Menemukan Pangeran Berkuda

1097 Kata
“Boleh. Tidak ingin makan dulu? Akan aku traktir.” Aku menawarinya dengan tulus. “Aku tidak nafsu. Aku hanya ingin mendapatkan buku barumu, berfoto, lalu mendapatkan tanda tanganmu.” Kalea meminum minumannnya, “Aku hanya ingin itu dan sudah merasa senang sekali. Devan akan marah kalau aku keluar terlalu lama, padahal aku ingin jalan-jalan. Sebenarnya Devan menyuruhku untuk membuat janji temu di rumah, lalu bagaimana letak kesenangannya ketika diriku harus terkekang di rumah hanya karena perutku yang kian membesar.” Kalea menyelesaikan curahan hatinya dengan sangat cepat. Aku mengerti sekali bagaimana perasaan Kalea meskipun aku bukanlah seorang istri atau ibu. Aku hanya seorang pengarang yang mengerti perasaan orang lain disaat tidak mengalaminya sendiri. “Devan sangat mencintaimu, Kal.” “Aku tahu, tapi aku lama-lama jengah.” Kembali Kalea mengeluh. “Aku jadi mendapatkan inspirasi untuk membuat kisah tentang gadis yang terkekang oleh pacarnya.” Aku asal bicara. “Kalau kau yang menuliskannya, pasti akan sangat bagus. Cepat selesaikan ide barumu itu. Aku tidak sabar untuk mendapatkan buku sekaligus tanda tangannya.” Kalea tampak antusias. “Tolong sebut namaku di halaman pertamanya, aku yang memberimu inspirasi.” Kalea Tersenyum lebar. “Apa bagusnya tanda tanganku?” “Kau tidak pernah menggemari orang lain, jadi tidak mengerti. Bahkan aku rela menjadi kacungmu hanya demi tanda tangan.” Ungkap Kalea tanpa rasa malu kepadaku. “Dan Devan akan menguburkanku ke dalam tanah jika melakukan hal itu.” Aku menatapnya sinis. “Haha … aku mengerti. Devan kadang mengerikan.” Aku melihat dua orang pengawal yang tiba-tiba masuk. Aku yakin itu pengawal Kalea. “Kal, pengawalmu?” Aku mencoba memastikan, Kalea menoleh ke arah pintu masuk. “Sial, apa waktunya secepat itu?” “Mereka mencari tempat duduk terdekat.” Aku memberi informasi saat melihat mereka duduk dengan jarak tiga meja dari mejaku dan Kalea duduk. “Aku merasa tidak bisa bergerak.” Kalea memajukan bibirnya. Dalam keadaan cemberut kuakui kalau Kalea cantik. Pantas Devan begitu menjaganya seperti bola kristal yang mahal. “Sudah sangat jelas kalau mereka akan melapor kepada Devan segalanya tentang kegiatanku. Itu sangat menyebalkan.” “Aku malah ingin disayang seperti itu, kau tahu, Kal?” “Tidak. Kau jombo, kan? Tapi aku senang kalau kau jomblo.” “Hah? Serius?” Penggemar yang kurang ajar, umpatku dalam hati. Apa aku tidak salah dengar? “Iya. Dengan sendirian kau lebih bisa menghasilkan karya yang bagus. Waktumu benar-benar tercurahkan dengan terus menulis sepanjang hari. Aku ini butuh asupan cinta dari novelmu.” Kata Kalea penuh drama. “Kal, kau sangat jujur. Aku rasa aku tidak pernah mendapatkan jodoh gara-gara banyak penggemarku yang tidak ingin aku memiliki pasangan hidup.” Aku cukup miris dengan kejujuran Kalea. “Aku becanda.” Kata Kalea, tapi aku tidak melihat kalau Kalea sedang becanda. Sial, mengapa aku begitu terpengaruh dengan ucapannya tadi. Tolong ingatkan aku, setelah kembali dari tempat ini aku akan menulis cerita yang menyedihkan agar banyak orang mengutukku agar berhenti menulis dan fokus mencari jodoh. “Setiap wanita berhak memilih pasangan hidupnya. Apa yang membuatmu bahagia maka lakukanlah. Selama kau terus menulis.” Kalea mengedipkan sebelah matanya. Dia sedang menggodaku. “Ayo, foto bersama.” Aku mengalihkan pikiran burukku soal jodoh. “Ayo. Aku rapikan rambutku dulu.” Seru Kalea girang. Aku tersenyum prihatin dengan nasibku yang terus-menerus hidup sendiri. Andai jodohku semanis cerita yang biasa aku tuliskan … aku ingin menemukan pangeran berkuda putihku. Seperti Kalea yang menemukan Devan dalam kehidupannya. Mereka hidup bahagia dan sebentar lagi memiliki anak yang pasti akan secantik dan setampan orang tuanya. Tuhan aku kadang iri dengan kehidupan orang lain yang tampak manis. Andai aku bisa merengkuhnya …. *** Sarah memelototiku, aku mengabaikan teleponnya seharian ini. Alasannya karena Kalea. Sarah ini editorku yang paling laknat sedunia. Hanya dia yang dengan tega mencaci-maki tulisanku. Padahal di luar sana banyak orang yang begitu menggemarinya. Padahal aku sudah mengatakan kalau hari ini aku sibuk dengan Kalea. Dia kadang menjadi wanita diktator saat sedang kesal. Aku benci dengan sarah karena memiliki sifat yang sangat labil. Pasti ada masalah dengan kekasihnya sehingga menyeret diriku. Lihat saja, dari membuka pintu sampai duduk di depannya, dia seperti ingin memakanku. Bukannya sebagai editor yang baik bisa berkomunikasi yang baik juga dengan penulisnya? Mungkin kali ini keadaan Sarah sedang tidak baik-baik saja. “Kenapa kau menyebalkan? Pacarku melupakan hari ulang tahunku dan tidak ada ucapan selamat ulang tahun dari penulisku. Aku sangat sedih. Aku seperti manusia yang tidak penting.” Sarah yang kesal langsung menggebrak mejanya penuh drama. “Aaa-ku membawa kue, untuk perayaan ulang tahunmu. Selamat ulang tahun.” Beruntung aku membawa kue dari café tadi. Sebenarnya aku lupa dengan hari ulang tahun Sarah. Ulang tahunku saja aku sering melupakannya. Kebetulan yang menyelamatkanku. Akan sangat berbahaya sekali jika Sarah menjadi bad mood. “Benarkah?” “Hmn, aku seharian menemui Kalea, dia salah satu penggemar fanatikku, tapi aku tidak melupakanmu.” Aku menunjukkan kotak kue dan menyodorkan kepada Sarah. “Selamat ulang tahun, semoga panjang umur.” Kataku penuh dengan ketulusan. “Aku terharu sekali. Poppy, kau teman terbaikku.” Sarah bukannya meraih kotak kue dia malah sesengukan dan memelukku. Apa tidak ada yang memberikan selamat ulang tahun padanya hari ini? Aku hampir saja menjadi penulis yang jahat kepada editornya. “Mau makan malam bersama? Aku traktir.” “Tidak. Aku ingin menyendiri di apartemen. Setelah memakan kue darimu.” Sarah melepaskan pelukannya dan menyeretku ke sofa. Dengan penuh semangat ia membuka kotak kue dan menemukan cake kesukaannya dan dia sangat senang sekali. Sebenarnya mudah membuat Sarah bahagia. Aku penasaran seperti apa kekasihnya sehingga sering membuat Sarah jengkel. Kadang Sarah tidak membicarakan soal detailnya, sehingga aku harus menebak-nebak sendiri. Sial, sekarang Sarah mengabaikanku. Baguslah, paling tidak ia menghentikan kemarahannya untuk sesaat. “Poppy,” Sarah menatapku penuh arti. “Ada apa?” Aku bertanya ragu-ragu. “Alex kembali. Apa kau masih menyukainya?” “Aku sudah melupakannya untuk waktu yang sangat lama.” Aku tersenyum maklum. Sarah tahu bagaimana sejarahku dengan Alexis b*****t Stoner itu. Kami teman sejak sekolah dasar karena memiliki rumah yang hampir berdekatan. Sarah terus mengekor hingga menjadi editor yang paling diandalkan di penerbitan milik sepupunya itu. Aku, Sarah, dan Alex adalah teman bermain sejak kecil. Sarah setahun lebih tua dariku dan Alex dua tahun lebih tua dariku. Sarah sempat tidak naik kelas sekali karena ingin sekelas dengan diriku. “Aku tidak sengaja bertemu kemarin. Dia cukup kaget dengan diriku karena sudah lama sekali kami tidak bertemu. Kau pasti tahu soal itu, Alex pergi di saat kita lulus sekolah menengah dan tahun-tahun berlalu begitu cepat. saat kita sadar sudah banyak hal yang berubah sangat banyak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN