafa dapat mendengar percakapan ibu dan anak di dalam sana. Beberapa saat lalu Dafa menyelesaikan mandinya dalam waktu tak kurang dari Lima menit. Tadinya, Dafa tak ingin membuat Vivian menunggu terlalu lama. Namun, ketika dia sudah selesai mandi kilat, Vivian sudah tidak ada di dalam kamarnya. Dengan cepat Dafa mengenakan pakaiannya lalu berlari mencari keberadaan Vivian.
Siapa sangka ia mendengar sesuatu yang menyakitkan seperti ini dari bibir keduanya. Hati Dafa mencolos, menyesali segala yang pernah terjadi. Matanya berkaca-kaca, air mata seolah berdesakan untuk menuruni pipinya. "Maafin aku, Vi," bisik lelaki itu mencoba untuk tegar.
Perlahan, Dafa meninggalkan tempat itu untuk kembali ke kamarnya sendiri. Sejujurnya, Dafa tak nyaman berada di rumah ini, tetapi ia menganggap ketidaknyamanan itu adalah bagian dari perjuangannya untuk kembali mendapatkan Vivian. Dafa akan berusaha menyembuhkan hati Vivian yang pernah dirinya sakiti dengan sangat dalam.
Dafa terduduk di atas tempat tidurnya. Perutnya terasa sangat lapar, tetapi selera makannya hilang entah ke mana. Dafa merasa ia tak bisa menelan sedikit makanan saja karena terlalu bersalah pada masa lalunya. Lelaki itu merebahkan tubuhnya, kembali membiarkan matanya terpejam rapat. Kantuk datang, hanya saja Dafa tak tahu kapan waktunya. Ketika ia kembali membuka mata, matahari pagi sudah menyapa.
Chef Dafa bangun dari tidurnya, ia menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri. Hari ini, Dafa akan meminta ketegasan Vivian agar membiarkannya bekerja di restoran. Hanya itu yang bisa Dafa lakukan demi kembali mendekati Vivian. Dafa akan memulai dari berbagi dapur dengan perempuan itu sekalipun Vivian sendiri jarang berada di sana. Tidak apa-apa, Dafa yakin Vivian hanya mencoba menghindar darinya. Karena sesungguhnya, seorang Vivian tak akan tahan untuk tidak turun tangan sendiri di dapurnya.
"Sudah mandi kamu, Daf?" adalah pertanyaan yang pertama kali Dafa dengar dari Stev. Dafa mengangguk singkat sambil memamerkan senyumnya. "Iya Om," jawab lelaki itu dengan ramah.
Semua orang sudah berkumpul di meja makan kecuali Vivian. Mulut Dafa gatal ingin bertanya. Namun dia menahan diri untuk tidak melakukan itu sekarang. Dia haru memohon pada Stev dan Rose terlebih dahulu soal keinginannya bekerja di restoran Vivian.
"Om, tante, ada yang mau Dafa bicarakan," ucap Chef Dafa memulai obrolan. Sepasang suami istri itu menatap Dafa dengan heran. "Apa?" tanya Rose yang benar-benar menunjukan ketidak sukaannya pada Dafa sejak insiden perasaan Vivian yang hampir saja berpihak lagi pada lelaki itu.
Dafa menarik napasnya sebelum mengeluarkannya secara perlahan. Ia menatap Rose dengan khawatir melihat bagaimana ibu dari wanita yang dicintainya itu tampak sangat membencinya.
"Begini tante," sejujurnya Dafa betul-betul kebingungan memilih kata-kata yang tepat.
"Om dan tante sudah tahu tujuan aku ke sini adalah untuk meminta Vivian kembali padaku. Namun, aku nggak akan maksa. Om dan tante nggak usah khawatir tentang itu. Aku hanya minta satu tante, izinkan aku bekerja di restoran Vivian selama berada di sini," ucap Dafa dengan tegas. Tak ada keraguan ketika dia mengatakan ingin meminta Vivian kembali padanya itu.
Rose sudah meletakan sendok dan garpunya begitu Dafa menyelesaikan perkataannya. Tangannya menggenggam dengan erat. Entah kenapa Rose selalu saja emosi kala mendengar maksud Dafa datang ke sini. Rose menoleh ke samping saat tangannya digenggam dengan erat oleh suaminya. Lalu gelengan kepala ditangkap oleh matanya, mengisyaratkan agar ia menahan emosinya. Dengan terpaksa Rose melakukan itu. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar.
"Aku tahu tante sangat membenciku saat ini. Aku benar-benar minta maaf tan, tapi aku nggak bisa mundur untuk memperjuangkan Vivian dan memperbaiki semuanya," ucap Dafa. Dia mengeluarkan segala keresahannya di depan Rose.
"Begitu juga dengan om Stev, aku minta maaf atas apa yang pernah terjadi di masa lalu pada putri kesayangan Om. Kali ini aku benar-benar ingin menjadikannya yang terakhir dan satu-satunya bagiku," ungkap Dafa lagi. Dia berusaha untuk merendahkan suaranya agar emosi kedua orang tua Vivian tidak meledak kepadanya.
Kini giliran Stev yang menghela napasnya dengan berat. Bukan karena tak setuju Dafa memperjuangkan putrinya, tetapi dia semakin merasa bersalah telah ikut mempermainkan perasaan Dafa. "Kamu yakin, Daf? Menurut om, kamu lebih baik pulang saja. Jalani hidupmu tanpa Vivian seperti dulu," ucapnya.
Dafa menggeleng lemah, "Hidupku selalu dikelilingi oleh Vivian, Om, aku saja yang terlambat menyadari," balasnya.
"Aku benar-benar mencintai Vivian, Om tante. Aku pasti kembali jika memang sudah waktunya,"
Dafa benar, Stev setuju dengan itu. Jika waktunya sudah tiba, Dafa pasti akan kembali dengan sendirinya. Entah itu karena ia sudah merelakan Vivian atau karena hatinya terluka jauh lebih dalam dari putrinya.
"Om bisa saja memberimu izin untuk bekerja di restoran, tapi itu milik Vivian. Selain itu ada Geo di sana. Kamu coba bicarakan pada Vivian saja," ucap Stev.
Dafa mengalihkan tatapan matanya pada piring di depannya. Piring itu sudah berisi nasi, dia hanya harus menambahkan lauk saja. Beberapa detik kemudian, Dafa kembali menatap Stev dan Rose secara bergantian. "Terima kasih Om, Tante," ucapnya tulus.
Apa pun yang terjadi Dafa harus mendapatkan persetujuan Vivian. Meskipun kelak ia harus menjilat ludahnya sendiri karena memaksa Vivian demi mendapatkan persetujuan itu. Anggap saja ini bagian dari usahanya. Lagi pula cukup menguntungkan bagi Vivian karena Dafa tidak bermaksud meminta gajia pada wanita yang dia cintai itu.
"Vivian mana, tan?" tanya Dafa setelah melihat kepala Stev mengangguk untuknya. Sementara Rose sendiri tidak suka dengan pembicaraan mereka. Dia lebih baik diam dari pada harus menyahut dengan ketus. Namun, Dafa malah mengajaknya bicara.
"Vivian masih di kamarnya!" ujar wanita parubaya yang dua puluh lima tahun lalu pernah melahirkan Vivian itu.
Dafa memaklumi setiap keketusan yang Rose tunjukan padanya. Dia sama sekali tidak tersinggung mengingat apa yang pernah dirinya lakukan pada Vivian. "Ohh masih di kamar," hanya itu tanggapan dari Dafa.
Rose tidak tahan lag. Dia merasa harus mengeluarkan segala kekesalannya ini. "Daf, dulu tante sayang banget sama kamu. Tante nggak masalah karena kamu nggak balas perasaan anak tante karena kalian masih berteman baik," mulainya.
"Ma!" Stev memberi peringatan. Namun, Rose seakan tuli akan itu.
"Tapi sekarang kamu harus tahu, perasaan itu sudah hilang. Tante akui, Vivian pernah sangat memaksakan perasaannya. Tante sudah memaafkan penolakanmu, tapi tante nggak bisa diam aja saat kamu datang lagi ketika putri kesayangan tante mulai menata hidupnya," itu adalah apa yang ingin Rose sampaikan. Sekali lagi, meskipun sikapnya pada Dafa sudah berubah, tapi dia tetap saja seorang Rose yang pernah begitu menghargai Dafa.
Hanya saja, dia memang tidak bisa membiarkan Dafa merusak senyum putri semata wayangnya lagi. Rose akan melakukan segala cara agar Dafa pergi dari hidup Vivian yang dia lihat perlahan baik-baik saja.
"Kamu pasti sadar kalau tante nggak setuju kamu ganggu hidup Vivian lagi," ucapnya.
Dafa mengangguk lemah, dirinya menyadari hal itu sejak pertama kali ia menginjakan kaki di sini kemarin. Namun, masih terlalu dini baginya untuk menyerah. Dafa tak ingin pulang dalam keadaan tanpa Vivian di sisinya. Setidaknya, Dafa harus sedikit berjuang untuk meluluhkan hati Vivian, terutama hati ibunya yang kini terluka olehnya. "Sekali lagi Dafa minta maaf tante, tapi Dafa mohon beri Dafa kesempatan kedua," ucapnya.
"Tante boleh mengusirku pergi kalau ternyata aku benar-benar nggak pantas untuk Vivian," lanjutnya.
"Tapi Vivian punya Teo di sisinya, Dafa. Kamu mau merebutnya?"
Benar, Vivian sudah memiliki Teo dalam penglihatan Dafa. Kenyataan itu menghantam dirinya, sedikit menjatuhkan tekatnya untuk kembali mendapatkan Vivian. Namun, chef Dafa tidak semudah itu menyerah. Dia akan buktikan bahwa Vivian tak pernah mencintai Teo sekalipun.
"Aku nggak akan melakukan itu tante, tapi aku ingin Vivian sendiri yang kembali. Jika memang Vivian memilih Teo, saat itu aku akan nyerah," balas Dafa dengan tegas.
Rose menggigit bibir bagian dalam miliknya. Dia mengesampingkan perasaan bersalahnya karena telah menipu Dafa. "Ya udah terserah kamu. Tapi, tante tetap lebih memilih Teo yang baik hati dari pada kamu yang pernah menyinyiakan cinta Vivian," tak hanya Dafa yang tegas dengan pilihannya, tetapi Rose pun demikian. Dia tak bisa mundur lagi. Dirinya terlanjur merencanakan segalanya demi kebahagian Vivian.
"Sudahlah jangan membahas sesuatu yang berat saat sedang sarapan," Stev menengahi. Ia tahu betul betapa kerasnya Rose ketika sudah memutuskan sesuatu. "Makan Daf, biar kuat perjuangin anak om," ucapnya.
Dafa mengangguk singkat, "Terima kasih, Om," balasnya bertepatan dengan kedatangan Vivian.
"Pagi," sapa perempuan berparas cantik itu.
"Pagi Sayang," Stev dan Rose membalas secara bersamaan. Keduanya begitu kompak.
"Pagi, Vi," Dafa ikut menyuarakan sapaannya. Beberapa saat setelahnya Dafa menunduk. Ia tahu percuma saja menyapa Vivian karena perempuan itu bahkan tak berniat menatapnya. Dafa menahan segalanya, dia baik-baik saja dengan itu. Dirinya pasti bisa mendapatkan Vivian lagi.
"Duduk Vi, sarapan dulu." dan Vivian menuruti itu. "Geo bekerja dengan baik, Vi?" tanya Stev.
"Iya, Pa. Geo selalu kerja dengan baik. Dapur adalah cinta pertama dan terakhirnya," jawab Vivian sambil terkekeh. Dia menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.
Stev menganggukan kepalanya. "Gimana kalau selama di sini Dafa kerja di restoran saja? Berbagi dengan Geo," ucapan Stev membuat Dafa mengangkat kepalanya. Dia pikir ayah dari wanita yang dirinya cintai itu akan membiarkannya bicara sendiri pada Vivian. Namun, ternyata tidak. Dafa bersyukur akan hal itu, terlihat jelas bahwa Stev memberinya dukungan.
"Maksud Papa?" tanya Vivian pura-pura tidak paham. Padahal perasaannya mulai tak enak sendiri.
"Sharing, kalian bisa berbagi dapur bersama," bola mata Vivian membesar mendengar jawaban Papanya. Berbagi dapur dengan Dafa adalah sesuatu yang selalu Vivian impikan, dulu. Iya, dulu, ketika hatinya masih bertekat ingin mendapatkan Dafa. Namun, kini dirinya tengah berjuang untuk membuat Dafa menjauh darinya. Berbagi dapur bukan ide yang bagus menurut Vivian mengingat perasaannya yang renta ini.
"Tapi Pa, aku nggak yakin Geo setuju," sahut Vivian mencoba untuk menolak usulan Papanya. Vivian melirik Rose yang diam saja. Kenapa Mamanya tidak mengatakan sesuatu yang bisa membantu Vivian keluar dari masalah ini?
"Biar Papa yang bicara sama Kakak Sepupumu itu,"
Vivian menelan ludahnya dengan susah payah. Ia berharap Geo menolak mentah-mentah saran Papanya itu. Namun, sayang setelah sarapan selesai, Vivian harus menggigit jarinya karena jawaban Geo adalah setuju. Vivian merutuki sikap penurut kakak sepupunya itu pada papanya.
"Jadi mulai sekarang Dafa bagian dari restoranmu ya Vi, soal gaji terserah kalian." ucap Stev.
"Ohhh aku nggak perlu digaji, Om. Tolong terima niat baikku, Vi," sahut Dafa dengan cepat. Ia sempat menatap Stev sebelum beralih menatap Vivian sepenuhnya.
"Niat baik atau modus, Chef?" sindir Rose.
Stev tertawa karena tingkah istrinya. "Papa berangkat duluan ya. Daf, kamu bisa pakai salah satu mobil di rumah ini kalau mau," ucapnya.
"Terima kasih, Om. Tapi, aku berangkat sama Vivian aja,"
"Hemm modus lagi. Hati-hati Vi, kasihan calon menantu mama. Nanti cemburu!" sekali lagi Rose menyahuti. Dia dengan sengaja membawa Teo dalam perbincangan itu.
"Kalau gitu aku akan minta Teo lebih sering antar jemput aku, Ma," ucap Vivian meruntuhkan rencana manis yang ada di dalam benak Dafa tentang dirinya yang setiap hari pulang pergi dengan mobil yang sama dengan Vivian.
"Nggak apa-apa, kita bisa pergi bertiga."
Bola mata Vivian kembali melotot karena perkataan Dafa. Ia merengut dan kesak sendiri. Seenaknya saja Dafa mengacaukan rencana move on-nya ini. "Terserah kamu!" ujarnya.
Melihat interaksi keduanya, menciptakan kelucuan sendiri dalam benak seorang Stev. Dia mengangguk singkat kala menyimpulkan sesuatu. Sebenarnya, Vivian dan Dafa masih saling mencintai, tapi Vivian terlalu takut terluka lagi hingga dia membangun benteng yang pasti sulit untuk Dafa hancurkan agar bisa lebih dekat dengan putrinya itu.
Stev berharap mereka pada akhirnya saling memaafkan bukan saling menyakiti seperti ini. Jika waktunya tepat, Stev akan memberi Vivian nasihat agar menghentikan permainan ini. Dia merasa Dafa bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan Vivian.
"Papa berangkat dulu," pamit pria parubaya itu sekali lagi. Rose beranjak dari duduknya. Ia menyalimi Stev dan Stev mencium keningnya dengan mesra. Setelah itu Stev menghilang dari pandangan mata mereka.
Kini, Vivian juga berpamitan. Pun, dengan Dafa. Dia mengikuti ke mana kaki jenjang Vivian melangkah. "Biar aku yang nyetir," pinta Dafa. Kunci mobil dilempar begitu saja oleh Vivian kepada Dafa. Perempuan itu enggan berdebat hingga ia segera duduk di sisi pengemudi. Dafa tak berharap banyak dari perjalanan kali ini, sebab Vivian menutup mulutnya rapat hingga mereka tiba di restoran.
.
.
Bersambung