SKWAC | Chapter 9 √

1351 Kata
*** Deheman yang cukup keras terdengar dalam bisingnya suara kendaraan di jalan raya. Suara itu berasal dari mulut Vivian. Berdua saja dengan Dafa di dalam mobilnya setelah kejadian beberapa jam yang lalu membuat Vivian merasa tak nyaman. Beberapa kali Vivian mencuri tatap kepada Dafa yang tampak fokus menyetir. Tak perlu risau soal seberapa mampu lelaki itu membawa mobil di sini, sebab Dafa cukup lama tinggal di Aussie. Vivian melirik Dafa karena teringat kejadian tadi, ketika mereka masih berada di restorannya. "Kenapa, Vi?" tanya Dafa pada akhirnya. Bukan karena tak menyadari sikap Vivian sejak tadi, tetapi Dafa hanya ingin melihat bagaimana Vivian bersikap setelah ini. Namun, sampai kendaraan roda Empat yang dirinya kendarai itu sudah setengah perjalanan pun Vivian masih saja tampak tidak nyaman padanya. "Maksud kamu?" tanya Vivian pura-pura lugu. Mengerutkan dahi, Vivian membawa jati telunjuknya ke pelipisnya. Dafa terkekeh. Lelaki itu menyadari kegugupan Vivian. "Kamu dari tadi diam-diam..." "Stop!" ujar Vivian memotong penjelasan Dafa. "Siapa juga yang lirik-lirik kamu!" tanpa sadar Vivian sendiri yang mengatakan itu melalui mulutnya. Alis mata Dafa terangkat. Ia ingin mengejek Vivian demi saling menyahut kata dengannya. "Itu barusan kamu sendiri yang bilang," ucapnya. Pupil mata chef cantik itu membesar. Mulutnya menganga karena baru menyadari kesalahannya sendiri. "Aku..." "Udah nggak apa-apa. Nggak usah nyari alasan. Aku suka kamu perhatiin kayak gitu," kini Dafa yang memotong ucapan Vivian dengan cepat. Lelaki itu aengaja melakukannya karena ingin mendengar suara Vivian lagi, menyahutinya, mencoba menyangkal apapun yang dirinya katakan. Namun, hanya ada keheningan setelah itu. Vivian yang cantik membungkam mulutnya rapat-rapat. Ia mengabaikan apapun yang ingin dirinya katakan pada Dafa. "Vi?" panggil Dafa karena tak juga mendengar suara Vivian. "Kok diam?" tanyanya. Vivian mendesah berat. Ia menoleh pada Dafa yang sedang mengemudi. "Nyetir aja dulu. Aku nggak mau kita kecelakaan dan bikin heboh semua orang!" Vivian berkata dengan ketus. Tak ada pilihan lain, Dafa ikut membungkam mulutnya. Ia mencoba menyabarkan dirinya sendiri agar tak mudah terpancing. Dafa menyetir dengan pelan hingga mereka tiba di rumah pukul Sembilan malam. Buru-buru Vivian meninggalkan Dafa sendirian. Ia berlari, langsung masuk ke dalam kamar tidurnya. Vivian menyentuh pipinya dengan pelan. Hari ini begitu mendebarkan. Jantung Vivian masih saja berdetak kencang. Jika seperti ini terus, Vivian tak yakin bisa mengusir Dafa dari sini. Lelaki itu masih menjadi satu-satunya baginya. Sementara intensitas bertemu dengan Teo sangat terbatas mengingat lelaki itu sibuk dengan pekerjaannya. Vivian berdecak kesal. Sepertinya ia harus memaksa Teo untuk selalu berada di sisinya demi rencana ini. Vivian tidak bisa membiarkan Dafa terus menang atas dirinya. "Vi? Mama masuk ya?" suara Rose terdengar di luar pintu. Membuat Vivian cepat-cepat mengganti ekspresinya. Rose masuk setelah Vivian menyahuti. Wanita yang masih saja terlihat muda itu menghampiri putri tercintanya. "Apa yang