Arkan memainkan ponselnya dengan serius, beda hal nya dengan Zara yang kini tengah mencari obat untuk adiknya. Suara gemerisik membuat Arkan mengernyitkan alisnya kemudian melihat ke arah sumber suara.
"Ngapain sih kak?" Tanya Arkan kala melihat Zara tengah berusaha menggapai obat yang berada di bagian paling atas.
"Ambil obat lah, tuh disana tuh!" Ucap nya seraya menunjuk obat paracetamol yang tersedia. Arkan bangkit dari tiduran nya dan mematikan ponsel yang sedari tadi ia mainkan kemudian mendekat pada Zara.
"Tumbuh tuh ke atas, bukan ke samping."
"Apa? Maksud lo gue gendut gitu?"
"Hahahah, tau aja, nih pipi sebentar lagi melar loh." Jahil nya seraya mencubit kedua pipi Zara dengan keras membuat kakak kesayangannya itu menjerit kesakitan.
"Arkannnn!!! Sakit!" Bukan melepas, Arkan semakin menguatkan cubitan nya membuat Zara akhirnya ikut mencubit kedua pipi Arkan.
"Ahhh! Zara! Gila cubitan lo sakit banget!"
"Panggil apa?"
"Zara!"
"Ihhh... kok makin ngeselin sih lo!" Zara pun menendang tulang kering kaki Arkan membuat adiknya itu meringis kesakitan.
"Rasain lo!" Setelah mengucapkan itu, Zara pun pergi meninggalkan Arkan yang kini tengah mengelus kakinya karena terasa nyut-nyutan akibat tendangan maut Zara.
Mereka bahkan tidak menyadari bahwa tiga pasang mata yang sedari tadi mengintip di jendela UKS melihat bagaimana interaksi keduanya yang teramat intim itu.
Dalam pandangan mereka, aksi cubit-cubitan mereka seperti tengah melakukan kissing. Bagaimana shock nya mereka langsung saling pukul bahkan saling injak karena merasa tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Ini gila!" Ucap Zio seraya menggelengkan kepalanya dengan mulut terbuka lebar.
"Sumpah! Si Arkan ganas banget."
"Gue no comment!" Hega berkata seraya membenarkan letak kacamatanya.
"Keluar tuh!"
"Marah gitu si Zara. Masuk! masuk!"
Mereka langsung menyerbu Arkan yang kini masih terlihat meringis kesakitan. "Mampus lo! m***m sih jadi cowok."
"...."
"Gila lo Kan! Lo begitu di UKS sekolah."
"Apaan sih?" tanya Arkan tak mengerti akan apa yang para sahabatnya ucapkan.
"Lo—" ucapan Hega tiba-tiba terhenti kala seseorang memanggil si terdakwa.
"Arkan!" Semuanya menatap ke arah sumber suara. Dan itu adalah Zara.
"Kenapa sayang?" senyum merekah dikedua sudut bibirnya.
"Kata bu Wati, kamu di panggil kepala sekolah."
"Hah? Emangnya ada apaan yang?"
"Gatau, cepetan."
"Iya sayang, sabar dong...." Seolah terselamatkan dari maut, Arkan langsung berlari meninggalkan sahabatnya yang masih penasaran dengan tingkah Arkan sebelumnya.
Saat Arkan keluar, ia melihat Zara yang tengah jalan menuju ke arah lift. Arkan langsung mensejajarkan langkahnya dengan cepat, tangan bebas itu langsung mengacak gemas rambut Zara membuat sang empunya merasa kesal.
"Arkan!!!"
Yang di teriaki langsung berlari seraya berbalik menjulurkan lidahnya mengejek Zara. Seolah mendapat penghinaan untuk yang kedua kalinya, akhirnya Zara mengejar Arkan.
Namun sayang seribu sayang, pintu lift langsung tertutup membuat Zara kehilangan kesempatan untuk membalas perbuatan Arkan.
"Awas! liat aja nanti." Gumamnya begitu pelan dengan mata tajam menatap pergantian angka pada monitor lift.
~~~~~
Arkan telah sampai di ruang kepala sekolah yang ternyata sedang menerima tamu. Akhirnya ia hanya duduk di kursi luar yang telah tersedia agar tak mengganggu.
Tiba-tiba, Kepala sekolah keluar memanggilnya dan menyuruh Arkan untuk masuk. Dengan tanpa pikir panjang pun, akhirnya ia masuk dan sedikit membungkuk untuk menghormati tamu yang kini tengah duduk di sofa.
"Arkan, silahkan duduk." Ujar pak kepala sekolah seraya mempersilahkan Arkan untuk duduk di sofa yang sama dengan tamu itu.
"Terima kasih, Pak."
"Arkan, kamu pasti bingung kan, kenapa kamu di panggil ke ruangan bapak?"
"Iya, Pak."
"Baik, jadi begini. Ini undangan beserta formulir perlombaan cerdas cermat antar sekolah. Bapak tau kamu adalah siswa yang cerdas. Materi yang di lomba kan pun hanya materi kelas sepuluh saja. Bagaimana? Apakah kamu bersedia mengikuti perlombaan nya?"
"Perlombaan nya di adakan di sekolah mana pak?"
"Sekolah Antariksa. Dan perkenalkan, ini adalah Kepala sekolah Antariksa, Pak Jonathan."
"Selamat siang Pak, saya Arkan." Ucapnya seraya mengulurkan tangan dan sedikit membungkuk untuk memperkenalkan diri.
"Siang Arkan, tapi... wajah kamu seperti tak asing di penglihatan saya." Pak Jo memiringkan sedikit kepalanya untuk mengamati wajah Arkan.
"Mohon maaf Pak, tapi kita baru bertemu kali ini."
"Ah iya, mungkin saya yang salah lihat."
Akhirnya, Arkan pun membaca undangan itu dengan seksama. Ada pula formulir yang telah terlampir siap untuk di isi.
"Jadi bagaimana Arkan? Apakah kamu bersedia?"
"Ini untuk dua orang, siapa yang akan jadi partner saya Pak?"
"Partner kamu adalah Fiona dari kelas IPA 2, dan dia sudah setuju serta mengisi formulir pendaftarannya."
"Baik, saya akan ikut perlombaan ini."
"Bagus. Memang itu yang bapak harapkan."
"Jangan sampai kamu menyesal Jo kalau sekolahku nanti yang akan menang." Sambung Pak Kepala sekolah berbicara pada Pak Jonathan dengan sedikit tawa di bibirnya.
"Hahaha... itu hanya jadi anganmu saja. Kita lihat saja nanti, sekolah mana yang lebih unggul."
Selama 30 menit, Arkan tertahan di ruang kepala sekolah untuk membahas perihal perlombaan. Saat selesai, ia pun dengan cepat bergegas menuju kelasnya.
Ketukan pintu membuat kelas yang sedari tadi terfokus pada pelajaran, kini menatap ke arah sumber suara.
"Selamat siang bu, maaf saya terlambat, saya baru kembali dari ruang kepala sekolah." Ucapnya dengan sopan namun tetap berwajah datar tanpa ekspresi.
"Gapapa Arkan, silahkan duduk."
Mendapat izin, akhirnya Arkan duduk dengan tenang di kursinya. Namun, tatap mata dari tiga arah membuat Arkan sedikit risih kala menyadarinya.
Ya, para sahabatnya yang kini tengah menatap Arkan dengan tajam. Tapi ternyata, itu tidaklah mempan. Hanya mata keluarganya lah yang mampu membuatnya ketakutan.
~~~~~
Tak terasa, waktu pulang telah tiba. Arkan membereskan bukunya dengan gerakan cepat. Ia tak ingin membuat Zara menunggu terlalu lama. Saat ia keluar kelas dan hendak berbelok, tiba-tiba seseorang mencekal tangannya membuat Arkan menatap siapa sosok yang berani menyentuhnya ini.
Tak ada suara, namun bisa di pastikan bahwa wajah Arkan kini tengah menatap tajam gadis di hadapannya saat ini. Arkan pun mengangkat tangannya dengan cepat untuk melepas pegangan itu.
"Emm... Ar– Arkan, aku Fiona."
"Apa?"
"Emm... "
"...."
"Emm... a- aku, ma—"
"Kok lama sih?" Bukan Arkan maupun Fiona. Tapi Zara yang baru saja datang tanpa menyadari ada sosok lain selain Arkan.
"Sorry sweetie."
"Ihhh... geli. Ay– eh?" Zara menatap Arkan penuh tanya. Namun Arkan hanya mengedik kan bahunya tanda tak tau.
"Jadi?" Tanya Arkan lagi dengan tangan yang kini tengah bertengger di bahu Zara. Fiona yang melihat itu langsung memerah. Entah malu atau kesal?
"Nanti aja." Dengan cepat ia berlari meninggalkan keduanya. Zara dan Arkan saling bertatapan kemudian Arkan mencium kening Zara dengan cepat.
"Gimana hari pertama sekolah di AIS?"
"Seru, dan banyak tantangan?"
"Tantangan? tantangan apa?"
"Hmmm... nanti juga tau sendiri. Yuk kita pulang." Ajak Zara seraya merangkul kan lengannya pada pinggang Arkan. Sedangkan tangan satunya lagi untuk memegang skateboard kesayangannya.
Semua interaksi mereka membuat berita semakin panas di forum gosip siswa AIS. Semua membicarakan keduanya. Fans dan haters langsung mencul ke permukaan.
~~~~~