BAGIAN 7 ; WHAT'S THAT

1095 Kata
Aku pernah menemukan kata paling indah saat bersamanya, sekaligus menyakitkan. Dia adalah 'cinta' * "Ilyas?" Panggilan Gina menggema hingga berhasil membuat lelaki tersebut mengarah ke sumber suara. "E ... Eh, Gina...." "Tumben main ke sini? Kenapa?"  Ilyas terlihat begitu canggung di mata Gina. Tapi Gina tidak bisa menerka apa yang menjadi alasan dasarnya. Ilyas adalah karyawan di kantor Adam. Sejajar kubikelnya dengan Indah, dan secara otomatis Ilyas bawahan Gina. "Ada urusan kerjaan?"  Gina mengira jika Ilyas datang karena mengenal dirinya sebagai atasan, Gina mengambil sisi berseberangan dengan Ilyas.  "Hah? Oh ... nggak. Aku ke sini—" "Tadi Mbak ditolongin sama dia, Gin di jalan." Lita menyambar jawaban hingga tidak ada celah bagi Ilyas untuk menjawabnya.  Gina melihat Kakak perempuannya itu memakai pakaian tidur, santai. Gina merasa aneh. Entah terlalu aneh karena kehadiran Ilyas yang baru kali ini, atau sikap Kakaknya yang terlalu santai di hadapan Ilyas.   "Oh, Mbak cuma sekedar kenal dia pas nolongin ... atau—"  "Ilyas adik kelas Mbak. Dia anak osis yang sering Kakak omelin dulu. Terus nggak sengaja ketemu lagi, jadi Mbak bawa ke rumah."  Gina tentu saja tidak puas, karena sejujurnya Gina ingin Ilyas yang menjawab segala pertanyaannya. Gina bukan perempuan bodoh, dengan sangat jelas Ilyas duduk tidak nyaman di posisinya. Tapi lagi-lagi, Gina bukan orang yang suka berasumsi negatif.  Gina yang melirik ke arah meja, langsung mengambil inisiatif. "Ibu lagi ke luar, ya?" tanya Gina mengalihkan. "Iya, katanya dapet undangan ke acara resepsi anak pak Mamat."  Dengan senyuman seadanya, Gina menawarkan minuman pada tamu Lita. "Mau minum apa, Yas?"  Dengan gelengan ringan, khas orang yang sungkan Ilyas kembali tergagap. "Ng ... Nggak usah—" "Gin, kamu buatin kayak biasanya tamu yang lain minum aja. Lagian kayaknya Ibu belum sempat belanja bulanan buat isi kulkas."  Gina lekas mengambil tas tangannya, lalu bersegera menghidangkan minuman bagi Ilyas dan Lita. Yang Gina buat hanya sirup Marjan melon yang memang masih tersisa.  Gerakan jemari Gina berhenti saat notifikasi w******p nya berbunyi.  Arkana Adipati Wijaya : Terakhir, saya nggak akan mengecewakan kamu. Belum Gina bisa mengerti apa yang Kana maksud dengan 'tidak akan mengecewakan' bagi dirinya. Wanita itu tiba-tiba saja tidak nerkonsentrasi membuat minuman yang seharusnya segera dia hidangkan bagi tamunya—tamu Kakak nya.  "Maaf, ya lama." Gina membuat suasana setenang mungkin. Karena memang ketenangan Kakaknya juga membuat Gina agak tercenung.  "Tadi kamu langsung pulang dari kantor, Yas?" Gina membuka pembicaraan.  "Iya. Terus aku nggak sengaja hampir nyerempet Lita. Tau-tau nya, kakak kelas. Terus, ya ... aku sekalian anterin pulang." Jawaban Ilyas ditanggapi dengan oh- ria oleh Gina. "Ah, iya. Makasih, ya minumannya. Aku jadi ngerepotin kalian," ucap Ilyas yang merasa agak canggung.  Lalu tatapannya kembali pada Lita. Gina bisa melihat, bahwa kedekatan antara Ilyas dan Kakaknya sudah seperti teman lama, dalam artian benar-benar berkawan lama. Karena Lita saja tidak merasa aneh, atau kagok jika memang Ilyas adalah adik kelas yang tiba-tiba bertemu kembali.  "Yaudah, aku permisi. Nanti malah kemaleman baliknya." Ilyas memulai terlebih dulu.  "Oh, iya." Gina hanya menimpali sekenanya.  "Eum, kalo perlu bantuan jangan sungkan hubungin aku." Gina sempat mengernyit, yang Ilyas suruh jangan sungkan itu siapa. Tapi lagi-lagi Gina menepis pikiran-pikiran negatif. Gina memilih masuk ke kamar, dan Lita yang mengantar Ilyas hingga pagar rumah. Tanpa Gina ketahui, Ilyas mengecup puncak kepala Lita dengan cepat. "Jaga bayi kita, Lit. Aku nggak akan ngebiarin Suami kamu berani nyakitin kamu yang nantinya berpengaruh buat bayi ini."  Lita hanya menundukan kepalanya, sejak awal memang keduanya sengaja membuat rencana ini. Tapi ternyata, hal yang mereka anggap mudah ... malah menjerumuskan hati mereka.  "Lit, aku mohon jangan menyalahkan diri kamu sendiri. Aku nggak apa-apa, asalkan hubungan kamu bisa membaik sama Kana nantinya."  "Tapi yang ada dia semakin menghindari aku, Yas." Suara Lita begitu lirih, jika saja Ilyas tidak memikirkan lingkungan sekitar ... mungkin dia akan segera memeluk Lita yang sudah hampir menangis.  "Aku yakin Kana akan nurutin keluarganya, kalau keluarga tau kamu hamil, yang ada di pikiran mereka kamu ngandung anaknya Kana. Dengan begitu, Kana akan melakukan aktingnya."  Ilyas juga tidak bisa merelakan Lita untuk Kana, sejujurnya. Bahkan dia tidak sanggup jika suatu saat anaknya akan memanggil Kana 'Ayah' sedangkan pada dirinya, anak itu akan memanggilnya 'Om'. "Jangan pikirin yang macem-macem. Dokter tadi udah peringatin, kan. Nggak baik buat si kecil."  Lita sangat terharu melihat dan merasakan sendiri bagaimana seorang laki-laki yang sepenuhnya akan menjadi Ayah biologis anaknya, begitu memberi perhatian.  "Maaf, Yas."  "Nggak. Kamu nggak perlu minta maaf, kamu nggak salah apa-apa." Ilyas mengusap surai Lita penuh kelembutan. "Aku pulang, ya. Kamu jaga diri baik-baik. Nanti kalau si dedek rewel mau minta sesuatu, kamu langsung hubungin aku, oke?" Lita mengangguk dengan yakin, meski tak tahu bagaimana cara Ilyas memenuhi keinginan bayi mereka nantinya. Dengan tatapan nanar, mobil Ilyas hilang dari pandangan mata Lita. Segera Lita mengusap airmatanya, lalu berbalik untuk kembali masuk ke rumah. Belum selesai Lita menutup pintu kembali, deru mesin mobil kembali terdengar. Tapi bukan mobil Ilyas yang Lita lihat. Lelaki tampan yang ke luar dari mobil tersebut adalah ... Kana. Tampilannya lebih rapi, Lita memang terkesima melihat lelaki yang berstatus Suaminya itu melangkah mendekat. Tapi bayangan kemarahan Kana malam-malam sebelumnya membuat Lita menelan ludah takut. "Assalamu alaikum," ucapnya dengan tenang dan membuat Lita seperti dihangatkan oleh air alam.  "Waalaikumsalam," sahut Lita yang bingung harus berlaku seperti apa. "Kamu belum istirahat?" tanya Kana saat melihat gerakan tangan Lita menutup pintu dan langsung meraih jas kerja Kana.  "Belum, tadi ada temen yang dateng. Terus juga nunggu Gina. Dia juga baru pulang."  Tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai sahabat sekaligus adik iparnya, Kana mengalihkan pertanyaan mengenai rumah yang sepi.  "Yang lain pada ke mana?" "Ibu sama Bapak, lagi kondangan ke acara resepsi anaknya Pak Mamat." Kana yang mengangguk mengerti membuat Lita berpikir melanjutkan sesuatu yang bisa menyamankan Kana. "Mau aku bikinin teh?" "Kopi aja, jangan terlalu manis."  Bahkan Lita hanya mengingat kebiasaan Ilyas yang lebih menyukai teh dibanding kopi.  Lita bergegas membuatkan minuman tersebut, sesuai permintaan Kana, Lita tidak menambahkan gula terlalu banyak. Setelah selesai, Lita membawanya untuk Suaminya teguk perlahan.  "Masih kemanisan?" tanya Lita was-was.  "Ini lebih pahit dari perkiraanku," kata Kana yang membuat Lita menunduk. Memang hanya Gina yang paham takaran kopi untuk Kana, dan memang Kana sedikit frustasi menghadapi hal ini. Bayangannya hanya berkutat pada Gina. "Nggak apa-apa, aku bisa dapetin rasa manis yang beda dari kamu, kok."  "Hah?" Lita sama sekali tidak mengerti. Lalu dengan perlahan Kana menekan bibirnya atas bibir Lita. Dia mencecap rasa manis yang dibayangan Kana hanya Gina.  "Mbak, tau kaca mata aku—" Kalimat Gina tercekat melihat pemandangan di depannya. Pemandangan yang ia minta sendiri pada Kana, dan sukses membuat matanya panas.  Pemandangan saat Kana mencium Lita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN