3. Jegrek!

1659 Kata
Keesokan harinya, Djatmiko memutuskan untuk menyampaikan rencananya untuk merantau kepada keluarga. Ia memilih waktu pagi hari ketika semuanya masih segar dan belum ternoda oleh rasa stres. Ayah tiri dan ibunya masih berada di dalam kamar tidur, dan Djatmiko berniat untuk memberitahu kedua orang tuanya sebelum ia mengumumkan niatnya ke para adik-adiknya. Sambil berdiri didepan kamar tidur Janu dan Patri, Djatmiko menarik nafas panjang mempersiapkan diri. “Ok, Mik. Sekarang saatnya. Ayo kamu pasti bisa meyakinkan mereka untuk memberimu ijin. Lagi pula ini kan demi masa depan. Siapa tahu setelah bisa ketemu model-model cantik itu, kamu punya uang lebih buat beliin bapak dan ibu mobil. Ok!” Djatmiko bergumam sendiri sambil menepuk-nepuk pipinya biar semangat. JEGREK! Tanpa mengetuk, Djatmiko langsung menarik gagang pintu kamar Janu dan Patri dan mendorongnya terbuka. “AAAAAAAAAAAA!!!!” Suara jeritan dari mulut Patri dan Janu langsung terdengar bersautan dengan teriakan melengking dari Djatmiko, mirip mobil ambulance lagi balapan sama mobil damkar lalu ditangkep polisi gara-gara ngebut. “ASTAGA NAGA…. MAK! Ya ampun mataku! Kalian ini lagi ngapain sih?!” jerit Djatmiko sambil menutup matanya dengan kedua tangannya. “EH! Bocah kam-pret! Nggak tau tata krama! Tutup pintunya!” jerit Patri yang masih nonggeng sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polosan macem bayi baru lahir. Janu meraih bantal disebelah lututnya dan langsung melemparkannya ke arah pintu tepat mengenai kepala Djatmiko. “Tutup pintu!” bentak Janu setelah menyaksikan bantal mengenai jidat pemuda itu dan memantul ke bawah. Tidak menunggu serangan penghuni kasur berikutnya, Djatmiko langsung menarik pintu menutup dan berlari ke kamar mandi untuk mencuci mukanya yang lebih panas dari kepiting rebus. “Dasar orang nggak tau umur. Udah tua masih aja main kuda-kudaan. Kebayang itu pada gondal gandul kemana-mana. Astagahh…,” omel Djatmiko sambil merinding. “Anak juga udah sembilan, masih aja bikin terus. Emang ini peternakan kelinci apa? Rumah sudah sempit. Orang bejibun. Tidur aja sudah susah mirip sarden di kalengan kok ya belum puas,” lanjut nya terus mengomel. Lima belas menit Djatmiko menenangkan diri di dalam kamar mandi sambil ngoceh sendiri. Setelah bayangan bo-kong kisut bapaknya sedikit menghilang dari benaknya, Djatmiko memberanikan diri untuk melongok keluar. Semua keluarganya kini sudah muncul di ruang tengah, sibuk dengan aktifitas masing-masing. Janu sedang menatap koran di tangannya. Sudah rapi berpakaian komplit dan kini sedang duduk di depan meja makan sambil mengunyah pisang goreng yang mungkin dibuat Parti tadi pagi sebelum acara esek-esek dimulai. Parti, sementara itu, sedang menyuapi adik bungsu Djatmiko, Putri, yang masih berusia setahun. Parmi, anak tertua dari Parti dan Janu duduk memangku Putri sambil mengayun-ayunkan sebuah mainan di depan wajah bayi itu. “Nih..nih… akkk ayo Put, pesawatnya mau masuk nih… buka mulutnyaaa….aaaa…” ucap Parmi berusaha membujuk adiknya agar membuka mulutnya. Tiga dari adik Djatmiko duduk di meja makan bersama ayah tirinya mengunyah pisang goreng sambil bercakap-cakap entah tentang apa. Sementara dua yang lain, si kembar Pinky dan Pungki yang berumur 7 tahun, duduk diatas sofa mengerjalan PR mereka yang lupa dikerjakan kemarin. Djatmiko memutuskan untuk pura-pura amnes dan melupakan apa yang baru saja terjadi. Lagipula kini ke sembilan adiknya sudah