BAB 19. TERKUAK RAHASIA REYNAND

1156 Kata
“TIDAK!” seru Reynand bahkan ia telah Bangun dari tidurnya di atas d**a Kanaya. Ia mengungkung Kanaya di bawahnya. Ditatapnya dengan tajam mata Kanaya yang sayu. “Sampai kapanpun aku nggak akan pernah meminta dirimu untuk pergi dari hidupku. Terlepas dari apapun masalah yang nantinya akan kita hadapi kedepannya” Tegas Reynand dengan wajah menahan emosi. Kanaya menghela napasnya. “Baiklah. Jadi, katakan apa masalahmu sebenarnya?” tantang Kanaya seraya menatap dalam dan serius wajah terkejut Rey. Reynand berniat pergi dari atas tubuh Kanaya. Namun, Kanaya malah menahannya dengan mengalungkan kedua tangannya erat-erat ke leher Rey. Membuat pria tersebut tak bisa bergerak. “Lepas, Na!” perintahnya tegas. Kanaya menggeleng kuat. “Nggak! Sampai kamu jelaskan semuanya kepadaku. Apa kamu nggak percaya sama sekali padaku? Kamu nggak percaya sama cintaku? Kamu...mmhhmmp..” Rey yang tak ingin lagi mendengar kata-kata Kanaya yang tengah kesal kepadanya. Rey membungkam bibir cerewet Kanaya dengan ciumannya yang sedikit kasar. Rey seakan meluapkan rasa sakitnya dalam ciumannya yang nampak penuh tuntutan dan kasar. Rey meraup bibir Kanaya rakus. Seolah-olah ia juga sangat kehausan. Haus akan kasih sayang. Serta sangat merindukan wanita yang kini terkejut atas serangannya. Namun tak lama pun membalas setiap lumatannya. Ciuman yang tadinya hanya ingin membungkam bibir Kanaya. Kini berubah makin panas. Di sertai dengan tangan nakal Rey yang menyelinap masuk ke dalam piyama Kanaya. Mencari sesuatu yang begitu lembut dan sangat pas dalam tangkupan telapak tangannya. Sementara tangannya yang lain telah lebih dulu menjelajahi kemolekan tubuh Kanaya hingga bagian pahanya. Ciuman Rey terus turun. Dari bibir ke dagu. Menyusuri garis rahang Kanaya. Lalu mengecupi cuping telinga Kanaya yang menggoda. Dengan sedikit gigitan-gigitan kecilnya. Mampu membuat Snag wanita mendesah nikmat. “Ahh...” desahan yang terdengar begitu seksi di pendengaran Rey. Hal tersebut sontak semakin memacu birahinya. Hingga akhirnya, Rey menghentikan aktivitasnya mencumbui Kanaya. Rey teringat akan janjinya pada Kanaya agar tak berbuat lebih. Perlahan Rey bangkit dan duduk di sisi ranjang memunggungi Kanaya. Mengacak kasar rambutnya dan berdecak kesal. Selalu saja ia lepas kendali saat bersama Kanaya. Sepertinya akan sangat sulit baginya untuk tidak menyentuh Kanaya lebih lagi. Sementara Kanaya yang melihat Rey perlahan bangkit dari atas tubuhnya. Merasakan kehilangan. Terlebih lagi ada sesuatu yang terasa belum tuntas. Namun terpaksa dihentikan. Kanaya menghela napasnya. Ya, setidaknya ia harus bersyukur saat ini karena Rey mau menepati janjinya. Walaupun ia juga tak menampik sentuhan Rey tersebut memang membuatnya melayang-layang. Kanaya memeluk tubuh kekar Rey dari belakang. Menyandarkan kepalanya di bahu lebar Reynand. Terdengar helaan napas beratnya sang pria. “Ma...” “Sstt...jangan minta maaf. Aku juga salah. Karena terlalu menikmatinya juga. Sudahlah. Itu bukan salahmu. Aku juga salah karena tak bisa mencegahnya.” Potong Kanaya sembari mengusap d**a bidang Rey. “Sayang! Jangan begini! Bukannya 'turun' malah makin 'tegang' kan!” omelnya sambil menangkap tangan nakal Kanaya yang bergerilya di dadanya. Membuat 'adiknya’ semakin 'keras' dibawah sana. Kanaya hanya terkekeh kecil. “Baiklah. Back to topic.” “Apa kamu janji nggak akan pergi kalau kamu tahu yang sebenarnya? Aku hanya takut kamu marah dan pergi meninggalkanku. Aku...” “Ssst...” potong Kanaya yang membungkam mulut Rey dengan telapak tangannya. “Trust me my big baby.” Jawabnya seraya menurunkan tangannya dan memeluk perut berotot Reynand. Helaan napasnya yang panjang terdengar putus asa di telinga Kanaya. Apa setakut itu kamu? Sampai lebih memilih untuk menyimpannya sendiri. Benak Kanaya bertanya-tanya. “Apa yang dilihat oleh semua orang tentang kehidupan keluargaku tidaklah benar. Keluargaku tak sebaik dan seharmonis itu sebenarnya. Dan itu berlangsung sejak aku kecil. Hingga sekarang. Bahkan kematian Nenek pun tak membuat kedua orang tuaku berubah.” Suara Rey nampak pelan dan berat. Terdengar kesedihan di dalam nada bicaranya. “Dirumah, Papa dan Mama memiliki kesibukannya sendiri-sendiri. Seakan mereka berdua punya dunianya sendiri. Mereka sama sekali tidak pernah berbuat selayaknya orang tua pada umumnya. Semua kebutuhanku diserahkan begitu saja pada asisten rumah tangga. Bahkan mengambil raport pun, aku meminta tukang kebun yang mengambilnya.” Kanaya terdiam. Mendengarkan setiap kata yang terucap dari bibir Reynand. Kanaya bisa merasakan kepedihan dalam setiap kalimatnya. “Nenek yang waktu itu tinggal sendiri karena Kakek telah meninggal pun akhirnya tinggal di rumahku. Semenjak kedatangan Nenek. Aku tak lagi merasa kesepian dan sendirian. Aku merasa mempunyai seorang keluarga yang nyatanya masih peduli dan menyayangiku. Sebab dulunya, aku selalu merasa sendirian. Dan serasa tak di inginkan kehadirannya di dunia ini.” “Nenek membimbingku dan mengajariku banyak hal. Pelajaran yang semestinya di ajarkan oleh Papa dan Mama. Tapi nenek yang dengan sabar mengajariku tentang arti kehidupan dan bagaimana caranya bersikap baik kepada orang lain. Serta bagaimana menghargai orang lain.” “Kala itu, aku selalu berpikir bahwa selama ada nenek di sisiku aku tak lagi butuh Siapapun. Termasuk orang tuaku sendiri. Namun, ternyata takdir tak berpihak kepada keinginanku. Nenek sakit dan harus segera dibawa ke rumah sakit.” “Tapi karena waktu itu tidak ada sama sekali orang dirumah. Dan mobil pun dipakai semua. Aku meminta bantuan Mang Ujang. Tukang kebun yang sejak aku kecil selalu merawatku dan memberikan banyak pelajaran hidup untukku. Kami berdua membawa nenek dengan menggunakan taksi.” “Sesampainya di rumah sakit. Nenek tak bisa mendapatkan penanganan karena aku dan Mang Ujang Waktu tidak memegang uang sepeserpun. Aku mencoba menghubungi papa dan mamaku. Yang sialnya lagi tak menjawab sama sekali panggilanku.” “Aku yang hanya anak SMA Waktu jelas saja takut dan bingung. Akhirnya, aku pulang dan mengambil perhiasan mama untuk biaya berobat nenek. Namun, sayang sekali...nenek tak tertolong lagi karena terlambat diperiksa.” “Saat itu...aku...aku merasa menjadi seorang laki-laki yang tidak berguna sama sekali. Aku telah kehilangan satu-satunya wanita yang menyayangiku dan selalu setia menemaniku dirumah. Wanita yang mengajarkanku banyak hal. Juga wanita yang selalu menasehatiku bahwa aku tidak boleh sama sekali membenci orang tuaku.” “Dan sejak itu. Aku benci pernikahan. Karena apa? Karena menurutku tak ada gunanya menikah. Jika bahkan merawat dan menyayangi anak saja mereka tidak bisa. Buat apa menikah? Itu hanya akan menjadi beban bagi anak yang hanya akan dijadikan bonekanya. Anak yang mereka jadikan simbol bahwa mereka adalah sepasang suami istri yang berhasil dalam mendidik anaknya. Dan menuntut sang anak untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Tanpa pernah sekalipun peduli akan Perasaannya.” “Ya, bagiku pernikahan hanya penjara yang tak kasat mata. Karena disini anaklah yang akan selalu menjadi korban ke egoisan orang tuanya.” “Aku tahu apa impianmu sejak kecil. Kau ingin punya sebuah keluarga bahagia bukan? Karena kau tak bisa merasakannya sendiri. Makanya kau ingin menciptakannya. Tapi maaf! Aku tidak bisa mengabulkan keinginanmu. Jika kau memintaku untuk menikahimu.” Reynand tertunduk dalam. Akhirnya, semuanya telah ia sampaikan kepada Kanaya. Rey telah pasrah atas apapun keputusan Kanaya kedepannya. Karena memang Rey tak bisa menjanjikan sebuah pernikahan impian Kanaya. Bagi Reynand, ia hanya tak ingin melihat lagi anak-anak yang terlantar akibat perbuatan orang tuanya. Cukup hanya dia saja. Mungkin terdengar tak masuk akal. Hanya saja, ia begitu takut jika seandainya ia menikah dan nantinya akan menyakiti anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN