SKWAC | Chapter 8 √

1069 Kata
*** Kesibukan di restoran ternyata cukup menyita perhatian Dafa tentang misinya. Lelaki itu benar-benar mencurahkan waktunya untuk membantu menyiapkan setiap menu yang di pesan. Sama seperti Vivian dulu, ketika ia bekerja di restoran Kakek Bram. Vivian mengesampingkan segala bentuk rasanya bila sudah berhubungan dengan dapur. Kini, Dafa yang melakukannya. Dia benar-benar tampak lupa pada tujuannya sendiri ketika sudah disibukan dengan wajan, minyak goreng, ataupun pisau dapur. "Sepertinya aku harus menemukan pekerjaan baru," sindir Geo saat pelanggan mulai sedikit sepi. Dafa yang sadar betul pada siapa Geo bicara menoleh dengan cepat. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum sinis. "Bagus kalau kau menyadari," ucapnya tak tahu diri. Geo terkekeh, ia membalas tatapan Dafa dengan santai. "Dafa.. Dafa.. Seharusnya yang kau lakukan sekarang mengajak Vivian kencan. Bukan menguasai dapurku seperti ini atau biar aku saja yang pergi dengan sepupu cantikku itu?" dengan sengaja Geo memanasi Dafa. Sejujurnya, Geo pun merasa kesal karena Dafa secara tidak langsung benar-benar merebut dapurnya. "Coba saja kalau berani!" ujar Chef Dafa. Ia menekan pisaunya terlalu keras hingga meninggalkan bekas pada talenan yang sedang dia gunakan. Geo terkekeh. "Tentu aku berani. Hanya saja dapur lebih menarik dari pada membuatmu kesal dan cemburu buta," ucapnya. Dafa semakin mengeratkan pegangan pada pisaunya. "Kalau begitu aku akan mengambil alih dapurmu, Chef Geo!" dan perang antara kedua chef itu baru saja dimulai. Namun, sesungguhnya, bagi Geo, Dafa bukan apa-apa selain pecundang yang telah berani menyakiti sepupu kesayangannya. Geo mengalah bukan berarti kalah dari Dafa. Dia sedang mencari moment yang tepat untuk menghancurkan lelaki itu. Tentu saja Geo tak akan membiarkan Dafa mengambil alih dapurnya. "Berhenti kalian berdua! Mau masak atau berantem?" suara Vivian terdengar di antara keduanya. Perempuan berparas cantik itu menatap tajam pada Dafa dan Geo secara bergantian. Itu lah kenapa Vivian turun tangan bergabung ke dapur hari ini. Dia sudah bisa menebak bahwa Dafa dan Geo pasti bertengkar jika ia tinggalkan. Kini terbukti sudah. Baru lima menit yang lalu Vivian meninggalkan keduanya untuk mengatasi kekurangan bahan makanan di gudang, mereka sudah mulai beradu mulut. Vivian berkacak pinggang. "Geo, aku sangat menyayangimu. Tolong jangan bertengkar dengannya. Mulai hari ini, dapur ini adalah milik bersama!" putus Vivian. Tentu saja Dafa tersenyum puas. "Tapi, kamu akan tetap jadi kepala koki di sini. Dan dia!" ujar Vivian menunjuk Dafa. "Dia hanya bawahan, pembantu, yang bisa kau suruh kapan pun juga," pupil mata Dafa membesar ketika mendengar perkataan Vivian setelahnya. Dafa gusar. Ia ingin protes. "Nggak bisa gitu Vi, aku..." "Diam kamu! Kalau nggak suka keluar dari sini. Pulang ke Jakarta sekarang juga!" potong Vivian dengan cepat. Hal itu membuat Dafa terdiam. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Membayangkan menjadi pembantu Geo, membuat Dafa sakit hati sendiri. Entah kenapa sejak awal bertemu lagi dengan Geo, Dafa memiliki firasat buruk. Chef bertubuh tinggi, hidung mancung itu pasti tidak menyukai keberadaannya kini. Dafa takut Geo memanfaatkan situasi untuk perlahan mengusirnya pergi. Meski bagi Dafa, rival paling nyata baginya adalah Teo, tunangan Vivian. Ah sial! Banyak sekali penghalang hubungannya dengan Vivian. "Kamu mau pulang atau jadi pembantunya Chef Geo?" bentak Vivian. "Ya nggak jadi pembantu juga kali! Asisten paling nggak," protes Dafa. "Geo sudah punya asisten. Tempat yang kosong hanya pembantu!" Baiklah, sepertinya Dafa benar-benar tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui apapun yang Vivian inginkan. Meski nanti Dafa yakin, Geo akan memeprsulitnya. "Aku setuju!" tegas Dafa. Ia menghadap pada Geo dengan hormat. "Mohon kerja samanya, Chef Geo," ucap Dafa. Geo menahan tawanya. Beberapa menit yang lalu Dafa sangat angkuh. Seolah dapur itu miliknya seorang. Kini, Dafa terpaksa melayaninya sebagai bahawan. Geo sudah memikirkan banyak cara untuk membuat Dafa menderita selama berada di restoran ini. "Selamat bekerja Chef Dafa. Boleh aku meminta sesuatu darimu sebagai bawahanku?" tanya Geo memulai penyiksaannya. Astaga! Dafa ingin sekali menolak. Dia tak sudi Geo memerintahnya begini. Namun, demi kembali mendapatkan hati Vivian, Dafa rela harga dirinya terinjak-injak. "Tentu Chef," jawab Dafa sambil memaksa senyumnya. "Tolong bantu Valerie mencuci piring," ucapnya dengan santai. Rahang Dafa mengeras. Dia menggenggam tangannya dengan keras hingga bukuh jarinya terlihat menonjol. "Baiklah," geramnya. Dengan cepat Dafa meninggalkan tempatnya, membiarkan sisa pekerjaannya terlantar begitu saja. Melihat itu, Vivian menghela napasnya dengan berat. Ia menatap punggung Dafa yang tangannya sibuk mencuci piring. "Kamu kasihan?" pertanyaan itu membuat Vivian menoleh dengan cepat. "Nggak!" jawabnya penuh kebohongan pada Geo. "Bagus! Kamu harus ingat bagaimana dia menelantarkanmu beberapa bulan yang lalu," ucap Geo mengingatkan Vivian akan sikap Dafa padanya di masa lalu. Geo benar, Dafa sudah terlalu banyak melakukan kesalahan. Lelaki itu jelas sedang menerima hukuman dari orang-orang yang mencintai Vivian dengan tulus. "Jangan menyerah membuatnya pergi Vi kalau kamu tidak ingin terluka lagi," Vivian tidak mengatakan apapun. Dia terdiam, menunduk dengan dalam. Separuh hatinya mengiyakan, tetapi separuh lagi merasa kesakitan. Vivian menggeleng dengan keras. Dirinya harus konsisten. Sekali membenci Dafa, maka selamanya akan begitu. Dia dan Dafa tak memiliki jalan kembali. Mereka memang sudah di takdirkan untuk berpisah. "Aku nggak khawatir sama Dafa, aku khawatir kalian bertengkar lagi," ucap Vivian sambil mengembangkan senyumnya. Geo terpana melihat itu. Adik sepupunya memang pandai membuat jantung berdebar sejak dulu. Namun, Geo menegaskan bahwa Vivian hanya seorang adik baginya. Geo sedikit lega karena Teo yang adik sepupunya itu libatkan untuk menjadi tunangan palsunya. Geo tak tahu jika sampai dia yang berada di posisi Teo. Geo mengalihkan perhatiannya, ia mencubit pipi Vivian dengan gemas. "Bisa bantu aku menyelesaikan pekerjaan kita hari ini? Aku tidak bisa berada di restoran sampai malam," ucap Geo. "Kenapa?" tanya Vivian penasaran. "Kakek memintaku datang," bisiknya. "Sekarang?" Geo mengangguk tak enak. Dia ingin menolak undangan dari kakeknya, tetapi tak mungkin sebab sang kakek sudah berbesar hati membebaskannya berkelana dari restoran satu ke restoran lain seperti ini. Tanpa harus berdiam diri meneruskan warisan keluarga seperti adiknya. "Baiklah. Kau boleh pergi," Vivian menganggukan kepalanya. Ternyata hari ini dirinya memang harus turun tangan. Dapur membutuhkannya. Geo melepas apronnya juga topi kebanggaannya. "Kalau gitu aku pergi dulu," pamit lelaki itu sambil mengecup pipi Vivian dengan sengaja karena matanya sedang bertatapan dengan Dafa. "Sialan!" geram Dafa tertahan. Padahal, cium pipi bagi Geo dan Vivian adalah hal biasa. "Hati-hati," ucap Vivian. Ia mengerutkan dahi saat Dafa menatap tajam padanya. Kerutan itu semakin nyata saat Dafa meninggalkan wastafel dan mendekat padanya. Dafa tampak menatap Vivian dengan lekat. Perasaan terkesiap memenuhi diri Vivian saat jari jemari Dafa menyentuh pipinya, tepat pada bekas ciuman Geo. "Jangan lakukan itu lagi di depanku, Vi. Sekalipun Geo hanya sepupu bagimu," permintaan Dafa yang terdengar lirih membuat degup jantung Vivian bekerja secara tidak normal di dapur yang mereka bagi bersama. . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN