bc

Membalas Kesombongan Mantan

book_age18+
197
IKUTI
1.4K
BACA
HE
heir/heiress
drama
childhood crush
like
intro-logo
Uraian

Harta dan kekuasaan selalu bisa menjerumuskan seseorang dalam kesombongan. Itu jugalah yang membuat kehidupan rumah tangga Alina berubah. Haikal, suami yang berjanji setia, bahkan menjanjikan surga untuknya ternyata kini telah menodai pernikahan mereka. Haikal terbuai oleh kekuasaan yang ditawarkan seorang wanita kaya raya yang tak lain adalah anak dari atasannya sendiri. Dia berpaling, membuang Alina yang sudah memberikan seorang putri untuknya, dan memilih Amira si wanita kaya. Merasa harga dirinya diinjak-injak, Alina pun tidak tinggal diam. Ia berjanji untuk membalas air mata serta keringat yang pernah dia korbankan untuk Haikal dan keluarganya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1 Sombongnya Mereka
"Jangan bawa apa pun dari rumah ini!" Kaki yang sudah hampir menginjak tanah harus kutarik kembali setelah mendengar seseorang berteriak di belakangku. Aku menoleh. Wajah marah ibu mertua terpampang dia sana. Ia mendekatiku, merebut tas besar berisikan pakaianku dan Saffa. "Itu bajuku, Bu." "Tapi, ini dibeli menggunakan uang Haikal. Aku tidak ridho, kamu membawa barang yang dibeli oleh uang putraku!" sergahnya seraya merebut boneka yang tengah dipeluk Saffa. Putriku terhuyung, ia jatuh tersungkur karena kasarnya tarikan tangan ibu mertua. Aku langsung mengambil tubuh mungil putriku yang masih berusia tiga tahun itu. Saffa menangis, ia menginginkan boneka kesayangannya kembali. Namun, ibu mertua menutup mata. Ia sama sekali tidak tersentuh dengan rengekan cucunya yang meronta ingin mengambil barang miliknya. Hatinya mati karena rasa benci. Amarah sudah menutupi rasa kasih yang harusnya dia berikan kepada anakku. "Nenek, Nenek," rengek Saffa berusaha menjangkau boneka yang kini sudah berada di tangan ibu. Namun, ia abai. Ibu mertua malah menyembunyikan benda itu di balik tubuhnya. Aku menggendong Saffa, menenangkan dia meskipun tidak bisa. Barang yang diambil ibu adalah boneka kesayangan Saffa. Hadiah ulang tahun dariku waktu dia berusia dua tahun. Tidur, makan, main, benda itu tidak pernah ketinggalan. Sekarang, dia terpaksa harus merelakan bonekanya diambil oleh neneknya sendiri. "Bu, Ibu boleh melarangku untuk tidak membawa apa pun, tapi tolong jangan ambil boneka Saffa, juga. Kasihan, Bu. Nanti dia tidak bisa tidur," ucapku mengiba. Ibu malah mendelikkan mata, bibirnya mencebik seolah-olah meledekku. "Tinggal beli saja yang baru, apa susahnya, sih? Oh, iya 'kan kamu tidak punya uang, ya?" Sebelah tangannya menutup mulut, mentertawakanku. "Makanya, jadi wanita jangan belagu! Tinggal turuti maunya suami, kok ini malah memilih pergi. Yasudah, nikmati kemiskinanmu itu!" lanjutnya seraya pergi meninggalkanku. Tangis Saffa semakin kencang tatkala ia melihat neneknya membawa barang kesayangannya pergi. Kuciumi kepalanya mencoba untuk menenangkan. Namun, ia terus meronta memintaku untuk menurunkan tubuh mungilnya. Sedangkan wanita itu, ia abai. Ibu mertua menulikan telinga enggan mendengar jerit tangis anakku. "Sabar, ya, Nak. Nanti Mama belikan yang baru, ya?" ujarku menepuk-nepuk punggung anakku pelan. Dengan hati yang perih dan diiringi tangis Saffa, aku keluar dari rumah yang selama lima tahun telah aku tempati. Membangun rumah tangga yang bahagia, namun akhirnya berakhir duka. Aku harus kalah oleh wanita yang lebih berkasta. Seorang anak manager di mana tempat suamiku bekerja. Tidak, aku tidak kalah. Tapi, aku mengalah untuk bisa terbebas dari lingkungan yang tidak sehat untuk jiwaku. Berada di sini, kewarasanku benar-benar dipertaruhkan. Aku harus bekerja mendapatkan uang, juga harus bekerja di rumah menjadi pelayan mereka. Awalnya aku ikhlas untuk sebuah pengabdian sebagai seorang menantu. Namun, rasanya pengabdianku terbuang sia-sia setelah Mas Haikal suamiku memutuskan untuk menikah lagi. Sudah cukup ragaku yang lelah, tidak dengan hati dan pikiranku yang akan menjadi korbannya. Aku enggan untuk diduakan. "Mau pergi sekarang?" Aku mengangkat kepala, melihat pada suara yang dulu sangat aku rindukan. Seorang pria turun dari mobil dengan menebar senyuman. Ah, rasanya sekarang senyuman itu amat mematikan. Membunuh rasa yang dulu begitu menggebu, menjadi butiran debu. "Iya," jawabku singkat. "Ok, hati-hati di jalan. Salam untuk mantan mertua. Bilang pada mereka, aku tidak bisa mengantarmu karena ada acara di rumah mertua baruku yang tentunya lebih penting dan lebih berharga." Aku tersenyum kecut dengan menganggukkan kepala. Kembali aku melangkah hendak melewati Mas Haikal, tapi putriku menarik kemeja ayahnya hingga langkahku terhenti seketika. "Yayah ...," panggil Saffa berharap yang dipanggil akan menggendongnya. Hati kembali teriris saat Mas Haikal menghenyakkan tangan Saffa dengan kasar. Ia mengusap kemeja yang baru saja dipegang putrinya. "Duh, jangan ditarik nanti kotor," ucapnya lebih peduli pada pakaian. "Sombong sekali kamu, Mas. Kamu lebih peduli sebuah kain daripada darah dagingmu?" kataku penuh penekanan. Kepala kugelengkan melihat tingkah dia yang semakin hari semakin arogan. "Ini baju mahal yang dibelikan Amira. Bagiamana mungkin kamu membandingkannya dengan anakmu yang tidak kuharapkan kehadirannya." "Mas!" "Sudahlah, jangan berdrama lagi. Cepat pergi dan jangan minta apa pun dariku. Apalagi, untuk urusan anak itu. Aku tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk dia," ujar Mas Haikal menunjuk wajah Saffa. Aku mundur satu langkah, menjauhkan diri dari jangkauan pria tak punya hati itu. Gemuruh di d**a sudah semakin membara. Namun, aku bersikap tenang menyembunyikan kepedihan yang dia tanam sedari dulu. Hatiku sudah kebal untuk kata-kata kasar dari bibirnya. "Tenang saja, Mas. Aku tidak akan menghubungimu untuk meminta uang. Jangankan meminta biaya, Saffa sakit, sehat, bahkan mati pun, tidak akan aku memberitahumu!" ucapku dengan mengeratkan gigi. Mas Haikal mengedikkan bahu, kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Aku pandangi punggung itu, kutatap rumah yang sudah menjadi saksi derita seorang wanita dalam mempertahankan kedudukannya sebagai seorang istri. Namun harus berakhir karena takdir akan membawanya pada kisah lain. Saat hendak pergi, sebuah ide tiba-tiba muncul untuk memberikan salam perpisahan. Aku menurunkan tubuh Saffa, menghampiri mobil Mas Haikal yang juga diberikan Amira istri barunya. "Mama sedang apa?" "Ssttt ...." Aku menempelkan telunjuk di bibir. Saffa mengerti. Ia diam saja sampai aku berhasil membuang angin di keempat ban mobil Mas Haikal hingga kempes. Setelah selesai, aku segera berlari seraya menggendong Saffa keluar dari pagar rumah. "Jalan," ucapku setelah memasuki mobil yang sedari tadi sudah menunggu. Bersambung

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.7K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.8K
bc

My Secret Little Wife

read
99.0K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook