Prolog
Menata hati, kata yang tepat untuk mendeskripsi malangnya kisah yang baru saja patah. Ilka. Gadis berusia tujuh belas yang baru saja menikmati arti cinta pertama harus pula merasakan arti kandas cinta. Bukan maksud ia mendramatisir, apalagi mengada-ada. Meski ditahan sedemikian rupa, rasa sakit tak kunjung sirna.
"Katanya cinta bisa membuat orang kuat. Tapi kenapa aku lemah ?!"
Di sela tangis sempat pula dia menyuarakan hatinya yang gundah. Membiarkan dirinya dikelilingi gelap, tak mengizinkan aura cerah.
Memiliki kekasih yang berusia satu tahun lebih tua darinya. Laki-laki sopan yang satu eskul dan sering pulang bersamanya. Laki-laki yang seminggu lalu kedapatan selingkuh bersama mahasiswi seniornya di kampus ternama. Sebuah kepingan memori membuat kesal kian berdampak buruk untuk hatinya. Gemelutuk gigi dan jambakan pada rambutnya adalah bukti kefrustasian yang kini dirasa. Dan lagi tak ada yang peduli, atau setidaknya memberi sebuah motivasi. Resiko hidup sendiri.
"d**a rata sampai kapan mau mengurung diri ?"
Suara melengking dan sebuah gedoran yang turut serta ambil bagian. Gadis sebaya yang merupakan sahabatnya semasa muda. Loli, namanya memang mirip dengan tubuhnya yang mungil dan galak. Oh, tidak berkata buruk seperti itu pasti akan menambah daftar perabot rusak.
Ilka tak menyahut, reaksi alamiah yang diketahuinya adalah malas bicara. Meladeni bocah tua juga tak menarik minatnya. Hanya ingin sendiri dan menghabiskan waktu tanpa cinta. Kini sebuah kesuraman kian menggelapkan mata.
BRAAAKKK
"Bodoh ! Keluar dari selimutmu dan lakukan aktivitas. Absenmu sungguh dibawah garis kemiskinan. Memangnya apa yang bisa kau harapkan dari si senyum rubah yang hoby bicara seenaknya itu ?! Bangun dan buka matamu !!!"
Keras suara gadis itu berdenging. Memberi efek nyaring. Ilka tak juga beringsut. Air mata yang mengering menambah daftar wajahnya kian kusut.
Loli menghela napas panjang. Bukan dia bila tak bisa menaklukan si keras kepala Ilka, kebaikan seorang sahabat kian melapang. Meski wajah kesal dengan posisi berkacak pinggang.
"Aku tidak mau keluar".
Ilka bersuara pelan, dia meringkuk dengan kepala yang disembunyikan dibalik bantal. Entah empati atau bahkan kesal yang membludak, Loli mengindahkan perkataan gadis yang dalam kurung bodoh itu. Menarik kasar bantal yang menutupi wajahnya, dan bahkan menjambak gorden yang terbilang penuh ditutup debu selama seminggu.
"Silau bodoh ! Aku sengaja menutupnya ada apa denganmu ?"
Ilka meluapkan segala kemarahan terpendam. Sebersit rasa bersalah hinggap begitu saja. Itu bukan salahnya. Seakan bentuk kebodohan lain. Ilka tak bersuara lagi, dia duduk mematung diatas ranjang. Rambutnya yang semberaut tak jadi masalah serius. Padahal kusut rambut satu helai saja bisa menjadi masalah untuk dirinya diwaktu biasa. Loli terdiam, tangannya yang semula menyingkirkan gorden terantuk di kusen jendela. Matanya menatap gadis itu. Datar.
"Maaf.."
Ilka bersuara, wajahnya tertunduk. Hanya ada hela napas, Loli mendekat.
"Aku tidak marah padamu. Tapi, kupikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk bersedih. Jika cinta yang kau sesali. Cinta bisa datang kapan saja".
Loli memeluk gadis itu, memberi sedikit dukungan pada tubuhnya yang ringkih. Kurang makan, atau bahkan kelaparan sepanjang hari. Loli tidak tahu. Yang jelas sekarang sahabatnya harus bangkit apapun yang terjadi.
"Siap memulai ?"
"Ya".
***
Ilka Maryjoana, seorang gadis yang hidup tiga tahun tanpa kedua orangtua. Dia memulai debut SMA nya dengan menempati sebuah apartment setengah harga hasil tabungannya. Di awal kedua orangtuanya menolak keinginan mandiri yang terucap. Namun karena alasan kuat, akhirnya keduanya setuju saja.
Memulai hidup sendiri memang sulit awalnya. Bagaimanapun juga adaptasi memang tak bisa didapat secara instan. Ilka, mengakui semua itu.
"Kau yakin ini tidak apa-apa ?"
Pagi buta, saat matahari belum menyinari. Loli telah berdiri diambang pintu dengan sekantong plastik penuh kosmetik. Tak lupa dengan sebuah bentuk tatakrama miskin kesopanannya yang mendobrak pintu apartment jika terlambat menyahut. Gadis yang gila.
"Kau akan memulai hari baru".
Sangat riang sambil mengacungkan sekantong belanjaan. Kiranya hal itu dapat mengurangi kesedihan.
"Aku takut bertemu dia".
Ilka menyahut dengan lemas. Kepribadian yang jelas membuat Loli gemas.
"Singkirkan omong kosongmu dan biarkan ahlinya bekerja".
Loli memaksa gadis itu bersiap. Cekatan dan telaten. Rambut kusut milik ilka dia sulap dengan hiasan bando dan menyisirnya dengan rapi. Tak lupa bekas air mata dan mata sembabnya segera saja dia poles dengan kosmetik yang dia bawa.
Hampir dua puluh menit hasil kerja kerasnya mulai tampak. Ilka bermetamorfosa menjadi gadis cantik yang terlahir kembali.
Pipinya yang lesu kini merona. Bibir pucatnya lebih segar, dan matanya yang sembab tersembunyi sempurna dari balik eyeliner yang sedemikian rupa diukir sesempurnanya.
"Kau cantik. Oke waktunya pergi."
Merapikan segera kosmetik yang tercecer. Tangannya sigap langsung menarik Ilka, paksaan yang luar biasa dari gadis mungil.
"T-tunggu aku belum siap !"
Terlambat.
***
Seolah menjadi gadis baru, seluruh atensi menatapnya penuh minat. Ilka gugup, sangat begitu gugup. Dipandang begitu intens oleh kaum laki-laki adalah hal baru dalam hidupnya. Sejak absen selama seminggu lebih dirinya tak lagi terbiasa dengan laki-laki. Bentuk trauma pasca putus mungkin.
"Ayo !!"
Mematung seperti manusia bodoh bukan sebuah pilihan. Apalagi ketika sebuah cengkraman bertenaga membawa Ilka pada sebuah hal baru. Bertabrakan. Sangat klasik, Ilka bersungut dalam hati. Kejadian murahan dapat pula terjadi padanya ? Tubuh keras yang ditabraknya milik seorang pria. Dan dibutuhkan sebuah dongakan untuk menatap langsung wajah sang pria. Tampan, Ilka bisa tahu dalam sekali lihat. Wajahnya tegas, kulitnya berwarna tan. Matanya sipit dengan rambut pirang yang sedikit acak. Retina sang gadis menatap lengan pria itu, otot bisep yang terisi seperti seorang atlit. Namun meski begitu ada hal yang aneh. Mengganggu.
"Eh ?"
Matanya seolah membeliak keluar. Hal yang mengganggu ternyata atas perbuatan tangan si pria tinggi yang menyentuh tepat diatas dadanya. Oke, sangat c***l bisa dibilang, apalagi melihat raut wajahnya yang tenang tanpa dosa.
"Ups".
Jelas meski samar Ilka bisa mendengar ada tawa kecil dari Loli yang berdiri sebagai orang ketiga diantaranya. Awalnya Ilka mati-matian menahan emosi agar tidak menarik perhatian. Dan berencana untuk menganggap semua yang terjadi adalah sebuah musibah semata. Namun tetap saja.
"Dadamu rata".
Celetuk laki-laki berbadan tinggi itu. Bukan sebuah permintaan maaf atau sebuah permohonan penebusan yang diterimanya. Ilka geram bukan main. Laki-laki itu pergi tanpa menoleh. Seolah insiden penyentuhan 'buah d**a' bukanlah sebuah peristiwa luar biasa.
"Sial !!!"
To be Continued