lima

1045 Kata
Nyaris satu minggu berada di rumah milik Adjie Wishaka akhirnya membuat Kirana belajar banyak hal yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan sendiri saat menjadi cucu kakek Rahmadji Bratasusena yang termansyur itu. Jika di rumah keluarga Bratasusena, Kirana adalah tuan putri yang apapun keinginannya selalu ada dan dipenuhi, maka saat di rumah Adjie, dia harus bisa melakukan semuanya sendiri, mulai dari mencuci baju dengan tangan, memasak, mencuci piring, bersih-bersih rumah bahkan kegiatan memangkas kebun dan yang paling parah, mencuci mobil serta motor sport milik Adjie. Pria itu benar-benar memanfaatkan dan memeras tenaga Kirana habis-habisan sebagai pembantu rumah tangga, bahkan tugas bik Hasna juga kadang menjadi tanggung jawabnya juga. Ia nyaris menangis saat selesai mencuci mobil Adjie yang menyebabkan seluruh bajunya basah kuyub, sementara Adjie yang menontonnya dari depan teras rumah hanya tersenyum sambil memakai kacamata hitam anti radiasi dan membiarkan Kirana terpanggang sinar matahari jam sebelas yang nyaris membuatnya pingsan. Pria gila. "Hei, orang miskin. Tuh gosok mobil gue ati-ati jangan sampai lecet. Kan udah diajarin pake kanebo." Kirana ingin menyumpah dan berkata kasar, bahkan sekalian melemparkan ember berisi sabun pada pria songong itu kalau bisa. Namun memikirkan Adam dan keselamatan mereka saat ini jauh lebih penting. Akal, tetaplah sehat, jangan sekali-sekali sakit, biar kita cepat keluar dari tempat ini. "Mikirin apa, sih? Buruan cepet." Kirana benar-benar hendak melempar kanebo yang dipegangnya saat sebuah mobil sedan berwarna putih berhenti tepat di depan rumah Adjie, dan empat pria yang selalu mampir turun dari mobil itu. Dua pria yang keluar lebih dulu tersenyum pada Kirana yang basah dari ujung kepala hingga kaki. "Wow, sexy boobies." Seru pria pertama sambil terbelalak. Kirana yang baru sadar bahwa dirinya memakai kaus putih basah yang tembus hingga pakaian dalamnya langsung refleks menutupi dadanya. Lalu dengan cepat ia menoleh pada Adjie yang terlihat santai sambil memeluk sobat-sobatnya. Ia berdecih. Untung pria itu homo. Kalau tidak, habislah dia. "Lo masuk. Ngapain berdiri disana?" Tanya Adjie sesaat kemudian. Kirana menunjuk mobil Adjie yang masih berbalut sabun, belum sempat di bilas. "Mau bilas dulu." Dengan cepat Adjie menggeleng. "Gue bilang lo masuk. Ganti baju, siapin minum ama makan buat temen gue. Gak pake lama." Ucapannya membuat Kirana segera mengambil ember berisi air sabun dan kanebo basah dan membawanya ke dapur sambil bersungut-sungut. "Tadi nyuruh nyuci mobil sampe kelar, sekarang disuruh masuk. Homo labil." Gerutunya. "Lo ngomong apa? Gue denger lo ngatain gue." Kirana menggeleng. Lebih baik menutup mulutnya daripada meladeni homo sok ganteng yang akan bergelut mesra dengan rombongannya. Hiiii *** Nyaris satu jam setelahnya, Kirana baru bisa duduk berselonjor kaki dengan mata setengah merah menahan tangis meratapi nasibnya yang terjun bebas semenjak masuk rumah pria songong sok ganteng yang tidak henti mengintimidasi fisik dan mentalnya. "Non cakep capek, ini minum dulu." Kata bik Hasna saat ia mendekati Kirana yang sedang menghela napasnya berulang kali sambil memijat-mijat betisnya. "Makasih ya, bik." Balas Kirana sambil menerima gelas minum yang diangsurkan bik Hasna. Wanita paruh baya itu tersenyum saat dia mengangguk. "Den Adjie bikin repot terus, ya? Padahal sama calon bini." Katanya bingung. Kirana yang ingin meralat ucapannya kemudian memilih diam takut jika ia bercerita pada bik Hasna nanti malah tersebar keseluruh tetangga. Adjie homo itu bakal ngamuk. Lalu rombongan itu bakal mendengar cerita tentang mereka. Tutup mulut lebih baik, Na. "Makasih ya, bik udah minjemin baju selama aku disini." Kata Kirana tulus setelah bik Hasna ikut duduk disampingnya sambil menyiangi pucuk bayam. Kirana ikut membantu mengupas beberapa siung bawang merah yang sudah disiapkan wanita itu. Bik Hasna menatap Kirana dengan bingung. "Loh, saya nggak pinjemin baju, non. Ukuran kita kan beda. Non Nina bodynya langsing seksi begitu, saya nih, beratnya ampir satu pikul. Yang ada non Nina kelelep pake baju saya." Kirana menghentikan mengupas bawang, dan menatap bik Hasna dengan bingung. "Jadi ini baju bekas pak Adjie?" Bik Hasna menggeleng. "Den Adjie beli, dong. Tapi nyuruh saya nyuci ulang biar nggak keliatan baru. k****t ama behanya pas kan ukurannya? Lucu deh pas den Adjie beli, nanya sama SPG, tangannya ngira-ngira gitu." Bik Hasna terkikik membuat Kirana otomatis menutupi dadanya. "Itu pak Adjie sendiri yang cerita?" Bik Hasna menggeleng. "Saya ikut nemenin pas ke mall. Kan kami solmet." Bik Hasna yakin Kirana tidak percaya ucapannya. "Serius, non. Saya sama den Adjie akrab banget. Hape aja boleh dibeliin sama dia. Udah baek, ganteng lagi, cocok sama non Nina yang cakep." Kirana melanjutkan mengupas bawang sambil bersungut-sungut. Baik dari mananya? "Udah berapa lama pak Adjie jadi homo?" Panci yang dipegang bik Hasna nyaris jatuh. "Astaghfirullahalazhim, siapa bilang den Adjie homo?" Kirana menatapnya bingung. "Dia bilang sama saya." Bik Hasna menggelengkan kepalanya. "Mana ada. Wong pacarnya aja banyak. Dulu waktu SMA sama kuliah gonta ganti pacar." Untuk ketiga kalinya hari ini, Kirana menutupi dadanya. Wajahnya merah padam membayangkan selama berpuluh-puluh menit pria itu memandanginya saat mencuci tadi. "Bibik serius ngomongnya nggak salah?" Dengan santai bik Hasna menggeleng. "Dih, calon nyonya, Non Nina segitunya kaga percaya. Lagian non sendiri kan pacarnya den Adjie. Masak meragukan kejantanan calon laki? Belum pernah test drive?" "Test drive?" Kirana memandanginya bingung sedetik kemudian ia terbelalak menyadari bibir bik Hasna maju mundur. "Kiss kiss, cipok cipok." Kirana bergidik ngeri. Seorang Bratasusena dengan Wishaka kurang ajar harus mengalami test drive model begitu? Bik Hasna sudah gila. Dia tidak akan mungkin mau. Sebelum itu dia harus memastikan jangan sampai si Wishaka itu jatuh cinta. Atau bahkan dirinya sendiri. Karena jika benar terjadi, dia berhenti jadi Bratasusena dan pergi jauh-jauh. "Ei, Nina Bobo. Mana minumnya lagi? Kan tadi udah gue bilang, kurang." Suara Adjie yang muncul tiba-tiba ke dapur membuat Kirana nyaris melompat dari tempat duduknya. Pria itu memandanginya dengan mata menyelidik, seolah curiga dengan obrolan Kirana dan bik Hasna yang bahkan belum menghentikan gerakan bibirnya yang sensual itu. Kirana langsung bangkit dan berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil beberapa kaleng minuman ringan untuk tamu Adjie. "Pake baju yang bener, jangan beha item. Temen gue kagak berkedip ngeliatin t***t lo." Kirana menghela napasnya. Sabar, Ina. Sabaaaar. Memang si kunyuk kayaknya nggak pernah sekolah ahlak, mulut nggak bisa disaring. "Kalo mereka nanya, bilang lo calon istri gue, cinta mati sama gue." Katanya sebelum berlalu menuju kamar mandi. Sementara Kirana menatapnya dengan tatapan jijik. Nggak sudi. **** Lho, kak Ina. Kata Bik Hasna bang Adjie bukan homo. Gimana neeeh?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN