Kana merasa Gina kembali menghindarinya, seminggu terakhir, perempuan itu tidak hadir untuk mengantar sarapan. Kana bingung, bagaimana cara memperbaiki hubungan mereka yang semakin merenggang. Ini juga salah satu kesalahan Kana, dia marah saat pembicaaraan tepat seminggu yang lalu terjadi.
"Kana, aku mau bilang sesuatu..." ucap Gina memulai. Kana menatap Gina serius, memang itu yang sedang Gina inginkan. Sedari tadi Kana hanya menggodanya.
"Ngomong apa?"
Perlahan, Gina merapatkan tangannya di atas meja makan. Gina bertekat membuka keinginannya.
"Biar aku tebak. Kamu mau memperbaiki hubungan kita—"
"Aku mau kamu menerima Kak Lita dan bayinya."
Kana tersentak, baru kali ini dia merasa lebih bodoh dibanding saat orang tua nya menjodohkan dirinya dengan Lita. Takdir mempermainkan hati dan perasaannya. Tidak habis pikir, Kana mendengus keras membuat Gina semakin takut akan kemungkinan yang ada.
"Kamu juga mempermainkan aku, Gin?!" sentak Kana menitik tajamkan pandangannya pada Gina. "Kenapa nggak sekalian kamu suruh aku b********h dengan kakakmu supaya hubungan kami membaik?!" Kana tahu yang dia katakan percuma. Dia hanya akan menyakiti diri sendiri karena berharap tubuh yang ia kungkung adalah perempuan yang meminta hal luar biasa saat ini padanya.
Gina menggeleng lemah, dia hanya ingin keluarga besarnya bahagia. Tapi dia juga sulit membiarkan Kana menjadi korban yang memendam. "Kana, aku cuma nggak mau keluargaku menanggung beban lebih berat, saat tau bayi itu bukan bayi kamu—"
"Dan kamu membiarkan aku menanggung beban berat itu?!" Kana menggebrak meja. "Gila kamu, Gin! Kenapa kamu buta, hah? Yang aku butuhin itu cuma kamu! Kamu egois menyakiti perasaan kita, dan memilih melihat orang lain bahagia ketimbang mengungkap kesalahan Kakak kamu!"
"Justru aku egois kalo membiarkan Mbak Lita merana dengan kandungannya—"
"Dia perempuan jalang! Dia melakukannya dengan laki-laki lain, dan aku yang harus menanggung kesalahannya... aku nggak akan bisa dibodohi sama wanita kayak ular seperti Lita!"
Tamparan keras mengenai pipi kanan Kana. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, akibat tenaga Gina yang kuat. Amarah Gina mencapai ubun-ubun saat Kana mengatakan Kakaknya adalah w***********g, wanita ular... Gina sakit mendengarnya dari mulut sang sahabat.
"Aku kecewa kamu ngomong kayak gini, Kana... kamu keterlaluan, menghina Kakakku." Gina yang berusaha menahan tangisnya di hadapan Kana, segera berlalu meninggalkan apartemen itu. Dalam perjalanan pulang, Gina menangis tanpa suara. Dia sakit, bahkan dia merasakan perih yang teramat besar ketika memutuskan mengatakan pada Kana jika dia mau Kana bertanggung jawab atas bayi Lita yang notabenenya bukan milik Kana. Gamang yang selalu melanda hatinya juga membuat sakit, tapi Gina menahannya sendiri.
Ingatan akan diri Gina yang kecewa, dan pergi setelah melemparkan tamparan keras padanya... membuat Kana frustasi sendiri. Dalam hati Kana, dia tidak ingin menjatuhkan Lita. Dia hanya kecewa karena ia pikir Lita tidak akan sebodoh itu melakukannya dengan orang lain.
Kana seperti orang gila. Dia meneguk alkohol yang ia miliki tanpa henti. Kana mengakui dirinya lemah, bahkan tidak bisa merasakan kekuatan lagi. Satu dorongan membuat Kana berani melakukan sesuatu.
Kana menelepon nomor Gina, berharap perempuan itu mau menjawab panggilannya. Beberapa kali, hingga untuk kegigihannya... Gina menjawab keinginannya.
"Gi... Gina," panggil Kana dengan suara lemah.
"Kana? Kamu kenapa nelepon aku jam segini?" sahut Gina di telepon.
"Gina..."
Hanya nama Gina yang bisa dia terakan. Kana membuat Gina cemas di seberang sana.
"Kana... kamu di apartemen kan? Aku ke sana!" Gina mencemaskan keadaan Kana, dan langsung meluncur ke tempat Kana berada.
*
Gina menderap langkah cepat, meski belum bisa melupakan kejadian seminggu yang lalu... Gina akan tetap mengkhawatirkan Kana. Dia terlalu paham akan diri lelaki itu, bersahabat dengan Kana sejak SMA membuat Gina paham betul seperti apa watak Kana ketika sedang stres. Gina takut, jika Kana kembali meneguk minuman-minuman s****n itu.
Gina segera menekan kode apartemen Kana. Dia juga masih tidak menyangka jika Kana masih menggunakan kode yang berasal dari tanggal kelahirannya.
"Kana?" panggil Gina menggemakan nama Kana.
Matanya menangkap sosok tersebut sedang duduk di kursi bar dekat dapur, menggenggam gelas alkoholnya. Gina benci melihat Kana melakukan hal tersebut.
Saat Kana hampir meneguk, Gina dengan cepat mengambil alih gelas Kana dan menaruhnya dengan gerakan membanting.
"Kamu kenapa, sih?! Kamu nggak bisa minum-minuman kayak gini, dan malah nambah kesehatan kamu memburuk!"
Kana masih bisa melihat wajah cantik itu dalam pantulan sinar lampu. Kana merindukan suara dan seluruh aksen kepemilikan Gina.
"Jawab, Kana! Kenapa kamu kayak gini...?" Suara Gina melemah, air matanya turun dengan deras. Kana yang melihat hal tersebut langsung mendekatkan diri dan menyeka buliran Gina.
"Sssttt, jangan nangis. Aku nggak bisa liat kamu nangis, Gin."
Isakan Gina semakin menjadi, lalu dengan cepat Kana mendekap tubuh yang lebih mungil dari dirinya.
"Aku nggak tau harus gimana lagi, Kana. Aku bingung," ucap Gina disela tangisnya. "Udah terlalu banyak orang yang menyiksa dirinya karena aku...." rintih Gina miris.
Kana terus menenangkan perempuan yang begitu ia cintai. Pelukannya merenggang, lalu Kana menangkup wajah Gina. Kabut mata Kana menyiratkan jelas, ke mana kegiatan selanjutnya akan terjadi. Gina tidak mengerti mengapa dirinya tidak menolak akan setiap sentuhan Kana.
Dan ciuman lembut itu memerangkap Gina untuk membuat Kana tak bisa bertahan lebih lama. Kana mendorong tubuh Gina ke arah kamar, tanpa melepas pagutannya yang semakin lama semakin menuntut.
Malam pertama bagi keduanya terjadi. Gina sendiri tidak tahu mengapa tubuhnya tidak rela jika Kana melepaskannya.
*
Keheningan terjadi. Kana sudah mengambil posisi duduk di tepian ranjang. Dia mengingat bagaimana arogansinya menikmati jengkal tubuh Gina. Ada kebahagiaan, tapi juga kebingungan melanda dirinya. Gina pertama kali menyerahkan kepemilikannya. Kepada dia—Kana.
"Aku minta maaf," ujar Kana yang belum mampu menatap Gina.
Gina hanya diam. Dia memutuskan melupakan segalanya, bagaimana pun dia juga turut andil dalam kesalahan ini.
"Kamu nggak salah. Aku juga nggak nolak semalam." Kana sempat bingung dengan ucapan Gina. Kana pikir, Kana lah yang mabuk dan membuat Gina tidak bisa berkutik. Setelah Kana pikir-pikir, Kana tidak memperkosa tapi mereka bercinta... karena Gina juga menikmatinya.
"Kita lupain semuanya, Kana. Anggap ini semua nggak pernah terjadi. Tapi... aku mohon kamu melakukan permintaanku, Kana."
Kana menghela napas berat, mengetahui apa yang Gina maksud. Punggung polosnya mampu Gina lihat, betapa dia ingin memeluk dan menelungkupkan wajah di punggung kokohnya.
"Kamu melakukan ini supaya aku menerima Lita," Kana menjeda ucapannya. "Secara nggak langsung, kamu adalah salah satu w************n, Gin."
Gina tahu Kana marah, dan dia tidak mau memperdebatkan hal tersebut.
"Anggap aja seperti itu," sahut Gina membuat Kana mengepalkan tangannya.
Kana meninggalkan Gina yang masih membungkusnya dengan selimut, bersandar di kepala ranjang. Tangis Gina pecah, dia memang pantas disebut w************n, begitu batin Gina berkecamuk.
Maafin aku, Kana. Maaf.