muncul, tidak mungkin juga ia membahas lagi adegan gondal-gandul kedua orang tuanya yang tidak senonoh. Pelan, pria itu muncul dari tempat persembunyiannya dan berniat melanjutkan pengumumannya yang sempat tertunda. “Ehem…,” deham Djatmiko berusaha menarik perhatian keluarganya. Sibuk dengan kesibukan masing-masing, tidak ada seorangpun dari keluarganya yang menoleh. “Ehem ehem!!!” serunya lebih keras. Ayah tirinya menurunkan kertas korannya menatap ke arah Djatmiko. “Kenapa lagi? Serak suaranya? Bapak sudah bilangkan jangan kebanyakan karokean malem-malem. Suaramu tuh ngga enak. Bebek juga terbang denger kamu nyanyi…,” ucap Janu, ayah tiri Djatmiko. Walau berstatus ayah tiri, tapi Djatmiko memiliki hubungan yang cukup akrab dengan ayah tirinya. Janu sudah menganggap Djatmiko sebagai anaknya sendiri, apalagi mengingat ke 9 anaknya yang lain adalah perempuan. Menjadikan Djatmiko satu-satunya penerus keluarganya. “Ehh…enak aja, Bapak ih. Suara ku sering dibilang mirip Nastar.. eh… Nasar… cengkokannya tuh khas banget. Ngga ada yang bisa nyaingin.” “Lah terus ngapain kamu uhuk uhuk tadi?” timpal Janu kepada anak nya yang berasal dari pria lain itu. “Ya mau manggil tadi tuh maksudnya, Pak…..” “Giliran keliatan manggil-manggil. Tadi nggak keliatan langsung nyelonong aja,” omel Janu sekenanya. “Lah ya bapak kenapa punya kunci gak dipake. Ya tahu dari mana kalo kalian lagi ngent—” “Hush!” potong Patri melotot macem ikan mas koki kejepit pintu. “Ngapain sih manggil-manggil. Wong rumah kita juga cuma secuplek pake manggil-manggil. Iya kalo rumah gedong, perlu di panggil. Ngomong aja langsung maunya apa…,” sahut Patri, ibu Jatmino. “Jadi gini Pak, Bu. Djatmiko mau minta ijin—” “Ijin apa?” potong Janu. “Mau nikah kamu? Pasti sama si Nunung ya? Tiap malem namu aja ke rumah si Nunung, bikin malu aja tau nggak. Baguslah kalau kalian akhirnya nikah. Sudah saatnya kamu keluar dari rumah ini.” “Lah…kok bapak ngusir sih? Lagian siapa yang mau nikah? Eh tunggu… Bapak ngga keberatan aku keluar dari rumah ini?” tanya Djatmiko. “Kok keberatan. Justru seneng, Bapak. Berkurang satu mulut buat di kasih makan,” timpal Janu. Djatmiko mengangguk sambil menggaruk tengkuknya. “Ya bagus kalau begitu lah, Pak. Soalnya Djatmiko mau minta ijin buat merantau ke Bandung.” Patri langsung membelalak mendengar ucapan anak sulungnya. “Apa? Merantau? Ngapain jauh-jauh ke Bandung?” tanya Patri. Sebagai anak pertamanya, tentu saja Patri sangat menyayangi Djatmiko yang walaupun koplak adalah putra satu-satunya. “Djatmiko pingin mandiri, Bu. Biar bisa mengumpulkan uang banyak. Nunung kan punya usaha konveksi di Bandung. Kebetulan dia lagi butuh sales yang bisa di percaya.” “Sales? Apa gara-gara suaramu sumbang makanya Mbak Nunung nyuru kakak?” Pinky yang duduk di sofa mendadak menyeletuk. “Hah? Fales itu kali!” jerit Djatmiko. “Seles tuh bagian yang jual-jual barang. Jadi nanti Mas mu ini pegang bagian penjualan baju dalemannya mbak Nunung.” “Apa?!” Kini si kembar Pingky dan Pungki menjerit bareng-bareng. “Mas jualan baju dalemnya Mbak Nunung?” “Eeehh bukan! Ngaco! Mbak Nunung itu punya pabrik be ha. Nah nanti Mas mu jualan hasil konveksi pabriknya Mbak Nunung,” jelas Djatmiko kepada kedua adiknya. “Wuih… Mbak Nunung punya pabrik?” sahut Pipit sambil mengunyah pisang di mulutnya. “Ya iya. Mbak Nunung kan pinter. Sekolahnya tinggi. Sampai S1,” timpal Parmi si putri sulung sambil  masih memangku adiknya. “Aku juga Snya 1,” sahut Pungki tak mau kalah. “SD! Haha…” “Hishhh…. kalian ini. Ganggu aja orang dewasa lagi ngomong, ya,” teriak Djatmiko menggusah adik-adiknya agar diam sebelum meneruskan ucapannya. “Jadi gitu Pak, Bu. Djatmiko minta restunya ya.” Janu melirik ke arah istrinya yang terdiam mendengar ucapan dari anaknya. Pria itu bisa membaca kesedihan di mata Patri mendengar anak sulung yang disayanginya meminta ijin untuk pergi merantau sangat jauh dari rumah. “Kamu bakalan tinggal di mana di sana, Djat?” tanya Patri setelah beberapa saat. “Ada tempat tinggal buat karyawan, Bu. Nunung beri ijin buat pakai tanpa biaya. Jadi Djat hanya butuh keluar uang buat makan saja. Sama mungkin beli pulsa buat nelepon Bapak dan Ibu.” Jawaban Djatmiko mulai membuat mata Patri berkaca-kaca. Ia tahu benar bagaimana watak Djatmiko. Jika ia sudah memiliki keinginan, percuma mencegahnya. Karena semua orang juga tahu, Djatmiko pantang menyerah.   “Kapan kamu berangkat?” lanjut Patri. “Nunung bilang sih seminggu lagi, Bu.” Patri mengangguk mendengar jawaban Djatmiko. Ia kemudian menoleh kearah suaminya. “Bagaimana, Pak?” tanyanya. “Terserah kamu, Bu. Kalau menurutku sih biarkan saja Djatmiko merantau. Biar menambah pengalaman. Siapa tau dia pulang membawa istri. Dan uang yang banyak.” Patri ikut tertawa mendengar ucapan suaminya yang ia yakin sebagai lawakan untuk menghiburnya. Wanita itu pun akhirnya ikut mengangguk. “Ya sudah. Kalau itu maumu, Djat. Tidak ada yang bisa bapak dan ibu lakukan kecuali memberimu doa. Semoga apa yang kamu cari tercapai,” ucap Patri kepada anak sulungnya. Restu dari Patri dan Janu akan kepergian Djatmiko rupanya mendapat protes keras dari adik-adik Djatmiko. “Lahh… nanti kalau nggak ada Mas Djat, siapa yang anter kita ke sekolah donk?” seru Puput menunjuk adik-adiknya yang lain. Memang sudah menjadi kebiasaan Djatmiko untuk mengantar ke empat adiknya, Puput, Pipit, Pinky dan Pungki yang masih duduk di kelas SD ke sekolah setiap harinya. Biasanya ke empatnya akan dinaikkan ke motor gerobak milik Djatmiko sebelum pria itu berangkat ke pasar melakukan pekerjaannya sebagai buruh panggul. Hanya Parmi yang sudah duduk di bangku SMP yang berangkat sendiri naik sepeda. “Nanti Bapak yang antar,” seru Janu. “Gakkk mauuu…. Mau sama Mas Djat….,”rengek Pipit. Bocah berumur 8 tahun itu melentingkan badannya ke sandaran kursi meja makan sambil memasang wajah cemberut. “Apa bedanya emang Bapak yang antar sama Mas mu?” tanya Janu menoleh ke samping, kearah Pipit yang duduk di sebelahnya “Mas Djat baik, suka beliin jajan sebelum masuk,” sahut Pipit. “Eaalahhh… pantesan gurumu komplen terus kalian kalau masuk sekolah telat ae. Rupanya jajan mulu sebelum masuk. Kaya orang gak pernah di kasi makan saja. Udah sarapan masih juga jajan di sekolah. Tahu ngga itu jajanan kotornya kayak apa. Mencret kalian nanti ya!” omel Janu kepada anak-anaknya yang lain. Kini giliran Pipit yang ngedumel pelan mendengar ocehan bapaknya, “Makan di rumah juga sering mencret, Pak… Apalagi kalau Bapak yang masak. Mules gara-gara kalau nggak keasinan, ya kepedesan.” “Hah! Apa?!” teriak Janu mulai melinting koran yang di bacanya dan membuat kedua anaknya yang duduk diatas meja makan berhamburan kabur. ===== Note: Okee manteman, 3 episode dulu ya sambil nunggu kontrak turun. Semoga bulan depan bisa lanjut lagi setelah Irukandji Silahkan tap love dulu dan tinggalkan jejak di kolom komen. Sampai jumpa dadaaa....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN