BAB 17. MENGHINDAR

1084 Kata
Sepulangnya dari danau. Rey nampaknya terlihat biasa saja. Ia benar-benar bisa terlihat baik-baik saja. Seolah apa yang terjadi kemarin adalah angin lalu.      Sore harinya, Kanaya dan Reynand berpamitan kepada semua penghuni panti. Sebab mereka berdua harus kembali ke kota. Karena hari Senin esok, Reynand ada sebuah meeting penting. Dan tentunya banyak hal yang harus ia persiapkan. Maka dari itu, ia harus secepatnya pulang ke apartemennya dan mengerjakan beberapa hal yang masih kurang.     Selama perjalanan menuju ke kota. Reynand sama sekali tak berbicara banyak. Ia hanya bertanya sesekali pada Kanaya. Apakah ingin berhenti sejenak untuk makan atau tidak? Selebihnya, hanya suara radio yang terdengar di dalam mobil.     Kanaya pun sepertinya enggan untuk bicara banyak. Ia sadar, jika kondisi Rey sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, pria tersebut memilih untuk menyembunyikannya ketimbang bercerita kepadanya. Lebih memilih menahannya seorang diri. Daripada membebani pikiran sang kekasih.     Sesampainya di depan apartemen Kanaya. Rey hanya mengecup keningnya sebentar. Lalu pamit pulang ke apartemennya. Tak ada kata perpisahan yang manis seperti biasanya.      Kali ini, Kanaya akan memilih untuk diam dan melihatnya. Sampai sejauh mana Rey bisa bertahan dalam keadaan seperti ini. Karena ia pun tak bisa membantu banyak hal. Hanya dukungan semangat yang bisa ia sampaikan. Toh, kenyataannya Kanaya memang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rey.      Seperti apa yang bunda katakan kemarin. “Percayalah kepadanya. Bunda yakin dia sedang berusaha untuk bisa berbagi hal yang paling pahit dalam hidupnya padamu. Hanya saja mungkin ia terlalu takut akan seperti apa respon yang akan kau berikan. Jika tahu semuanya. Maka dari itu, ia tengah menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya kepadamu. Bersabarlah dan tetap hibur dia.”      Kanaya menghela nafas panjang. Ya, tak ada cara lain. Selain menunggu dan bersabar. Serta tetap berada disisinya. Meyakinkan dirinya, bahwa ia juga ingin Rey bisa mempercayainya dan mau berbagi masalahnya kepadanya. Setidaknya, Kanaya ingin sedikit berguna untuk Rey.      ***    Keadaan yang terjadi di kantor. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Rey yang sibuk dengan pekerjaannya. Dan Kanaya yang masih mencoba untuk bersabar dalam menghadapi Rey yang semakin hari malah terlihat menghindar darinya.      Terbukti dari, Rey yang tak lagi mengajaknya untuk menemaninya ke berbagai pertemuan dengan para klien. Karena Rey lebih memilih untuk ditemani asistennya. Kanaya hanya ia tugaskan untuk bekerja di perusahaan. Dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya. Bahkan keduanya juga tak pernah lagi bisa berduaan. Meski hanya sekedar makan siang atau makan malam bersama.      Entahlah, Rey malah semakin nampak menjaga jarak dengannya. Kanaya juga bingung akan bos besarnya tersebut. Namun kembali lagi. Ia harus bisa mengerti akan keinginan Rey. Dan berharap agar masalah ini tak berlarut-larut terlalu lama. Sebab ia sangat merindukan sosok pria yang dicintainya itu.     ***     Rey mengamati wajah seseorang dari balik kaca ruangannya. Wajah cantik yang sangat ia rindukan. Entahlah. Ia sendiri pun bingung dengan sikapnya. Ia terlalu takut, jika sampai ia kelepasan bicara pada Kanaya. Akan seperti apa dirinya, jika sampai Kanaya tahu yang sebenarnya dalam hidupnya. Rey belum sanggup jika Kanaya pergi dari hidupnya.     Rey hanya belum siap untuk menerima kekecewaan Kanaya. Akan tetapi, sikapnya malah semakin membuat sang wanita nampak sedih. Bagaimana tidak. Sangat terlihat jelas, jika Rey memang sengaja menghindar darinya.      Hanya ini yang sementara bisa ia lakukan. Mengamati segala gerak-gerik Kanaya dari dalam ruangannya. Bagaimana ia memberengut lucu. Bagaimana ia tersenyum dan tertawa bersama teman-temannya. Dering ponselnya membuyarkan lamunannya. Rey segera menjawab panggilan yang ternyata berasal dari Mamanya.      “Ya, Ma? Ada apa?” tanya Rey pada wanita yang telah melahirkannya itu. Tapi tatapan matanya masih tetap terfokus pada Kanaya. Tak berniat sedikit pun untuk mengalihkannya.      “Nanti malam pulanglah kerumah. Kita makan malam bersama. Sudah lama sekali bukan kita tidak makan malam bersama. Kamu bisa kan? Kosongkan jadwalmu yah, Nak?” pinta Mamanya lembut.    “Tumben sekali Mama ingat kalau kita memang sudah sangat lama tidak pernah lagi makan bersama. Apa Mama dan Papa tidak sibuk malam ini? Atau ada hal penting yang pastinya ingin kalian bicarakan. Hingga memintaku untuk pulang.” Jawab Rey dengan senyum mengejeknya serta nada sinisnya.      Ya, Seperti inilah hubungan keluarga Reynand. Keluarga yang nampak sangat bahagia jika dipandang dari luar. Namun, buruk yang sebenarnya.      Keluarga yang seharusnya saling menguatkan jika ada masalah. Atau saling memperhatikan satu sama lain. Namun yang terjadi. Hanya berisi orang-orang yang seakan sibuk dengan dunianya masing-masing.     DEG.   Sebagai seorang Ibu. Tentunya Mama Rey bisa merasakan apa yang tersirat dari setiap perkataan anaknya. Dan ia tak mau ambil pusing akan aksi protes dari Reynand. Seperti biasa, Mama Reynand akan menganggap hal itu hanya karena Rey merindukan orang tuanya. Ya, hanya itu yang selalu dipikirkannya. Tanpa tahu kecewanya Rey pada kedua orang tuanya saat Sang Nenek menghembuskan nafas terakhirnya.      “Mama tidak mau tahu. Saat makan malam kamu harus sudah ada dirumah. Mama dan Papa hanya ingin makan malam bersama denganmu. Apakah orang tua harus punya alasan lebih dulu jika ingin makan bersama anaknya? Jangan sampai terlambat. Mama tunggu, Tama!” panggilannya diputuskan sepihak oleh Mamanya. Sedangkan Reynand masih membeku di kursinya.     DEG.    Jantung Rey berdenyut hebat. Satu kata terakhir itu. Satu kata yang bahkan sudah sangat lama tak pernah ia dengar lagi.      “TAMA” adalah nama kecil Reynand. Ia dulu sangat menyukai jika orang tua dan Neneknya memanggilnya dengan nama itu.      Hanya saja, semenjak kematian Sang Nenek. Rey seakan membenci nama yang akan selalu mengingatkan dirinya akan kekecewaannya terhadap kedua orang tuanya. Maka dari itu, tak lagi ia ijinkan orang tuanya memanggilnya dengan nama pemberian Sang Nenek Tersebut.      Bagi Reynand, Nama itu hanya boleh Neneknya saja yang memanggilnya dengan nama itu. Dan tak boleh ada orang lainnya yang memanggilnya dengan sebutan itu.     Helaan napasnya yang panjang. Nyatanya membuat asisten sekaligus sepupunya itu juga ikut menghela napasnya.     “Sudahlah! Lebih baik kamu datang saja. Aku tahu kamu juga merindukan kebersamaan dengan orang tuamu bukan? Jangan gengsi untuk mengakuinya. Siapa tahu jika mereka merasa menyesal selama ini. Dan satu lagi. Jangan buat anak gadis orang sedih Seperti itu karena dihindari oleh pacarnya yang pengecut ini.” Saran Rico pelan. Lalu melenggang pergi setelah menyerahkan dokumen yang tadi dibutuhkan oleh Reynand.      Reynand menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi kebesarannya. Memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Memikirkan apa yang dikatakan oleh Rico barusan.      Rey hanya menggeleng sembari tersenyum mengejek. Seolah tak percaya jika orang tuanya akan sadar secepat ini.      Ia sangat tahu bagaimana orang tuanya itu. Pastilah ada hal penting yang memang harus dibicarakan dengannya. Dan untuk tahu hal apakah itu, maka mau tidak mau Reynand harus pulang kerumahnya malam ini.     Rey segera membereskan mejanya. Lalu mengambil kunci mobilnya dan menyambar jasnya. Ia segera pergi dari ruangannya. Mengabaikan tatapan bertanya-tanya dari Kanaya.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN