BAB 18. KECEWA KEMBALI

1331 Kata
Kanaya hanya menatap nanar kepergian Reynand yang nampak terburu-buru tersebut. Ia juga penasaran apa yang membuat Rey berlari begitu saja. Bahkan tak menyapanya Seperti biasanya. Helaan napasnya terasa berat. Kanaya memilih menopang dagunya dengan sebelah tangannya dan memandang ke arah jendela di sebelahnya. Mengamati suasana sore hari di kota padat penduduk Seperti Jakarta saat ini. “Apa ada sebegitu urgent urusannya? Sampai dia mengacuhkan aku lagi. Apa salahku sebenarnya? Kenapa dia berubah?” Keluh Kanaya lirih. Tak ingin terlalu memikirkannya. Kanaya memilih untuk segera menyelesaikan pekerjaannya dan pulang ke apartemennya. Ia sangat ingin mandi dan tidur. Seharian ini, membuatnya sangat lelah. Lelah tubuh dan juga hatinya. *** Sementara di tempat berbeda. Rey telah sampai di depan sebuah rumah mewah milik orang tuanya. Rumah yang juga menjadi saksi bisu akan sejarah kehidupannya yang menurut Reynand sangatlah buruk dan menyakitkan. Helaan napasnya terdengar sangat berat. Ya, berat memang bagi Reynand untuk bisa kembali menginjakkan kakinya lagi dirumah ini. Rumah yang banyak menyimpan kenangan indah bersama Neneknya. Akan tetapi juga menyimpan kenangan terburuknya. Reynand hanya tak ingin orang tuanya itu mengetahui hubungannya dengan Kanaya. Sebab Rey tahu seperti apa dan bagaimana respon yang akan diberikan oleh orang tuanya. Saat tahu hubungannya dengan Kanaya. Rey hanya tak ingin orang tuanya mengusik Kanaya. Karena Kanaya tak tahu bagaimana kondisi keluarganya yang kata orang adalah keluarga yang harmonis. Setelah cukup lama berkutat dengan pikirannya. Reynand segera menekan bel. Dan tak lama pintu gerbang nan tinggi dan kokoh tersebut terbuka secara perlahan. Seorang satpam menyapanya dengan wajah terkejut. Pasalnya, Rey memang telah sangat lama tak lagi menginjakkan kakinya kembali di rumah orang tuanya. Semenjak kematian Sang Nenek. Kurang lebih satu tahun yang lalu. Dan malam ini. Satpam yang berjaga dirumahnya, melihatnya datang dengan wajah datarnya. Seakan membawa atmosfer yang tak nyaman bagi siapa pun yang melihatnya. Rey segera memacu mobilnya untuk masuk ke halaman rumah. Dan segera turun, lalu berjalan perlahan menuju ke pintu utama. Tepat saat ia akan menyentuh gagang pintu. Pintunya telah lebih dulu terbuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik dan menawan. Meskipun usianya telah setengah abad. “Tama, kamu Akhirnya kamu pulang juga. Mama kangen sama kamu!” seru Mama senang mendapati anak lelakinya nampak gagah dan tampan sedang berdiri di hadapannya. Kedua tangannya ingin memeluk Reynand. Namun, Rey malah menghindar. Dengan kedua tangannya yang ia masukkan kedalam saku celananya. Terlihat enggan menanggapi sambutan Mamanya. “Sudahlah! Nggak usah pura-pura sok baik. Seakan-akan seorang Ibu yang menyambut anaknya yang baru saja datang dan lama tak bertemu.” Ujarnya ketus dan melenggang pergi. Melewati begitu saja, tubuh Mamanya yang mematung ditempatnya. Rey berjalan dengan angkuh dan duduk di sofa ruang tamu. Tak lama seorang pelayan mengantarkan minumannya. Papanya pun datang tak lama setelah Mamanya memanggilnya di ruang tengah. “Kenapa duduk disini? Papa kita kamu akan duduk di ruang tengah.” Sapa Papanya lalu duduk di hadapan Rey yang nampak acuh dan fokus pada ponselnya. Membaca email yang dikirimkan oleh asistennya. “Rey, Papamu bicara.” Tegur mamanya. Karena Rey sama sekali tak menyahut ataupun menoleh saat kedatangan Papanya. Papa dan Mamanya saling pandang. Kemudian Mamanya mengangguk. “Rey, mau sampai kapan kamu akan memusuhi kami? Kami adalah orang tuamu dan kamu adalah anak semata wayang kami.” Ungkap Papanya. Rey mendongak dan menarik sudut bibirnya sebelah. Tersenyum seolah mengejek. “Jadi, apa yang sebenarnya mau kalian katakan? Lebih baik cepat. Karena aku sedang sibuk.” Jawabnya datar seraya menyimpan ponselnya di saku celananya. “Papa ingin keluarga kita kembali seperti dulu. Pulanglah kesini. Jangan tinggal di apartemen. Karena disinilah rumahmu.” Ujar Papanya. Rey mendecih sinis. “Kenapa? Bukannya selama ini kalian terlihat biasa saja tanpa keberadanku? Bahkan tampak tak peduli padaku. Lalu kenapa sekarang kalian seperti ini? Apa yang sebenarnya kalian inginkan?” “Apa maksud ucapanmu? Apa salah seorang Ayah meminta anaknya pulang? Apa kamu tahu? Seperti apa tanggapan kolega papa karena tidak pernah melihat kita bersama dalam satu acara? Bukankah itu akan membuat keluarga kita tidak terlihat harmonis di depan orang lain?” Papanya terlihat sangat marah dan tersinggung atas kata-kata Rey. Rey hanya tertawa kecil. Bibirnya memang tertawa, namun tidak dengan sorot matanya. Sorot matanya terlihat begitu terluka dan kecewa. Selalu seperti ini. Orang tuanya sangat menjunjung tinggi apapun pendapat orang lain tentang keluarganya. Tanpa tahu apakah itu baik atau buruk bagi keluarganya. “Jadi benar bukan? Kebaikan kalian padaku hanya karena ingin dilihat orang lain sebagai orang tua yang sangat menyayangi anaknya? Kalian malu karena aku tidak pernah hadir dalam semua acara yang juga mengundang kalian?” tukasnya pelan dengan mata yang menatap Papa dan Mamanya sendu. “Sebenarnya apa artinya aku bagi kalian? Apa aku hanya sebagai simbol keberhasilan kalian dalam mendidik anak?” Setelah mengatakan itu. Rey segera keluar dari rumah dan masuk kedalam mobilnya. Hanya ada satu tempat yang saat ini sangat ingin ia tuju. Tempat dimana ia bisa menemukan kenyamanan dan kehangatan pelukan seorang wanita yang dicintainya. Ya, hanya Kanaya yang paling ia butuhkan saat ini. Sesampainya di apartemen Kanaya. Rey yang memang tahu pasword apartemennya secepatnya masuk dan mencari keberadaan kekasihnya itu. Tujuan Rey langsung saja ke kamar tidur. Ia yakin sekali jika Kanaya telah tertidur. Sebab, ini memang sudah pukul sebelas malam. CEKLEK Derit pintu terbuka perlahan. Terlihat oleh Rey, sesosok tubuh mungil Kanaya yang tengah tertidur telentang dengan piyama tidurnya yang bergambar kartun katak tersebut. Rey melepaskan jas, dasi juga kemejanya. Tak lupa pula ia melepaskan celananya. Hanya menyisakan boxernya saja. Rey langsung saja masuk ke dalam selimut Kanaya dan memeluk tubuh Kanaya dari belakang dengan erat. Wajahnya ia benamkan di punggung Kanaya. Perlahan, isakan tangisnya mulai terdengar pilu. Tubuh kekar tersebut nampak bergetar hebat bersamaan dengan isakan tangisnya. Kanaya yabg yang merasa mendengar suara tangisan seseorang. Pun mulai membuka matanya. Lalu tubuhnya membeku. Merasakan ada lengan kokoh seseorang yang ia rindukan sejak beberapa hari yang lalu. Kini tengah memeluknya dari belakang dengan erat. Bahkan pria itu...menangis? Kanaya merasakan punggungnya terasa basah. Ia yakin jika kekasihnya ini sedang menangis. Tapi yang menjadi pertanyaannya adalah apa penyebabnya? “Rey?” panggil Kanaya pelan. Sambil tangannya mengusap lengan Rey di perutnya. Tak ada sahutan dari Reynand. Pria tersebut masih tetap terisak. Perlahan, Kanaya membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arah Reynand. Ditangkupnya wajah Reynand yang telah basah oleh air mata dengan kedua tangannya yang mungil. “Hei! Ada apa? Kenapa menangis, Hm?” tanya Kanaya selembut mungkin. “Aku kangen kamu!” tiga kata. Hanya tiga kata itu yang menjadi jawaban Rey atas pertanyaan Kanaya. Dahi Kanaya bertaut sempurna dengan mata seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Reynand. “Kangen? Sampai menangis seperti ini? Dan malam-malam begini nyamperin aku? Are you serious? it's not funny at all.” Cibir Kanaya. “Terserah. Aku hanya ingin memelukmu. Itu saja.” Sahut Reynand ketus. Kanaya terkejut melihat Reynand yang langsung memeluknya lagi. Bahkan wajahnya ia benamkan ke d**a Kanaya. Mencari kenyamanan serta kehangatan dari tubuh wanita yang dicintainya ini. Berusaha untuk melupakan sejenak rasa kecewa akan orang tuanya yang tidak pernah berubah. Tangan Reynand menarik telapak tangan Kanaya agar mengusap kepalanya. Benar-benar manja. Layaknya seorang bocah yang minta di peluk oleh ibunya saat akan tidur. “Elus sayang!” Rengeknya manja. Membuat Kanaya hanya mendengus kesal sekaligus terkekeh geli. Dengan lembut Kanaya mengusap puncak kepalanya. Sementara tangan satunya mengusap punggung tegap Sang kekasih. “Katakan padaku. Ada apa sebenarnya? Aku nggak percaya jika hanya gara-gara merindukanku kau sampai kemari sambil menangis. Aku tidak akan pergi meninggalkanmu. Meskipun aku tahu hal yang kau sembunyikan dariku. Ceritakanlah padaku. Percayalah padaku, Rey! Aku akan selalu disini. Di sisimu. Aku akan pergi jika memang kau yang memintanya.” Tutur Kanaya pelan dan lembut. “TIDAK!” seru Reynand bahkan ia telah Bangun dari tidurnya. Ia mengungkung Kanaya di bawahnya. Ditatapnya tajam mata Kanaya yang sendu. “Sampai kapanpun aku nggak akan pernah meminta dirimu untuk pergi dari hidupku. Apapun masalah yang nantinya akan kita hadapi kedepannya” Tegas Reynand dengan wajah menahan emosi. Kanaya menghela napasnya. “Baiklah. Jadi, katakan apa masalahmu sebenarnya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN