BAGIAN 6 ; AFTER THAT

1018 Kata
Gina membereskan bekas-bekas kegiatan yang dia dan Kana lakukan, dia tidak membiarkan keadaan kamar itu begitu saja. Dalam kamusnya, memang semua yang sudah dilakukan harus ada pertanggung jawaban.  Kana yang sudah selesai dengan kegiatan membersihkan diri ikut membantu Gina. Kemeja kebesaran yang Gina gunakan memang membuat kesan seksi tubuh Gina semakin bertambah. Di dalam benak Kana, dia sangat ingin menerkam sahabat yang telah sah untuk mendapat sebutan 'wanita' itu. "Biar aku yang urus ini, kamu mandi aja dulu." Kana berucap dengan datarnya. Gina bisa mengambil kesimpulan, bahwa Kana menuruti keinginannya. Kana bersikap seolah semuanya memang tidak pernah terjadi. Ada perasaan lega, tapi tetap saja Gina membohongi perasaannya sendiri.  "Iya, makasih."  Kana cukup aneh mendengarnya, ucapan terima kasih dari Gina itu tidak meleburkan kata yang seharusnya wanita katakan setelah berhubungan intim dengan seorang laki-laki.  "Heum," sahut Kana dengan dehaman. Siapa yang tidak akan risih? Perasaan yang keduanya rasakan sudah sama-sama tergambar jelas, tapi tetap saja ada pihak yang mengelak. Tidak Kana ketahui kapan saat seperti ini akan berakhir, dan saat itu tiba—saat di mana Gina bisa membuka pintu hatinya.  Gina sudah mencapai ambang pintu, lalu kembali berbalik karena baru mengingat jika dia tidak membawa pakaian. Mau tidak mau, Gina harus mengenakan baju yang sempat bercecer di lantai kamar Kana. Entah tahu atau tidak, Kana diam-diam melirik setiap gerakan yang Gina lakukan. Jantungnya tidak berhenti berdebar semenjak kejadian semalam terlintas oleh Kana. Sampai kapan kamu akan nerima aku dan kenyataan ini, Gin? "Taruh aja baju itu, ada baju perempuan di lemari."  Gina membeku, karena tidak menyangka ada pakaian wanita yang Kana simpan. "Jangan berpikir yang aneh-aneh, itu baju kamu dulu ... zaman kuliah, kamu kehujanan dan aku minjemin kaus, dan itu baju kamu yang masih di lemariku." Seolah bisa membaca pikiran, Kana terus merapikan ranjang serta menimpali Gina.  "Oh," gumam Gina seraya mengingat apa yang pernah dikatakan Kana, terjadi di masa kuliah.  Kana sangat berharap Gina menyadari hatinya. Lalu merubah permintaan konyol yang tentu akan menyakiti keduanya.  "Gin—" "Aku mau langsung mandi, Adam pasti ngomel kalo aku nggak masuk tepat waktu." Gina sengaja menyekat ucapan Kana. Bukan tanpa alasan, semua itu Gina lakukan agar Kana berhenti membuatnya gamang.  Kana hanya dapat memandangi punggung cantik, meninggalkannya yang masih berdiri tegap dengan niatan sebelumnya untuk merubah keinginan Gina. Kana selalu mengutuk dalam hati, tidak tahu mengutuk pada siapa. Yang jelas, batinnya semangat beradu tak jelas menahan gejolak amarah.    * "Makasih, Kana atas tumpangannya. Tapi akan lebih baik kalo sampai di depan g**g ini, aku nggak berniat membuat kamu tersinggung ... aku cuma menghindari pandangan negatif orang ke aku atau pun kamu nantinya."  "Aku ngerti," jawab Kana santai—terkesan dingin. Ada kecanggungan di antara Gina dan Kana. Ada pembatas yang mereka buat, dan Gina mulai takut akan hal tersebut.  Gina bergerak membuka pintu mobil, tapi terhenti oleh ucapan Kana. "Aku terima permintaan kamu," kata Kana tanpa melihat Gina. "Kamu tau risiko apa yang akan kamu derita nantinya, aku nggak akan menaruh perhatian lebih ke kamu." Gina sudah gemetar, dan Gina tetap bersikap santai.  "Kita akan terlihat seperti layaknya adik dan kakak ipar." Gina sudah tertohok. Ini pilihannya, yang pasti menyakiti dirinya sendiri. Gina merasa tak perlu diperhatikan, tapi dia memikirkan orang lain yang sudah ia sakiti ... Kana salah satunya. Gina bertekat untuk menerima semuanya, memang hal ini yang sejak awal dia pertahankan kebahagiaan keluarga atas dirinya. Gina melempar sunggingan bibir merekah, anggap saja dia benar-benar cocok bahagia pada keputusan ini. Kana.  "Makasih, Kana." Gina memang mengucapkan dengan ketulusan.  "Kamu terlalu banyak minta maaf," sambar Kana dingin.  "Karena cuma itu yang aku bisa," balas Gina mengecam. Tatap keduanya yang saling bersikukuh, diam beberapa saat. Bagian lucunya adalah keduanya memiliki kesadaran melepaskan manik indah satu sama lain, tapi tidak ingin saling menarik diri.  "Gin—" "Kana, please ... ini nggak akan mengubah apa pun. Kita harus sama-sama saling nerima."  "Oke. Memang itu yang kamu inginkan sedari awal, mari sama-sama bekerja menyelesaikan semuanya."  Gina mendengar sentilan atas kalimat Kana. Ada sedikit gertakan, jika Gina akan menyesali segalanya saat benar-benar memaksakan keinginan — Kana.  "Kalo kamu berpikir aku akan menyesal ... lebih baik kamu buang prasangka kamu itu."  Kana mendengus kasar, antara frustasi dan ingin membuktikan secara tidak langsung bahwa Kana sudah cukup tersiksa. Maka dia akan menenggelamkan hatinya pada kesakitan yang lebih dalam.   * Gina tidak dalam keadaan yang bagus selama di kantor. Tapi Gina selalu bisa profesional dalam mengerjakan seluruh pekerjaan. Banyak laporan, dan banyak hal yang harus dia amati agar omzet kantor Adam semakin meningkat. Pasar dunia sudah bukan hal yang mudah, lahan bisnis memang harus lebih dikembangkan di Indonesia. Kontribusi Adam merintis usaha fashion adalah salah satunya. "Mbak, saya denger produk kita bakal jadi sponsor di stasiun tv nasional yang lagi naik, ya?"  Indah adalah bawahan Gina, hampir setiap harinya Gina selalu menumpang untuk pulang. Kali ini mereka menyempatkan ke restoran milik salah satu keluarga Indah.  "Iya, lumayan buat nambah naik nama label kita." Gina menjawab seraya menyeruput jus jambunya.  "Buat program apa emangnya, Mbak?" "Variety show gitu, Ndah. Lagi naik daun, acaranya juga tayang prime time, jadi semoga label kita bisa ikut naik."  Indah terkekeh sebelum kembali menanggapi Gina. "Jadi, Mbak Gina dari tadi di kantor cuma gara-gara mikirin itu?"  Bukan, Ndah ... ini karena perasaanku. "Iya, abis aku stres pihak AE sana pada rewel!" Indah mengerucutkan bibirnya. "Heum, karena udah standar nasional pasti minta biayanya gede," ujar Indah yang langsung tidak fokus saat makanan pesanan datang. Mata Indah berbinar melihat menu pesananannya yang serba-serbi sambal itu. "Ya, ampun ... perut kamu nggak sakit apa, Ndah?" tanya Gina akibat terlalu takjub, lebih tepatnya miris dengan kebiasaan Indah yang sangat suka makanan pedas.  "Aduh ... Mbak, Gina. Mending langsung makan, aku laper bingitzzzz."  "Alay kamu!"  Keduanya tertawa singkat dan kembali melanjutkan untuk menghabiskan makanan masing-masing.  * "Dah, Mbak! Besok chat aja kalo mau bareng, ya!" seru Indah dari dalam mobil.  "Iya, makasih, ya!" Indah mengangguk mantap, lalu mulai meninggalkan komplek rumah Gina. Dalam keadaan lelah, Gina memasuki rumah. Gina sempat mengernyit heran dengan adanya motor laki-laki di garasi rumahnya. Memilih tidak memusingkan, Gina mengucapkan salam ketika daun pintu mulai Gina ayun. Gina menutup pelan, dan cukup terkejut dengan kehadiran seseorang. "Ilyas?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN