Karma, part 1

532 Kata
Joko adalah seorang laki-laki yang kolot dan kuno. Dia sering menjadi bahan ledekan tetangga-tetangganya saat nongkrong bareng. Semua itu hanya karena satu alasan saja, Joko sangat percaya dengan tahayul. Joko percaya dengan semua pamali dan pantangan yang sering diujar-ujar oleh orang-orang tua. Karena itu, tetangga-tetangganya sering mengganggap dia kolot dan kuno, lalu menjadikan dirinya bahan bullyan verbal. Selain pamali dan sejenisnya, Joko juga sangat percaya karma. Dia tahu apa yang dia tanam suatu saat akan berakibat balik kepada dirinya atau keluarganya. Karena itu, meskipun dikenal oleh tetangganya sebagai orang yang kuno, Joko juga dikenal sebagai tetangga yang ringan tangan. Dia suka sekali membantu tetangganya jika ada kesusahan, baik diminta ataupun tidak. Joko tinggal di sebuah perumahan sederhana yang tidak begitu ramai. Perumahan itu bukanlah perumahan mewah yang memiliki satu pintu dan dijaga oleh security 24 jam dengan sistem cluster seperti di sinetron-sinetron yang sering tayang di televisi. Perumahan Joko hanyalah perumahan sederhana yang KPR-nya bersubsidi dan dindingnya saling menempel satu sama lain. Joko sudah menikah dan mempunyai tiga orang anak. Dia bekerja sebagai ojek online berseragam hijau, sedangkan istrinya membantu usaha orang tuanya berjualan di pasar kecamatan. Joko sering membantu mertuanya di pasar kecamatan jika tidak mendapatkan orderan. Dia memiliki mertua laki-laki yang baik dan tak pernah terlalu menuntut kepada menantunya. Hanya mertua perempuan saja yang sampai saat ini masih menatapnya tak suka. Kios milik mertua Joko berada di salah satu sudut pasar. Tempatnya strategis dan karena keluarga mereka sudah berjualan bertahun-tahun, kios ini memiliki banyak pelanggan tetap. Pagi itu, seperti biasa, Joko mangkal terlebih dahulu bersama kawan-kawannya di pinggir jalan raya. Tak lama kemudian, dia mendapatkan orderan dari seseorang dan dia menerimanya. Beberapa menit setelahnya, Joko menghentikan motornya di depan sebuah rumah mewah yang sangat megah. Di depan rumah itu, seorang laki-laki tua keturunan Tionghoa berdiri dengan wajah yang berkeringat. “Bapak?” tanya Joko. “Iya. Ojeknya untuk saya,” kata si Bapak. Joko pun tersenyum lalu memberikan helm kepada si Bapak tadi. Tak lama kemudian, motor Joko sudah melaju mengantar sang penumpang ke tempat tujuannya. Joko sama sekali tak bertanya-tanya kenapa seorang laki-laki tua seperti penumpangnya harus naik ojek online jika memang dia sekaya itu. Entah lah. Joko tak ingin tahu dan juga tak mau tahu. Pamali, kata Joko, kalau kita kepo urusan pribadi orang. Setengah jam kemudian, motor Joko berhenti di depan stasiun kereta api sesuai dengan orderan yang dia terima. Joko memarkirkan motornya dan tersenyum, “Sudah sampai Pak,” katanya. Sang Bapak menganggukkan kepalanya, “Terima kasih,” kata si Bapak sambil melangkah pergi. Joko terbengong. Tunggu? Siapa yang bayar woiii? Jauh juga ni, lebih setengah jam dia ngantar ke sini. Setengah berlari, Joko mengejar si Bapak tua tadi dan menepuk pundaknya. Sambil memasang wajah tersenyum, Joko bertanya dengan suara sehalus mungkin, “Maaf Pak, ongkosnya belum dibayar,” kata Joko. Si Kakek terkejut. “Belum dibayar sama dia orang yang pesen pake Hp tadi?” tanya si Kakek. Joko menggelengkan kepalanya sambil menunjukkan aplikasi di layar HPnya ke arah sang Kakek, “Ini Pak, belum dibayar.” “Lanciao!!” maki si Kakek marah. Dengan suara ngedumel, sang Kakek mencari-cari dompetnya tapi tak menemukan apa pun. Joko tertegun. Ada ya? Seseorang bepergian tanpa membawa dompet.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN