Karma, part 2

512 Kata
“Kanina!” si Kakek masih memaki-maki sambil terus membuka-buka saku baju dan tasnya. “Dompet oe ketinggalan. Oe tak bisa bayar ini,” kata si Kakek. Joko langsung lemas. Ampun. Orderan pertama, kirain bakalan dapat rejeki nomplok tak tahunya tai nemplok. Joko lalu menarik napas dalam-dalam. Karma. Siapa berbuat baik, pasti akan mendapatkan balasannya. “Sudah Pak, nggak pa-pa kalau memang tidak ada,” kata Joko sambil tersenyum. Si Kakek menggeleng-gelengkan kepalanya, “Oe tak mau hutang budi. Hutang budi berat tanggungannya,” kata si Kakek, dia terlihat berpikir keras. Tak lama kemudian, tangan si Kakek masuk ke dalam tasnya lalu merogoh sebuah botol kaca. Di dalam botol kaca itu terdapat beberapa butir pil kecil yang agak aneh. Joko mengibas-ngibaskan tangannya, “Tidak usah Pak. Tidak usah. Saya ikhlas ndak usah bayar,” katanya. “Oe bayar pake ini. Oe ini sinshe. Ini obat bagus. Kalau lu beli, harganya mahal punya,” kata si Kakek mirip banget seperti penjual obat dari Jamu Jago jaman tempo dulu. “Tidak usah Pak,” tolak Joko bersikeras. “Jangan lu tolak dulu. Oe kasih tahu khasiatnya. Ini obat bagus punya. Manjur buat cewek-cewek. Yang dingin tak bernafsu pun, asal telan satu butir, siap-siap jadi liar punya. Tapi lu musti tahan dia orang. Siapa laki di dekatnya pasti kena terkam,” kata si Bapak tua yang mengaku Sinshe itu. “Gila!! Mana ada obat perangsang sehebat itu. Kalau pun ada, jangankan cewek biasa, artis pun kalau bisa kita kondisikan, pasti kena juga,” cibir Joko dalam hati. Tapi tak urung, Joko menerima obat itu juga. Daripada dia harus mendengarkan ocehan promosi Sinshe tua ini. Toh dia juga sudah mengikhlaskan ongkos ojek untuk si Kakek. ----- “Jok, bantuin Ibumu di belakang!” kata Bapak Mertua ke arah Joko yang sedang membersihkan beberapa barang yang dipajang di bagian depan kios. Istri Joko memang kesini, tapi dia tak bisa membantu sebebas itu, ada tiga anak yang harus dia urusi. “Nggih Pak,” jawab Joko tanpa membantah. Joko pun berjalan ke ruang belakang yang dijadiin gudang. Sesampainya di belakang, seorang wanita yang mengenakan gaus terusan panjang dengan lengan yang digulung dan muka dipenuhi keringat terlihat sibuk mengangkat-angkat kardus yang berisi makanan ringan. Joko menarik napas panjang. Sejak dulu, sejak jaman Joko dan istrinya masih pacaran, satu-satunya wanita yang menjadi obyek khayalan Joko adalah Ibu mertuanya sendiri. Bapak dan Ibu mertua Joko memiliki usia yang terpaut sangat jauh, karena beliau bukan istri pertama Bapak Mertuanya. Saat melihat Joko masuk ke dalam kamar yang agak sempit dengan penerangan terbatas ini, Tantri mendengus kesal, “Ndak usah bantu-bantu disini,” kata Tantri, Ibu Mertua Joko, ketus. “Aku disuruh Bapak, Buk,” jawab Joko dan membuat Tantri terdiam. Tak lama kemudian, Joko dan Tantri bekerja di dalam ruangan sempit itu dalam diam. Sesekali Tantri akan berjalan kedepan mengeluarkan barang yang diminta oleh pelanggan. Sesekali, Joko yang melakukannya. Setelah sekitar satu jam di dalam. Tantri terlihat letih dan duduk menyenderkan diri ke sebuah kursi di sudut ruangan gudang yang sempit ini. Joko melirik ke arah Ibu mertuanya dan darah mudanya berdesir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN