BAGIAN 3 ; SHE'S PREGNANT

1201 Kata
Di bawah sinar temaram lampu tidur, Gina membiarkan dirinya tenggelam dalam bayangannya sendiri. Sepulang dari apartemen Kana, Gina memang beralasan menginap di rumah teman. Bahkan pagi seperti ini, Gina membiarkan lampu tidurnya menyala dan tirai kamarnya masih tertutup hingga tidak memungkinkan cahaya masuk.   Ada bagian dalam diri Gina yang bergejolak. Dia tidak bisa marah pada Kana dan dia juga tidak bisa mengatakan apa yang dirinya nikmati ketika kulitnya bersentuhan dengan kulit Kana. Kembali mengingat masa yang terlewati, Gina membayangkan pembicaraan mereka yang sudah berlalu. "Kamu nggak tau dawet?" tanya Gina yang mulai jengah dengan Kana. Kana masih setia menggeleng, dia benar-benar tidak tahu apa dan bagaimana bentuk minuman yang sangat sering diceritakan sahabatnya itu.  "Emang kayak apa sih?" Kana mencoba mengorek informasi. Tujuannya? Tentu saja agar suatu saat nanti, dia bisa menyiapkan minuman kesukaan Gina.  Kana sudah menyadari perasaannya pada Gina yang lebih dari teman, dia sama sekali tidak mengubah apa pun, yang memang Kana memiliki alasannya. Kana tidak ingin hubungan itu jauh. Kana yakin, jika dia menyatakan perasaannya, maka Gina akan menjauhinya.  "Dawet itu hijau. Itu yang namanya dawet, tapi kuahnya itu butek. Rasanya manis, Kana. Emang keliatannya iyuhhhh, kalo pertama kali liat. Tapi pas udah nyoba, aku yakin bikin kamu seger banget."  "Kenapa kamu suka banget?"  "Haha! Kok kamu nanya gitu?"  Kana menaikkan bahunya, "Entah... aku penasaran aja."  "Heummm, entah... emang harus ada alasan kenapa suka sama suatu hal?"  Gina mampu membalikkan kata-kata dan ekspresi Kana. Tetapi Kana tahu, Gina tidak akan mampu membalas perasaannya.  "Gina! Ayo turun, ada temen kamu yang mau ketemu, tuh!" Gemaan suara Ibu Marti mengundang kesadaran Gina. Dalam dirinya, Gina memang rapuh, tapi untuk keluarganya... Gina akan melakukan segala cara untuk membahagiakannya.  "Iya, Bu. Sepuluh menit lagi Gina turun."  Gina membersihkan dirinya. Di cermin, wajahnya terlihat sangat tidak karuan. Bahkan Gina tidak bisa mengeluarkan air mata bagi dirinya sendiri. Entahlah, Gina merasakan gundah yang luar biasa.  Gina selesai, tidak ingin membuat tamunya menunggu lebih lama. Gina bahkan selesai lebih cepat dari permintaan sepuluh menitnya. Gina mengetahui siapa orang yang Ibu Marti maksud sebagai temannya. Dia adalah Adam. Ya, teman lelakinya yang meminta bantuan Gina agar mau membantunya di bisnis fashion yang Adam kembangkan. Adam yang Gina peluk saat bertemu di kafe. Adam juga yang Gina buat mengusir Kana di acara resepsi semalam. Semua berhasil, tapi pada kenyataannya... Gina harus meminta maaf. Masalahnya, Gina sudah berhasil membuat hubungan Adam dan Istrinya merenggang. Tengah malam, saat Gina memaksakan tidur di sofa apartemen Kana, Adam mengirim pesan Jika Alana—Istri Adam—marah besar karena Gina datang bersama Adam, dan yang lebih parah... Gina bersikap bagaikan pasangan dengan Adam.  "Maaf, ya buat kemarin malam, Dam." ujar Gina takut. Bukan takut karena Adam menakutkan, tetapi merasa tidak enak pada lelaki itu.  "Harusnya sekali lagi aku yang minta maaf. Kamu jadi nungguin aku lama kemarin, mana aku nggak langsung hubungin kamu."  "Nggak. Aku ngerti banget posisi kamu yang... ya, mungkin lagi dibantai sama Alana." Gina membuat Adam tertawa, pasalnya ucapan Gina seakan dirinya adalah anak kecil.  "Halah, makin nggak jelas bahasa kamu, Gin." Adam menyambar minuman yang sudah Ibu Marti sediakan. Sebagai tamu, Adam menghargai apa saja yang tuan rumah siap hidangkan. "Oiya, langsung ke pokok. Kamu kapan mulai kerja di kantor ku?"  Sebenarnya Gina juga sangat tergiur, tapi Gina juga memiliki sisi egoisnya. Gina bukan tipikal orang yang suka duduk diam, di balik meja, mengatur dan menandatangani proposal dan segala macamnya. Jabatan yang Adam tawarkan tidak main-main. "Apa jabatan itu nggak terlalu muluk buat aku, Dam? Aku baru mulai, lho. Manager marketing...? Aku juga nggak terlalu paham kerja di kantor," kata Gina membuat Adam agar berpikir ulang.  "Semua pasti belajar dari awal, Gin. Aku bisa jadi pemilik juga ada prosesnya, nggak langsung bisa dan jago. Kalo kamu nggak coba, kapan mulai belajarnya?"  Gina semakin menimang sendiri, memang benar yang diucapkan Adam. "Alana gimana?" "Kenapa sama Istriku?" Dengan hati-hati, Gina mengutarakannya. "Nggak makin cemburu?"  "Yaelah, santai aja. Alana nggak sedangkal itu kok, kalo cemburuan."  "Ouh... yaudah kalo gitu. Aku ambil tawaranmu," Gina akhirnya membuat senyuman Adam merekah.  "Nah! Akhirnya," kelegaan ternampak di wajah Adam. * Aku tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin terlalu banyak yang aku tinggalkan saat mulai sibuk di kantor. Bagian pemasaran tidak semudah atau sesulit yang terbayang, karena mungkin Gina memiliki bakat berelasi bisnis dengan konsumen.  "Bu," Gina menepuk bahu Bu Marti pelan. Wanita itu sibuk membuatkan makanan yang sepertinya dibuat sangat terburu-buru. "Kenapa? Kok malem-malem gini masak lagi? Sup...?" Gina melihat sayur yang didominasi wortel itu diracik oleh sang Ibu.  "Mbakmu," balas Bu Marti singkat. Gina jelas saja bingung, Ibunya tidak menyelesaikan kata-katanya, malah sengaja menggantungkannya.  "Mbak Lita?"  "Iya, Nduk. Mbakmu itu lagi ngisi." Sontak Gina menegang mendengar keadaan Kakaknya yang sudah pasti mengandung anak sahabatnya—Kana. Ada perasaan mengganjal, tapi Gina harus bisa mengatasi dan membuang semua itu. Kana memang sudah utuh menjadi milik Kakaknya.  "Kok malah ngelamun? Kamu nggak istirahat? Besok masuk kerja, kan?" "Gina mau nemenin Mbak Lita, Bu."  Awalnya Bu Marti tidak menyutujui keinginan Gina, "Biar Ibu saja, yang nemenin Mbakmu."  Tapi Gina tetap keras kepala, Gina benar-benar ingin merasakan bahagia dengan kehadiran jabang bayi Kana dan Lita.  "Yaudah, terserah kamu."  Lalu Gina membawa mangkuk yang ditaruh di nampan kayu untuk memudahkan Gina. Di dalam kamar itu hanya terisi oleh Lita. Kana tidak terendus batang hidungnya. Gina duduk di pinggiran ranjang, mengusap kening kakak perempuannya yang berpeluh. Gina tidak tega membangunkan Lita yang tentram memejamkan mata. Gina mengerti jika Lita pasti ngidam. Hal itu membuat Gina miris, sebegenikah Kana membiarkan Mbak Lita dan bayinya? "Gin?" Lita agak tersentak dengan keberadaan Gina. "Kan tadi Ibu yang bangun," tambah Lita lagi. "Nggak apa-apa, Gina cuma mau liat keadaan, Mbak sama si dedek."  * Gina semakin merasa ada yang aneh. Selama kehamilan Lita, Kana benar-benar menghilang. Jika sebelumnya Kana akan tetap berbasa-basi datang ke rumah, meski hanya melihat Gina alasan sebenarnya. Akhirnya Gina yang memutuskan, dia ingin ada kejelasan bagi bayi yang Kakanya kandung, Kana tidak bisa egois melakukan semua hal. Sekarang, Kana harus memikirkan Lita. Setidaknya begitu bagi Gina. Di sini Gina berada, karena Kana menghindari panggilannya. Gina berinisiatif ke apartemen Kana, menekan bel berkali-kali.  Setelah beberapa saat, Gina melihat sosok tersebut berdiri malas di daun pintu. "Ada apa?" tanya Kana lugas.  "Aku perlu ngomong sama kamu, Kana." Gina meminta secara baik-baik. Melihat sikap Kana saat muncul, Gina bisa memahami jika lelaki tersebut dalam masa yang kurang menyenangkan.  "Masuklah," persila Kana agar Gina masuk.  Kana sebenarnya sangat merindukan tubuh itu, setelah insiden beberapa bulan lalu mengenai kecemburuan Kana hingga berujung merusak gaun Gina, semuanya telah dilupakan oleh Gina sendiri. Kana ingin merengkuh tubuh itu, hatinya mencicit jika ia sangat membutuhkan dukungan.  "Mau minum apa?" "Nggak perlu. Aku ke sini cuma mau menyadarkan kamu. Bahwa kamu sekarang ini nggak bisa ngejalanin hidup semau kamu. Kamu harus pikirin keadaan Mbak Lita-"  "Tentang bayi yang dikandung Lita?" selidik Kana penuh kernyitan. Tidak habis pikir Gina melihat Kana yang seperti tidak menginginkan bayi itu. "Pulang, Kana. Atau bawa Mbak Lita tinggal bersama kamu... dia sendirian, harus berjuang mempertahankan bayi kam—" "Itu bukan bayiku!" sekat Kana cepat. "Kamu nggak tau, kan... seberapa marahnya aku ketika Lita hamil? Kamu nggak pernah tau kenyataan, bahwa aku..." Kana menjeda kalimatnya.  "Aku nggak pernah tidur dalam artian menyetubuhinya selama pernikahan!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN