Enam

824 Kata
Setelah mengetahui fakta baru bahwa Adjie Wishaka bukanlah seorang homo, Kirana mulai waspada apabila pria itu melakukan sesuatu yang menjurus dan aneh-aneh kepadanya. Bahkan ia langsung sadar jika pria itu sering sekali nongkrong saat ia sedang dipaksa membabu buta tanpa belas kasihan. Maksudnya apa coba? Biar Kirana tidak lari atau memastikan pekerjaannya beres? Lebih baik dia mengurusi urusannya sendiri daripada memandori orang yang sibuk menyikat lantai kamar mandi atau menjemur baju. Bahkan Kirana tidak tahu apa pekerjaan yang dilakoni seorang Adjie Wishaka. Sepanjang minggu ia selalu berada di rumah, selain mengawasi Kirana, ia juga menunggui teman-teman yang tidak pernah bosan mendatangi rumahnya. Mana ada orang yang sibuk ongkang-ongkang kaki dirumah terus dapat duit banyak. Mencurigakan, kan? Atau jangan-jangan... Kirana tersedak dan tidak percaya pada dugaan brilian yang mampir ke otaknya lima detik yang lalu. Adjie homo itu sengaja menabrakkan mobilnya ke tiang listrik, lalu menjerat semua korbannya untuk dijadikan pembantu. Kalau orang tersebut bisa bayar, bukankah dia bakal dapat uang cuma-cuma? Dasar homo licik. "Lo mikir apaan lagi, Nina Bobo?" Suara Adjie menyadarkan Kirana yang sedang mencuci piring di dapur. Saat menoleh, pria itu sedang duduk di sebuah kursi depan meja makan, memandanginya sambil mengunyah sebutir apel. Kirana langsung berbalik. Entah kenapa, darah Bratasusena yang mengalir dalam tubuhnya membuat rasa kesal dan sebal pada pria itu menggelegak bagai air yang didihkan diatas kompor. Dengan panci tentu saja, bukan pakai ember plastik. Karena jika itu terjadi, yang ada malah semua orang akan repot. Embernya akan meleleh. "Bapak sengaja, ya?" Adjie menghentikan gerakan makannya saat melihat Kirana mulai mendekat. "Maksud lo apa?" "Bapak sengaja nabrakin mobil bapak sendiri, kan? Jalanan luas begitu, malah milih kami buat jadi sasaran." Adjie melongo. "Itu cara bapak nyari mangsa, biar nggak repot ngeluarin duit nyari pembantu. Untung-untung malah dapat duit, kan?" Pria itu langsung bangkit, kemudian memeriksa dahi Kirana dengan punggung tangannya. "Lo gila? Atau masih belum sembuh?" Kirana dengan kasar menepis tangan pria itu, sementara Adjie, dengan santai kembali menggigit apel tepat di depan wajah Kirana. "Kalo gak gue bawa ke sini, lo udah mati. Mestinya terima kasih ama gue." Kirana mundur dua langkah karena cara makan Adjie yang jauh dari elegan membuat liurnya muncrat kemana-mana. "Lagian mana sudi gue lama-lama nampung orang miskin macem elo, ngabisin beras tau, nggak." Kirana menggigit bibirnya kuat-kuat, mengabaikan rasa ingin meremas bibir Adjie dengan tangannya. "Kalo gitu bebasin aja saya sama Adam." Desisnya menahan kesal. Adjie menggeleng. "Mana bisa gitu. Gue masih butuh lo, ngeyakinin emak sama calon istri gue." "Kalau bukan homo, tinggal ngaku aja, pak. Beres, nggak usah ngerepotin orang lain." Adjie menggeleng. "Lo kagak ngerti ceritanya, Na. Gue kagak mau kawin sama si Sisil itu. Gue butuh lo buat bikin dia patah hati." Kirana menggeleng. "Saya nggak mau bantu." "Nggak bisa. Lo harus mau." Kali ini Kirana ingin sekali menginjak kaki pria itu. "Kalau saya nggak mau?" Adjie tersenyum, seolah memegang kunci yang akan membuat Kirana bertahan di rumahnya. "Lo pasti mau, daripada membiarkan diri dikejar sama orang-orang yang mengincar kalian." Kirana merasa udara disekitarnya berhenti bersirkulasi hingga nyaris membuat napasnya megap-megap. Pria itu tahu kalau mereka sedang diincar. Senyum Adjie tiba-tiba membuat Kirana ketakutan setengah mati. Apakah mereka ketahuan? "Tetap di sini bukankah lebih aman, Nina?" "Dan inget, gue bukan bapak lo. Inget dalam kepala lo yang bebal bukan maen, otak orang miskin yang kalau dikasih info langsung terbang lagi, bukannya mampir kesana." Lalu pria itu berbalik dan meninggalkan gadis sembilan belas tahun yang menggigil ditempatnya itu. Bukan ejekannya yang menyebabkan Kirana ketakutan seperti itu, namun ucapannya tentang orang-orang yang mengincar dirinya dan Adam. Darimana ia bisa mengetahui bahwa mereka berdua sedang diincar? Apakah dia tahu kalau dirinya seorang Bratasusena? Ia merasa sangat lemas karenanya. Namun akal sehat perlahan menguasai pikirannya kembali. Tidak. Dia tidak tahu kalau aku Kirana Bratasusena. Karena itu dia masih menampung kami disini. Jika dia benar-benar tahu, maka aku yakin, kami akan segera ditendang dari sini. Dengan gugup, Kirana lalu beranjak kembali ke tempat cuci piring dan melanjutkan pekerjaannya. Tidak peduli menyikat p****t panci pada mulanya menyebalkan, ia terus melakukannya hingga semua piring, gelas, panci, wajan dan sendok menjadi bersih dan mengkilat sampai tak ada lagi yang bisa ia cuci. Namun setelah menyelesaikan semuanya, ia malah semakin gemetar. Bagaimana jika dalam waktu dua bulan mereka masih mengincar keduanya? Bagaimana jika dalam rentang waktu itu mereka tetap tidak menemukan solusi? Apa dia bisa terus bertahan dan menyembunyikan Adam selamanya? Karena dia tahu, mereka tidak akan pernah mengampuni siapapun yang telah melarikan diri dari rumah Bratasusena. Walau yang melarikan diri adalah pewaris yang sah, bukan seperti mereka, para penyusup. Jika memang harus ada yang dikorbankan, itu adalah dirinya, bukan Adam. Adam harus hidup, tidak masalah Kirana harus mati. *** Bang Adjie, tolongin Kak ina dong. Masak dese mo metong. Kira-kira bang Adjie tau nggak yaak? Dese kerjaannya apa, sih? Ongkang-ongkang kaki bisa dapet duid? Yey bisa tebak? Mwaaach crooot. Mama kirana
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN