2. Be Ha

1373 Kata
Djatmiko duduk didepan meja makan rumahnya. Berbekal sebuah buku tulis, dan pensil milik adiknya ia mulai menyusun rencana. Beberapa menit ia duduk termenung kebingungan hendak memulai dari mana. Dua adik tirinya yang berumur 8 dan 9 tahun berlari mengelilingi meja makan bermain kejar-kejaran sambil menjerit-jerit membuat Djatmiko makin tidak bisa berkonsentrasi. “WOI!” jeritnya ke arah Pipit dan Puput. Kedua bocah itu langsung menghentikan permainannya dan menatap ke arah Djatmiko dengan tangan bersilang di depan d**a. “Apaan sih, Mas? Bikin kaget aja!” seru Pipit yang berusia 8 tahun. “Brisik tahu?!” gertak Djatmiko. “Emang Mas Djat lagi ngapain, sih? Kok bawa-bawa buku tulis gitu? Mau ngitung hutang?” celetuk Puput kakak Pipit yang duduk di kelas 4 SD. “Enak aja hutang. Gini-gini Mas tidak punya hutang. Mas lagi mau ngitung biaya buat keluar negri,” sahut Djatmiko sambil menyentil telinga Puput. “Keluar negri? Memang mau kemana Mas? Bandung?” tanya Pipit. “Heh… ngawur,” seru Puput. “Bandung itu bukan luar negri. Masih di Indonesia. Kalau luar negeri itu kayak Bali, Nusa Dua, Palembang… nah itu luar negeri,” lanjut Puput dengan nada menguliahi adiknya. “Ihhh… diajari apa sih di sekolah. Masa Bali luar negeri?” gerutu Djatmiko. “Luar negeri itu Amerika, Paris, Shanghai, Jepang. Nah itu luar negeri.” “Ooo….” Bibir keduanya membulat bersamaan dengan munculnya sosok wanita berbadan gempal masuk ke dalam rumah. “Heh Monyet! Singkong ku mau dibawa kemana!” jerit Nunung menggelegar. Tubuhnya yang gemuk berayun ke kanan dan ke kiri mengiringi langkah kakinya yang mirip dengan godzila ketika sedang marah. “Hah?” sahut Djatmiko tidak sadar bahwa dirinya membawa pulang rantang berisi singkong milik temannya itu. Sebuah pukulan mendarat di belakang kepalanya menghantarkan dahinya terdorong kedepan. “Aduh! Nung! Kamu pakai cincin akik apa gimana sih?!? Sakit banget tauk!” gerutu Djatmiko sambil mengelus belakang kepalanya. “Ya situ lari-lari pulang bawa barang orang. Siapa suru!” jerit Nunung menyambar rantang miliknya dari atas meja makan. Tangannya kembali mencomot sepotong singkong goreng sambil melirik ke arah Djatmiko yang sudah kembali tertunduk sambil mencorat-coretkan pensil pendek nya ke atas buku tulis. “Bikin apaan sih?” tanya Nunung penasaran. Matanya membaca tulisan Djatmiko. ‘Bajet Lis Ke Acara Fiktoria Sikret’ “Heh, Goblo*g! Nulis inggris aja ngga becus, mau gaya-gaya an ke luar negri sih?” komentar Nunung sambil berdiri di belakang pria itu. “Biarin! Nggak semua orang bisa kuliah sampai lulus macem dirimu, Nung. Yang penting aku paham ini tulisan apaan,” jawab Djatmiko. Berbeda dengan dirinya, Nunung adalah lulusan universitas besar di Bandung. Walau bertetangga dan berteman sejak kecil, tapi kondisi keuangan keduanya jauh berbeda. Nunung adalah anak seorang pedagang. Keluarga Nunung memiliki beberapa toko pakaian dalam yang cukup terkenal di Madiun. Karenanya ketika Djatmiko harus berhenti sekolah karena kekurangan biaya, Nunung melanjutkan pendidikannya hingga S1 jurusan ekonomi, dan malah sekarang sudah mempunyai usaha sendiri yang dirintisnya di Bandung. Dengan bantuan modal dari ayahnya, Nunung memperkerjakan beberapa penjahit dan memproduksi pakaian dalam mereknya sendiri yang kemudian dijualnya ke berbagai toko di kota yang terkenal oleh bisnis tekstilnya itu. Kesibukan Nunung di Bandung memang membuat wanita itu tidak bisa pulang sesering yang diinginkannya. Hanya menjelang lebaran seperti sekarang ini lah, Nunung memiliki banyak waktu untuk mengunjungi keluarga dan teman-teman lamanya seperti Djatmiko. “Nung, coba cek di henpon mu. Victoria Secret tahun depan diadakan dimana?” tanya Djatmiko. Nunung mengelapkan tangannya ke kaos Djatmiko sebelum meraih ponsel di dalam saku bajunya. Setelah mengotak atik benda tipis itu beberapa saat, ia kemudian menjawab. “New York.” “Amerika ya?” tanya Djatmiko memastikan. “Bukan, Kebon Jeruk! Iya lah Amerika!” “Coba cek tiket ke sana, Nung?” perintah Djatmiko mengacuhkan ejekan temannya. “Tiket pesawat?” “Ya iya lah, masa tiket bus. Kapan aku sampainya,” celetuk Djatmiko sewot. “Ngakunya lulusan es satu. Masa gitu aja gak paham?” “Ya siapa tahu situ carinya yang murah. Emang punya duit buat naik pesawat?” balas Nunung sambil membuka salah satu aplikasi traveling miliknya. “Emang berapa?” “Bentar!” bentak Nunung sewot. “Sekali jalan 13 jutaan. Pulang pergi ya… sekitar 26 jutaan. Kecuali kamunya ngga berniat balik lagi ke Indonesia.” Djatmiko menunduk mencatatkan jawaban dari Nunung sambil mengumat amit kan apa yang dituliskannya. “Ti..ga..be..las… ju….taaa…. kali…du..a…. Du…a…pu…luh…e…nam…. Baiklah. Lalu apa lagi. Berapa harga tiket masuk ke acaranya?” “Hah? Ya mana tau…,” celetuk Nunung. “Cek donk…. Cek…” sahut Djatmiko menunjuk ponsel di tangan Nunung. Wanita itu menurut. Mengetikkan ‘tiket masuk acara victoria secret’ ke perangkat pintarnya. Matanya langsung mendelik melihat apa yang ditemuinya. “An-jrit!” seru wanita itu. “Gak salah nih?” “Kenapa?” “Tiket masuknya saja 450 jutaan, Mik!” Kini giliran Djatmiko yang melongo. Lenyap sudah impiannya untuk bisa menonton acara busana pakaian dalam Victoria Secret yang baru saja muncul dalam benaknya empat puluh lima menit yang lalu. Tapi bukan Djatmiko namanya kalau menyerah begitu saja. Jika kalian lupa, satu-satunya kelebihan yang dimiliki pria itu adalah giginya…eh… kemampuannya untuk tidak pernah menyerah. “Baiklah. Jadi aku perlu 500 juta kurang lebihnya. Anggap saja aku berencana mengumpulkannya dalam 3 tahun. Berapa yang harus kukumpulkan per bulan, Nung?” “Banyak!” sahut Nunung asal. “Hitung donk. Katanya lulusan ekonomi. Coba buka tuh aplikasi kalkulator.” Nunung menarik nafas mulai kehilangan minat akan permintaan temannya yang dinilainya tidak lebih dari sebuah kehaluan yang hakiki. Mirip dengan novel-novel online yang sering dibacanya malam-malam. “Sudahlah. Tidak mungkin bisa kamu mengumpulkan uang sebanyak itu. Apalagi dalam waktu 3 tahun. Tanpa kalkulator saja aku tahu jumlahnya terlalu banyak.” “Hitung, Nung!” tunjuk Djatmiko ke arah ponsel wanita itu. Nunung menghela nafas kesal, tapi melakukan juga perintah temannya. Ia tahu benar watak pria itu. Jika ia sudah mempunyai kemauan, tidak ada satu orangpun yang bisa mengubahnya. Kekerasan kepala yang menurut ibunya adalah warisan dari watak ayah kandungnya yang menghilang begitu saja. “Tiga belas juta!” jawab Nunung setelah menghitung dengan kalkulatornya. “Tiga belas juta per tahun? Gak terlalu banyak lah—” “Per bulan, Dodol!” potong Nunung. Djatmiko menyandarkan punggungnya ke belakang. Kemana dirinya mendapatkan pekerjaan dengan gaji sebesar itu per bulan? Dirinya yang hanya lulusan SMP? Pekerjaan nya sehari-hari hanya berkisar antara menjadi kuli panggul di pasar atau tukang parkir yang paling hanya menghasilkan tidak sampai 1,5 juta sebulan. Apakah mimpi ku terlalu tinggi kali ini? Djatmiko mulai ragu-ragu. Nunung bisa melihat kekecewaan di wajah temannya itu yang ikut membuatnya ikut merasa sedih. Karenanya ia memutuskan untuk membantu. Lagipula apalah teman jika tidak saling mendukung kehaluan satu sama lain, pikir Nunung. “Hm… Aku kebetulan sedang mencari sales penjualan yang bisa di percaya sih, Mik. Susah cari orang jujur jaman sekarang. Semuanya berniatnya kalau ngga nipu ya nyolong… Kamu mau kerja sama aku, nggak?” tanya Nunung ragu-ragu. Ia sebetulnya memang hendak menanyakan hal itu kepada temannya. Merintis usaha baru di kota besar tidaklah mudah. Memiliki orang yang dipercayanya akan sangat membantunya untuk bisa berkembang. Tapi ia tidak yakin jika Djatmiko akan mau meninggalkan ke sembilan adik yang sangat disayanginya. “Kamu gaji berapa emang?” tanya Djatmiko. “Gak banyak sih. Tapi ada bonus penjualan. Kalau kamu bisa jual banyak, ya kemungkinan kamu bisa dapet sekitar 8-10 an juta sebulan.” Djatmiko mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar gaji yang mungkin bisa di dapatnya dengan bekerja pada temannya itu. Tanpa banyak pikir, pria itu langsung menjulurkan tangannya ke arah Nunung. “Setuju!” Nunung menatap ke arah tangan Djatmiko sambil mengerutkan dahinya. “Setuju apaan?” “Berhubung mulai sekarang aku akan bekerja pada juragan beha, akan ku sampaikan persetujuanku dengan istilah yang kamu pahami, Nung. Seperti kata beha kepada da-da wanita, saya akan menyuport bisnis anda dari kerasnya daya tarik ke bawah.” “HAH?!?!? DASAR KOPLAK!” jerit Nunung sambil mengemplangkan rantang kosongnya ke kepala Djatmiko. ===== Note: Ini cerita bakal penuh kekoplakan yang bikin gedeg. yang suka jangan lupa love dan komen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN