Jangan menganggap masalah terlalu mudah atau terlalu sulit, cukup lihat bagaimana proses kamu menyelesaikannya.
*
Awalnya, Kana berpikir jika semua yang dia lakukan sekarang akan berpengaruh atas keputusan Gina. Tapi semua itu salah! Gina semakin gontok menyiksa batinnya sendiri. Tapi Kana juga ikut menyiksa diri sendiri.
Keluarga Gina dan Kana tengah berkumpul, usaha yang Lita lakukan sangat berguna. Buktinya malam ini keluarganya bersemangat membuat acara makan malam. Kebahagiaan dari kedua belah pihak atas kehadiran jabang bayi Lita yang tentunya diketahui sebagai anak Kana.
Cucu pertama di kedua belah pihak juga. Semangat mereka tidak menggugah kesedihan Gina. Bahkan Gina ikut berpartisipasi dalam rangkaian acara masak-masak menyiapkan makan malam, hingga saat ini, mereka semua heboh bercerita mengenai masa dan pengalaman keluarga.
Gina tidak banyak andil, dia lebih memilih banyak tersenyum. Tak lama, ada tamu yang dianggap kedatangannya sangat tiba-tiba.
"Maaf ganggu," kata Ilyas yang membawa map cokelat di tangan kanannya.
Seluruh mata mengarah padanya, tapi tetap terlihat bahagia. Hanya satu yang selalu dingin ... Kana.
"Hai, Yas. Kenapa?" sahut Lita dengan semangat.
Ilyas tersenyum, lalu beralih menatap Gina. "Gin, bisa bicara sebentar?" Ilyas mengangkat map nya. "Urusan kantor," lanjutnya menggindari prediksi orang-orang di sana yang sepertinya mulai salah paham melihat dirinya yang berkepentingan dengan Gina.
"Oalah, urusan yang lain juga ndak apa-apa, kok nak, Ilyas." Ibu Marti menggoda Ilyas yang ia kira sebagai calon Gina.
"Ibu apaansih! Ilyas cuma mau nanya urusan kantor, malah digodain!" protes Gina.
Diantara memang terusik dengan candaan Ibunya, dan sengaja membuat Kana agar sadar jika dirinya bisa dekat dengan lelaki lain.
"Yas, ngomongnya di halaman belakang aja." Gina mengajak Ilyas menuju tempat yang dituju, bagi Gina di sana lebih kondusif. Meski langkah mereka banyak dibicarakan dan banyak terdengar bisikan setelahnya, Gina tetap profesional.
"Jadi, kenapa?" tanya Gina langsung.
"Cuma karena desain terbaru kita aja, kok. Adam minta aku buat kamu mastiin desain yang pas buat musim ini."
Gina manggut-manggut paham, Gina memang tidak bisa menjahit, tapi bisa memilih desain yang tepat untuk dipasarkan.
"Aku pilih sample B, soalnya cocok sama karakter remaja sekarang, dan tetap bisa masuk buat umur kepala tiga."
"Nggak terlalu polos?"
"Sama sekali nggak. Warna nya emang polos nggak ada corak, tapi dari aksen bulu di bagian tali hoodie nya udah nambah kesan rame."
Pembahasan keduanya cukup lama, hingga tanpa sadar Gina lupa menghidangkan minuman bagi Ilyas. "Eh, bentar ya. Aku ambil minuman buat kamu dulu." Ilyas hanya menurut, tanpa ia sangkal juga dia merasa kerongkongannya kering.
"Padahal aku udah bingung kalo kamu nggak ke sini," ucap Lita yang tengah berdiri, posisi mengistirahatkan diri seperti upacara.
"Aku beruntung karena Adam nyuruh aku ngasih ini ke Gina. Harusnya di kantor, tapi aku nggak bisa ngebiarin kamu nyidam pengen ketemu aku."
Ya, jika bukan karena Lita yang ingin melihat wajahnya. Ilyas tidak akan mungkin bertekat mencari cara agar bisa masuk ke rumah itu yang dipenuhi keluarga besar Lita dan Kana. Bahkan suara tawa masih setia mengadu di dalam sana.
"Masuk, gih! Udah jam sepuluh, angin malem nggak bagus nantinya buat kamu." Perhatian Ilyas sama sekali tidak berkurang, dia sangat berharap jika kelak perhatiannya setimpal dengan keberadaan bayi yang segera lahir dalam beberapa bulan ke depan.
"Aku masih pengen liat muka kamu, Yas."
"Nanti ada Gina," jawab Ilyas mengingatkan Lita. "Aku tau itu keinginan bayinya, tapi kamu juga harus inget dengan rencana kita. Kana udah mau nerima kamu dan bayi itu, kan? Jangan sampai kamu kena masalah lagi sama Kana."
"Iya, aku masuk."
Lita baru saja ingin masuk kembali, tapi justru berpapasan dengan Gina. "Lho? Mbak ngapain malem-malem duduk di sini? Nggak baik, Mbak." Gina terlihat begitu cemas seraya membawa nampan minuman yang siap dihidangkan untuk Ilyas.
"Nggak, Mbak cuma isengin Ilyas yang dari tadi kayaknya gugup digodain sama orang-orang pas dateng nemuin kamu." Dengan santainya Lita membuat penjelasan yang langsung Gina mangguti.
"Yaudah, Gin. Mbak masuk dulu. Hati-hati, nanti ketelengsut sama Ilyas," ucap Lita dengan agak aneh di telinga Gina. Antara candaan atau malah gertakan.
Gina tertawa agak canggung. Ilyas yang melihat hal tersebut tidak mau banyak menambah, karena kentara sekali jika Lita sedang cemburu.
"Ini, Yas ... minum dulu."
"Makasih, Gin."
Setelahnya, tidak ada pembahasan serius perihal kantor. Ilyas dan Gina sama-sama tepekur melihat langit malam. Suara riuh dari dalam membangunkan khayal keduanya.
"Gin, keluarga masmu mau pulang. Ayo masuk, antarkan mereka dulu, nduk."
Gina menurut, dan Ilyas ikut mengantisipasi jika keluarga Gina juga memberi kode agar dia kembali ke rumah. Sembari membereskan teko dan gelas kembali ditaruh ke nampan oleh Gina, Ilyas sekalian meminta izin pamit pulang.
"Gin, aku sekalian pulang aja. Udah malem, masalah kerjaan lanjut di kantor aja besok."
Gina memang orang yang terkesan kalem, tidak mempermasalahkan bahwa Ilyas sedang berbicara dengan atasannya saat ini. Lagi pula, Gina bukan tipikal atasan yang gila hormat.
"Oh, oke. Sekalian aku anter, takutnya kamu malu sama keluarga Kana di dalam."
Ilyas juga menurut, sebab dia memang malu dan canggung jika dikira yang tidak-tidak nantinya. Masalah mendapat gurauan dari keluarga Gina mengenai hubungannya bersama Gina ... Ilyas merasa tidak masalah, baginya itu berfungsi menutupi tujuan yang sebenarnya.
*
Gina kembali sibuk. Karena tinggal dirinya wanita di rumah yang belum memiliki prioritas suami, maka Gina senantiasa menomorsatukan keluarga. Sama halnya bersih-bersih begini, Gina selalu siap.
"Mbak bantuin, ya?"
"Eh, eh, eh ... jangan, Mbak! Ini udah malem." Gina menyahut sapu dari tangan Lita. "Sekarang, Mbak istirahat. Jaga kesehatan dedek bayinya."
"Tapi, Gin—"
"Nggak! Lagian, Mbak juga harus mikirin suami. Tuh, udah ditungguin di depan pintu kamar gitu." Pandangan Lita langsung cepat melihat ke tempat yang Gina maksud. "Hm, mau ngelak lagi...?" Gina memperingatkan kakaknya yang seolah memberi makna memohon dari tatapannya.
Gina tersenyum—berusaha tersenyum. Usahanya kian berhasil, tidak ada yang perlu Gina cemaskan lagi. Pekerjaan Gina sebentar lagi selesai, tapi pusing di kepalanya membuat lemas seluruh bagian tubuhnya. Dengan cepat memegangi kepalanya, Gina juga merasa isi perutnya naik, hingga membuat mual dirinya. Segera Gina membawa diri ke wastafel, meski suaranya tidak begitu kencang tapi sukses membuat Kana khawatir saat ingin mengambil minum.
"Istirahat," ucap Kana saat Gina sudah membersihkan mulutnya. "Kamu—" melihat gelagat pertanyaan aneh akan ke luar dari mulut Kana, Gina langsung menyekat.
"Aku terlalu banyak kerjaan di kantor, mungkin masuk angin."
Lalu Gina melewatinya, tanpa ingin berbicara lebih.