Kita tidak selalu memiliki kesamaan, termasuk jalan untuk berpadu. Jangan salahkan siapapun, karena memang kita bukan pemilik kuasa.
*
Semalaman Kana tidak bisa terlelap, matanya enggan menuruti rasa lelah tubuhnya. Setelah insiden Gina yang sempat pingsan, Kana mencemaskan keadaan wanita itu. Ada Ibu mertuanya dan Lita yang sempat menemani Gina sebelum sahabatnya itu tersadar. Tapi hingga saat ini, Kana masih saja ingin memastikan sendiri bagaimana keadaan Gina di kamarnya.
"Mas? Kamu nggak tidur?"
Lita bingung saat ke luar dari kamar mandi. Lita baru saja buang air kecil, dan mendapati Kana yang bersandar pada kepala ranjang memegang ponselnya. Kana berdeham pelan, lalu membalas, "Aku cuma haus, tapi pas banget ada pesan dari divisi penyiaran yang bermasalah."
Lita memang tidak begitu tertarik dengan pekerjaan Kana, dia memilih mengangguk untuk mendengar jawaban yang baginya memuaskan.
"Aku ambilin air—"
"Eh, nggak usah!" cegah Kana cepat. "Kamu istirahat, biar aku yang ambil sendiri." Kana melenggang pergi, sebelum Lita lebih kekeh mengambilkan air minum.
Niat Kana memang tidak sepenuhnya mengambil minum. Dia memiliki tujuan untuk melihat keadaan Gina di kamar. Karena sebelum ke dapur, kamar Gina selalu dilewati oleh orang. Tidak berdekatan secara langsung, tapi cukup dekat hingga Kana sudah menyiapkan alasan jika ada yang memergoki.
Perlahan Kana membuka pintu kamar Gina. Dia segera masuk, keadaan sekitar sepi, karena sudah dipastikan semua orang tertidur. Di sana, Kana hampir memekik melihat wajah pucat Gina. Hatinya tergerak untuk menyentuh wajah Gina yang berkeringat. Tapi niat tersebut ia urungkan, memikirkan kemungkinan mengganggu tidur Gina.
Kana hanya mengamati wajah Gina, dan tersenyum. "Kamu selalu kebiasaan, Gin. Kamu nggak pernah mengunci pintu kamar," kata Kana berbicara sendiri.
Sungguh, Kana tidak tahan membiarkan kening Gina yang berkerut. Diluruskannya kening itu, Kana sempat menyeka keringat Gina dibagian pelipis nya. "Aku nggak tau kenapa ... tapi aku sangat berharap kalo kamu yang mengandung anakku."
*
Paginya kegiatan berlangsung sangat biasa. Gina yang agak lemas tetap berusaha masuk kerja. Kana diam-diam melirik Gina.
"Gin, kamu berangkat sama Mas Kana aja." Lita membuat keputusan sendiri, Lita tahu jika Gina akan memprotes, dan Lita langsung menyekat dengan sorotan mata mengancam pada Gina. "Mbak nggak akan ngizinin kamu masuk kerja kalo kamu ngotot berangkat sendiri!"
Ancaman Lita ampuh. Gina kembali diam dan mengangguk pasrah.
Lita beralih menatap Kana yang tengah asik dengan sarapan kopi dan rotinya. "Kamu nggak keberatan, kan, Mas?"
Kana meletakan cangkir kopinya, lalu menjawab dengan tenang. "Nggak masalah. Lagian Gina juga masih keliatan lemas, nanti kalo dia kenapa-kenapa di jalan, kan nggak lucu."
Lita senang, belakangan ini memang Kana lebih banyak bersikap santai. Kana membuat Lita nyaman berada di dekatnya.
Gina menggeser kursinya, lalu mendapat pertanyaan dari Kana.
"Berangkat sekarang?"
"Iya, Adam udah nanyain nih. Nggak apa-apa, kan?"
"Yaudah, kita langsung aja." Kana mengecup kening Lita, dan mendapat salam agar perjalanannya berlangsung baik-baik saja di jalan.
*
"Kenapa buru-buru banget?"
Kana masih tenang, seolah memang tidak ada yang pernah terjadi di hadapan Gina, tapi kebenaran yang bergejolak dalam dirinya tidak mampu ia terka kapan akan mencuat ke permukaan.
Semalam saja, dengan susah payah Kana menahan agar tidak menyentuh Gina lebih. Tetap saja dia kelepasan hingga mencium bibir wanita itu ketika tidur. Tidak jantan memang, tapi Kana tidak ingin membuat keributan lagi.
Keadaan aman nan nyaman yang Gina ciptakan berhasil dengan baik. Tidak ada yang perlu mereka perdebatkan, setidaknya sejauh ini.
"Kita sama-sama dewasa, jadi biarkan seperti ini. Tapi aku nggak pernah tau, kapan ketenangan ini akan memunculkan sumber apinya."
Gina sempat terkesiap akan ucapan Kana yang menandakan jika lelaki itu ingin mencuatkan kenyataan hati mereka.
"Kana. Aku tau kita nggak bisa membohongi perasaan sendiri, tapi kamu bisa membuat aku bahagia. Yaitu dengan kebahagiaan keluarga yang kamu bina berasama Mbak Lita berlangsung harmonis, selalu."
"Kita nggak seperti itu," sanggah Kana yang merasa tidak bahagia.
"Kana, kamu tau bukan kita penentunya. Apa yang kita tentukan, bukan yang tergariskan. Aku nggak bisa memiliki kamu hanya aku sayang sama kamu, begitu juga sebaliknya."
"Kayaknya lebih baik kita selesaiin pembicaraan kita di sini. Aku nggak berniat membahas keributan ini diantara kita, lagi."
Seperti apa yang sudah dijelaskan, maka status mereka akan tetap seperti ini hingga tidak tahu kapan waktu yang tepat akan tiba.
"Berhenti di depan aja," ucap Gina yang tidak ingin Kana mengantarnya hingga ke depan kantornya.
"Terus kamu jalan sampai kantor?" tanya Kana tidak percaya.
"Iya," sahut Gina yang bingung melihat gelagat Kana.
"Itu masih lumayan jauh, Gin. Aku anter sampai depan gerbang kalo gitu."
"Nggak usah, Kana."
"Yaudah, satu g**g sebelum deket gerbang."
Keputusan bulat saat Kana membuat pilihan terakhir. Tidak ada bantahan, semakin lama Kana semakin mendapati sifat keras kepala Gina.
"Terima kasih," ujar Gina setelah sampai di tempat yang disepakati.
Kana belum ingin melajukan mobilnya meski sudah melihat Gina yang berjalan jauh, dan tidak terlihat lagi. Kana sering sekali melamun, matanya tidak kalah memerah layaknya hatinya yang tengah merasakan sakit.
"Aku akan berjuang buat kamu, walaupun kamu nggak pernah tau usaha itu, Gina."
*
Tidak terasa usia kehamilan Lita memasuki bulan keempat. Perutnya memang belum terlalu terlihat tonjolannya, tapi suka cita dalam keluarga tersebut begitu kentara.
Tidak terduga juga bagi Gina mendapat kejutan bagi dirinya sendiri. Beberapa hari terakhir, Gina semakin merasakan mual. Bukan tanpa alasan, Gina sudah memeriksakan diri. Sesuai perkiraan dokter, usia kehamilannya sudah berjalan dua bulan. Gina merasa sangat bodoh, dia bahkan suka meminum obat tidur pada beberapa kesempatan akibat frustasi tidak bisa beristirahat dengan tenang. Dokter mengatakan jika janin yang ia kandung sangat kuat, dengan perhatian yang tidak seberapa dari dirinya, janin itu berkembang tanpa ada yang mengetahui bahkan menginginkannya.
Gina tidak ingin pulang ke rumah dulu, wanita itu tengah melamun di kursi ayun milik Indah. Bawahannya itu sadar betul melihat perubahan Gina. Sikap mendadak diamnya begitu menakutkan bagi Indah.
"Mbak, Gina. Makan dulu, yuk. Aku beli makanan, Mbak belum makan malem juga, kan?"
Indah memang tidak ingin ikut campur mengenai masalah yang mengganggu kinerja atasannya itu, tapi Indah cukup mengerti agar Gina tidak menyiksa dirinya sendiri hingga lupa memberi asupan makan.
"Kamu duluan aja, Ndah."
"Nggak! Aku nggak akan biarin, Mbak linglung terus kayak gini. Kalo, Mbak ada masalah ... bilang sama aku. Mbak Gina jangan serasa asing sama Indah," cecar Indah membuat Gina merasa bersalah.
"Maaf, ya, Ndah." Gina tersenyum, lalu memilih menemani Indah makan.
"Nanti, Mbak bayar makanan ini, ya?"
"Eitssss..." Indah memelototi Gina saat mengambil posisi duduk. "Nggak ada sungkan-sungkan'an. Indah nggak suka, ya ... Mbak kayak gitu!"
Judesnya Indah bukan membuat Gina tersiksa, Gina malah merasa perhatian Indah sangat tulus padanya.
"Makasih, Ndah."
"Yaelah ... kayak siapa aja, sih, Mbak ini."
Keduanya saling melemparkan senyuman, sebelum benar-benar menikmati hidangan makan malam.
Mungkin kita nggak akan bisa seakrab ini lagi, Ndah... setelah ini.