terjadi hari ini, Vi?" tanyanya sambil tersenyum lembut. Rose akui akhir-akhir ini dirinya lebih posesif terhadap Vivian. Setiap hari Rose merasa gelisah karena takut Vivian yang mulai bangkit terjatuh lagi. Menghela napas, Vivian ikut tersenyum lembut. Ia menggeleng dengan lemah. "Nggak ada apa-apa, Ma. Semua aman terkendali," jawabnya. "Kamu yakin?" Sekali lagi Vivian mengangguk. Dia tidak akan menceritakan ketidak nyamanan yanh dirinya rasakan hari ini. Mamanya tidak boleh tahu karena bisa panjang urusannya kalau sampai mamanya tahu. Lagi pula kasihan Dafa kalau harus di sinisi setiap saat. Vivian menggigit bibirnya dibagian dalam karena masih saja memikirkan perasaan Dafa. "Nggak ada apa-apa mama," ucap Vivian menegaskan segalanya. "Syukurlah, jaga diri kamu Vi. Jangan sampai terluka lagi," pesan itu terngiang di dalam kepala Vivian. Ia mengangguk singkat. "Iya mama sayang," ucapnya. "Ya udah istirahat sana. Mama mau tidur. Kalian pasti sudah makan malam, kan?" tanya Rose. Vivian mengangguk lagi. "Sudah ma," jawabnya. Setelah itu Rose betul-betul meninggalkan kamar putrinya itu. Ketika di luar ia menatap pintu kamar sebelah, milik Dafa. Rose menggelengkan kepalanya sambil menghela napas dengan berat. Sesungguhnya ia menyayangi Dafa, tetapi sikap Dafa dulu benar-benar telah melukai perasaannya. Rose melangkah pergi, ia mengabaikan perasaan iba pada Dafa akibat selalu dirinya sinisi. "Sudah rondanya ma?" pertanyaan itu terdengar oleh Rose saat pertama kali masuk ke dalam kamar mereka. Suaminya sudah menunggu untuk masuk ke dalam selimut. Tanpa peduli sopan santun, Rose memutar bola matanya. "Sudah!" jawabnya kesal. Stev memang pandai menggoda. Ia juga sudah sangat menguasai bahasa asal istrinya dengan sangat lancar. "Sini ma, lupaian yang di luar. Saatnya mikirin yang punya kamar," apa-apaan itu? Sudah tua saja masih manja, pikir Rose. Namun, ia masih saja mendekat. Masuk ke dalam selimut bersama Stev. Dengan hanya memiliki Vivian, mereka memang masih romantis sejak dulu. "Pa, gimana ya, mama benar-benar khawatir sama Vivian," ucap Rose sambil menghela napasnya dengan berat. Stev mengeratkan pelukannya. "Apa yang perlu dikhawatirkan lagi, ma?" tanya Stev. "Dafa nggak akan nyakitin putri kita sekali lagi. Sebenarnya, Papa justru mengkhawatirkanku perasaan Dafa setelah dia tahu semuanya," Stev mengutarakan kekhawatirannya. Dafa baru dua hari berada di sini, tetapi sudah membuat Stev merasa tak enak hati dengan segala permainan istri dan anaknya. Bagaimana jika Dafa betul-betul menjauh? Sementara Stev tahu betul Vivian masih sangat mencintai Dafa. "Papa juga mengkhawatirkan Vivian," lirihnya setelah memikirkan kepergian Dafa nantinya. Tidak ada pembicaraan lagi setelah itu. Rose semakin mengeratkan pelukannya pada Stev. Begitu juga dengan lelaki itu. Ia mengecup kening Rose dan menerawang jauh pada bayangan di masa depan. Satu-satunya yang ia pikirkan adalah Viviannya, putri semata wayangnya yang harus terlibat perasaan cinta serumit ini. Meskipun Stev tahu Vivian sudah dewasa. Namun tetap saja ia khawatir pada kesejahteraan putrinya itu. *** Dafa baru saja masuk ke dalam kamarnya. Ia membiarkan Vivian berlari meninggalkannya begitu mereka sampai di rumah. Dafa tahu Vivian tak nyaman hari ini. Terlebih pada apa yang terjadi di dapur. Senyum lelaki itu muncul begitu menyadari rasa cinta Vivian padanya masih sebesar dulu. "Terus ngapaiin tunangan sama Teo segala, Sayang?" kekeh Dafa. "Kamu masih cinta sama aku, Vi. Kita sudah di takdirkan bersama selamanya!" dengan percaya diri Dafa berkata seperti itu. Tanpa ia sadari Vivian mulai menyusun rencana baru agar hubungannya dengan Teo terlihat nyata di mata Dafa. "Lihat saja! Dapur akan jadi saksi cinta kita. Aku berjanji dalam waktu singkat kamu sudah kembali ke dalam pelukanku," tegas lelaki itu. Namun, tidak mudah! Sebab Vivian akan membatasi interaksi mereka. Berbagi dapur tidak akan membuat keduanya akrab seperti bertahun lalu kala keduanya masih sedekat nadi karena persahabatan. Dafa merebahkan tubuhnya. Ia memejamkan mata. Wangi tubuh Vivian masih dapat dirinya cium meskipun samar. Dafa rindu, wewangian ini sungguh ciri khas. Dulu ia bisa menggapai wangi ini kapan pun juga. Namun, sekarang? Dafa membutuhkan usaha untuk bisa menggapainya lagi. "Nggak masalah! Vivian boleh lari, tapi gue nggak akan berhenti ngejar dia," sekali lagi ketegasan itu terucap dari mulut Dafa. "Ahggh mandi dulu!" ujarnya setelah beranjak dari tidurnya. Lelaki itu berjalan menuju kamar mandi. Segar menyapa kala air membasahi tubuhnya. Beberapa menit kemudian, Dafa sudah siap dengan kaos polosnya. Dia memang tidak memiliki baju tidur sehingga tidur dengan kaos saja. Dafa merangkak ke atas tempat tidur. Tak lama, kantuk menjemput dirinya hingga kegelapan menyapa. Sejenak membuat Dafa lupa di mana ia sedang berada, dan apa yang sedang dirinya perjuangkan. Keesokan harinya, Dafa kembali beraktivitas seperti kemarin. Ia bangun dari tidurnya, bersiap untuk sarapan lalu pergi ke restoran bersama Vivian. Kegugupan Vivian kemarin saat berhadapan dengannya, membuat Dafa semangat menjalani hari ketiga di Aussie. Dafa optimis, dirinya pasti bisa mendapatkan Vivian kembali. Tak ada yang bisa menghalangi. Termasuk Teo yang mengaku menjadi tunangan, pacar atau apapun itu terhadap Vivian. Dafa tak akan terusik. Ia akan tetap maju meski harus berdarah-darah sekalipun. "Turun!" ujar Vivian saat mereka sudah sampai di restoran. Hari ini Vivian yang menyetir. Meskipun merasa heran, tetapi Dafa turun juga. Ia menutup pintu mobil tanpa banyak bicara. Setelah itu Vivian juga turun dari mobilnya. Ia masuk ke restoran tanpa peduli pada Dafa yang masih berdiri tegak menunggunya. Dafa menganga melihat tingkah Vivian. Beberapa detik kemudian lelaki itu pun menyusul Vivian. "Vi tunggu!" ujar Dafa mencoba menghentikan langkah kaki Vivian. Namun, Vivian tidak peduli dengan itu. Ia terus melangkah meninggalkan Dafa yang sebenarnya tak memiliku jarak yang jauh darinya. Melihat itu, Dafa hanya bisa mendesar pasrah. "Lari saja Vivian," lirihnya. "Hari ini kamu akan merasakan kegugupan lagi karenaku," ucapnya. Senyum kemenangan itu muncul tanpa Dafa tahu apa yang ia rencanakan belum tentu sesuai harapan. . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN