Gina menutup mulutnya, perempuan itu tidak percaya atas apa yang Kana katakan. Dalam masalah seperti ini, Gina membutuhkan Lita juga untuk mengakuinya... bahwa Kana benar-benar tidak pernah menyentuh Kakaknya seperti yang Kana katakan.
"Kamu nggak akan pernah percaya, karena bagi kamu... aku nggak ada artinya, kan?" Gina melihat ada yang salah dengan diri Kana.
"Tapi kamu Suaminya—"
"Ya! Tapi aku nggak pernah bisa menyentuh atau melakukan lebih ke Lita! Aku nggak bisa kalo orang itu bukan kamu!" teriak Kana, yang langsung berpengangan pada tangan sofa. Gina mencoba mendekat tetapi Kana lebih dulu melanjutkan sesi amarahnya. "Aku nggak tau anak siapa yang Lita kandung, aku sempet marah besar ke Lita. Dan kamu tau... dia nutupin semuanya!" Baru kali ini, benar-benar kali ini Gina bisa melihat Kana yang menangis. Begitu terlihat lemah.
"Ka...Kana—"
"Cuma kamu, Gin. Dari dulu cuma kamu yang memiliki tempat dalam diriku... kamu, cuma kamu yang aku cintai."
Gina segera bergerak cepat menangkap tubuh Kana. Lelaki itu tumbang, dan untungnya terjatuh dalam pelukan Gina.
"Ya, ampun, Kana... badan kamu panas banget." Refleks Gina membopong Kana sekuat tenaga menuju kamar.
Dengan telaten, Gina membuat Kana bisa istirahat. Suhu badan Kana sangat tinggi mungkin pengaruh beban pikiran yang ia pendam sendiri. Gina menyesal, karena selalu menyalahkan Kana dalam berbagai sudut pandang. Tapi Gina juga ikut turut andil dalam kesalahan ini. Jika saja dia mau lebih ngotot untuk bersama laki-laki yang dia cintai dan mencintainya... Kana tidak akan pernah menjadi seperti ini.
Gina bisa mendengar racauan Kana dalam tidurnya. Tidak jelas, tapi cukup Gina pahami jika Kana memanggil-manggil namanya. Yang bisa Gina lakukan adalah membenahi keadaan apartemen itu, dan menyiapkan makanan untuk Kana yang sakit.
Fokus Gina memang terbagi-bagi, dia tidak bisa lagi memenuhi keinginan agar Kana harus mencintai Lita. Namun, Gina tidak bisa menyalahkan siapa-siapa saat ini, yang Gina bisa lakukan hanya membungkam kenyataan ini dan menemani sahabatnya yang sungguh kacau.
Gina beranjak menuju kamar Kana. Dia segera berinisiatif agar bubur tidak dingin, Kana harus mengisi perutnya. Gina sangat yakin jika Kana pasti melupakan apa saja yang berkaitan dengan kesehatan saat banyak masalah.
"Kana." Gina mengguncang tubuh Kana pelan. Dan lelaki itu menggeliat lemah sebelum benar-benar membuka mata.
"Makan dulu, ya." Tawaran Gina dihadiahi anggukan pelan. Sontak senyum Gina merekah.
Gerakan tangan Gina rutin menyuapi Kana. Tanpa Gina sadari, Kana menyukai perlakuan Gina. Ini yang Kana inginkan, bisa menatap wajah Gina saat perhatian perempuan itu hanya untuknya.
Satu suapan, lalu kegiatan itu selesai. Ada rasa kecewa karena Kana ingin lebih lama, tapi dia sadar betul Gina akan teguh selama statusnya masih sebagai Suami Kakaknya.
"Eum, sebentar, ya. Aku angkat telepon dulu," izin Gina yang takut Kana merasa tidak nyaman. Kana memberikan izinnya, tanpa harus perempuan itu minta, sebenarnya.
"Iya, Dam?"
"..."
"Oh, iya. Ada orderan yang nggak bisa ditanganin sama Anin, soalnya dia harus pergi nemenin Ibunya yang lagi sakit."
"..."
"Iya, aku minta maaf. Hari ini aku juga nggak bisa dateng ke kantor, ada Nindi yang bisa handle, kok."
"..."
"Sekali lagi aku minta maaf, ya. Aku jadi nggak profesional, Dam."
Beberapa kali anggukan Gina membuat Kana heran, hingga akhirnya Gina menyudahi pembicaraan dan kembali menatap Kana.
Gina menyentuh kening Kana, lalu berkata, "Udah turun, kok." Gina menampilkan senyuman kembali. "Kamu mau sesuatu?"
"Kamu kerja di kantor?" Kana tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, sedikit banyak Kana mampu menangkap alur pembicaraan Gina di telepon, tadi.
Gina mengangguk ringan, "Ya, lumayan buat nambah pengalaman. Siapa tau nanti aku bisa buka usaha lebih besar."
"Kenapa nggak bilang?"
Dahi Gina mengerut, ada kalanya bercerita dengan sahabatnya sangat membantu meringankan beban, tapi Gina tidak tahu apakah bercerita pada Kana adalah keputusan yang benar—terlebih mengenai dirinya yang bekerja di kantor Adam.
"Istirahat, gih! Aku beresin bekas masak dulu," ujar Gina mengalihkan.
"Memang segitunya kita harus saling membatasi, Gin?"
*
Beberapa hari ini, Gina lebih terbuka terhadap Kana. Meski masih membatasi jarak. Gina datang setiap pagi ke apartemen Kana sebelum ke kantor, menyiapkan sarapan. Lalu pukul sembilan, Gina akan meluncur ke kantor. Walau pun hanya pagi hari, tapi Kana bahagia. Dia tenang, ketika Gina ada dalam lingkup hidupnya.
Pagi ini Kana bangun lebih awal, sengaja menunggu kedatangan Gina. Tapi Kana menyiapkan skenario seolah terlihat biasa saat kedatangan Gina.
"Tumben kamu udah bangun, Na?" Gina membuka high heels-nya, lalu menuju meja makan dengan membuka tempat makan yang berisi lauk pauk. "Biasanya kamu tidur udah kayak mayat... nggak bisa diganggu."
Kana sejujurnya sangat berbunga, dia seolah sedang dilayani sang Istri idaman. Wajah cerah yang setiap pagi hadir menyapa nya bangun tidur.
"Hei!?" Gina melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Kana. "Kok bengong, sih?"
"Nggak. Aku cuma masih ngumpulin nyawa," jawab Kana asal.
"Ouh. Nih, makan!"
Kana membiarkan sodoran makanan yang sudah Gina siapkan apik. Tapi Gina heran karena Kana tak kunjung menyentuh makanan itu.
"Kenapa?"
Gina menyelidik dengan penasaran, percuma... Kana sama sekali tidak menanggapi.
"Kana, kamu harus makan. Kamu bisa sakit lagi kalo nggak makan!"
"Emang niatku begitu," sahut Kana membuat Gina semakin tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Kalo aku sakit, kamu baru mau nyuapin aku, kan? Jadi biar aja aku sakit, Gin. Supaya kamu nyuapin aku," timpal Kana penuh ekspektasi.
Gina menggeleng jengah. "Ngaco kamu, Na! Udah lah, makan aja langsung."
"Kali ini aja, Gin," pinta Kana dengan jurus andalannya.
Gina mengalah, perempuan itu mengambil piringnya, lalu benar-benar melakukan apa yang Kana inginkan.
Tidak mampu Gina pungkiri juga, bahwa hatinya meletup bahagia dengan sikap manja Kana. Tapi lagi-lagi Gina mematok ingatan mengenai tujuan utamanya—membuat Kana mau menerima apa adanya Lita serta bayinya.
"Hari ini kamu cantik banget," puji Kana yang langsung disembur oleh rona memerah pipi Gina.
Mata Kana melekat pada objek dihadapannya. Alasan utama mengapa Kana rela terlihat manja, hanya untuk seperti ini; memerhatikan setiap lekuk wajah serta rincian garis rahang perempuan itu.
Karena risih, Gina membalas tajam tatapan Kana. "Berhenti ngeliatin aku kayak gitu!"
Kana terkekeh dengan salah tingkahnya Gina. Dulu, Kana sering melihat rona malu-malu Gina. Sudah terlalu lama, dan Gina tidak sadar akan hal itu. Saling memendam, dan saling tersakiti.
"Aku kangen kamu, Gin."
"Kok gitu? Aku akan ada di sini," jawab Gina dengan polosnya.
"Aku kangen kamu yang meluapkan perasaan kamu ke aku dengan diam-diam...."