3. Undangan Makan Malam

1024 Kata
“Kenapa lama sekali?” Pertanyaan itulah yang keluar dari belah bibir Deva manakala ia melihat Acha berjalan mendekat. Di depan sana, Acha melangkahkan kakinya dengan riang. Semburan lengkungan senyum manis turut hadir di parasnya yang tak kalah manis. “Sudah aku katakan kalau aku harus piket terlebih dahulu,” jawab Acha begitu sampai di depan Deva. “Apa aku membuatmu menunggu terlalu lama?” Deva menghela napasnya kecil lalu segera menyerahkan helm pada Acha. “Cepat naik. Di sini sangat panas,” beritahu Deva. Acha seketika menyadari kalau pelipis Deva berkeringat tipis. Area parkiran sekolah memang cenderung panas terlebih di hari yang terik seperti sekarang ini. “Mn. Apa kita langsung pulang?” tanya Acha kemudian seraya memakai helmnya lalu duduk di jok belakang motor besar milik Deva. Hari ini sekolah sudah berakhir, dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. “Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat terlebih dahulu?” tanya Deva balik, seakan-akan tahu kalau Acha ingin mengunjungi suatu tempat sebelum mereka pulang. Deva merupakan wakil tim basket sekolah. Dan tentunya Deva masuk ke jajaran siswa terkenal. Selain tampan, Deva juga sangat lihai dalam bermain basket. Benar-benar pria idaman banyak wanita. Di sisi lain, banyak orang-orang yang iri dengan Acha yang bisa dekat dengan Deva. Pada kenyataannya, Acha tidak populer sama sekali, namun orang-orang tahu siapa itu ‘Acha’ berkat kepopularitasan Deva tentunya. Acha adalah orang yang selalu menempel pada Deva di setiap kesempatan. Berkebalikan dengan Deva, Acha mendapatkan begitu banyak kebencian dari orang lain. Akan tetapi, apa Acha peduli dengan hal itu? Tentu saja tidak. Selama Acha bisa dekat dengan Deva, Acha tidak akan memikirkan hal-hal lainnya. Bagaimana pun juga, sepertinya, ini adalah salah satu resiko memiliki sahabat yang ‘terkenal’ se-antero sekolah. “Belakangan ini, aku ingin es krim. Mengapa kita tidak datang ke kedai es krim yang tidak jauh dari sini? Aku akan mentraktirmu,” tutur Acha menyamankan duduknya di motor Deva. Deva segera memutar kunci motornya kala berkata, “Baiklah. Aku mau rasa cokelat, okay?” “Mn. Cokelat porsi kecil,” koreksi Acha sesaat kemudian yang kontan saja membuat Deva terkekeh geli. Acha benar-benar sangat pelit. Tak berselang sepuluh detik, motor yang dikendarai Deva mulai bergabung dengan kendaraan lainnya di jalanan besar. Lalu lintas sore ini cukup ramai. Bahkan Acha bisa mendengar suara klakson saling bersahutan tak kunjung henti. “Deva,” panggil Acha sedikit berteriak barangkali Deva tidak bisa mendengar suaranya. “Apa?” tanya Deva yang juga turut berteriak. “Nanti malam, datang ke rumahku. Bunda mengundangmu, paman, dan juga bibi untuk makan malam bersama. Aku lupa memberitahumu sebelumnya.” “Mn. Aku akan memberitahu ayah dan ibu nanti.” Dan dengan begitu, obrolan keduanya pun berakhir. Bingung? Sebenarnya, tidak hanya rumah mereka saja yang saling berdekatan satu sama lain. Akan tetapi, hubungan keluarga Acha dengan keluarga Deva juga sangat akrab. Hal ini berawal ketika Dani—ayah Acha- melakukan kerjasama bisnis dengan Alan—ayah Deva- hampir tiga puluh tahun lalu. Sejak saat itu, hubungan Dani dan Alan terjalin semakin erat. Dan ketika mereka berdua menikah dengan perempuan idamannya masing-masing, baik Dani dan Alan bersepakat untuk menetap di satu tempat yang saling berdekatan. Karena hal itu pula Acha bisa bersahabat dengan Deva sedari kecil. Tentunya, Dani dan Alan merasa sangat senang kalau anak-anak mereka juga bisa bersahabat, seperti orangtuanya. Hanya saja, dua tahun lalu, Dani meninggal akibat kecelakaan. Dan kini Acha tinggal bersama bunda serta kakaknya yang berumur dua puluh lima tahun. Setelah kepergian Dani, Benjamin—kakak Acha-, mengambil alih semua tugas mendiang ayahnya itu untuk mengurus kerajaan bisnis keluarga mereka. Meskipun pada awalnya Benjamin sempat terseok-seok, namun, setelah dua tahun berlalu, Benjamin berhasil mengkondusifkan kembali Davi Group di bawah kendali kekuasaannya. Setidaknya, itu adalah gambaran kasar asal-usul Acha bisa bersahabat dengan Deva. Kembali lagi ke masa sekarang, Deva memarkirkan motornya ketika sampai di kedai es krim yang Acha maksud. Acha menyerahkan helmnya pada Deva. Deva pun langsung menerimanya tanpa banyak kata. Setelah itu, dengan langkah kaki riangnya, Acha segera memesan dua porsi es krim rasa strawbery serta cokelat untuk Deva. Tak lama kemudian, pesanan Acha pun jadi. Acha segera menuntun Deva untuk duduk di salah satu meja kosong yang tidak jauh dari sana. Acha dan Deva duduk berhadapan, keduanya memilih menikmati es krim dalam keheningan. Sampai tak lama kemudian ... “Aku dengar akan ada pertandingan basket minggu depan. Apakah itu benar?” tanya Acha meminta konfirmasi dari Deva. Deva mengangkat wajahnya. Dengan sendok diapit bibirnya, Deva menjawab santai, “Mn. Minggu depan akan diadakan pertandingan persahabatan dengan SMA TRIMULYA. Aku pikir, kami akan beradu gengsi setelah pertemuan terakhir sekolah kita dikalahkan dengan skor tipis.” Acha mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Jadi, berita yang didapatnya dari Mila—teman sebangku Acha- memang benar adanya. “Terakhir kali, aku tidak bisa datang untuk mendukungmu. Bisa saja kamu kalah karena hal itu, 'kan? Andai saja waktu itu pertandingannya diadakan di SMA kita, pasti aku akan mendukungmu di sisi lapangan. Aku akan berteriak sekencang mungkin ketika kamu berhasil mencetak poin,” tutur Acha ringan. Deva menyeringai. Ia menaruh sendok yang sebelumnya ada di bibir ke mangkuk es krim lalu bertanya menggoda, “Apa kamu yakin?” “Mn. Tentu saja aku yakin! Bahkan jika kamu tidak berhasil mencetak poin, aku tetap akan mendukungmu.” Deva yang mendengarkan hal itu kontan saja terkekeh. “Kamu memang yang terbaik.” Setelah itu, keduanya sama-sama kembali terdiam dan memilih menghabiskan es krim yang hampir mencair. Berhubung hari sudah semakin sore, baik Acha dan Deva tidak memiliki opsi lain untuk berjalan-jalan lagi ke suatu tempat. Sepanjang dalam perjalanan pulang, Acha membiarkan wajahnya ditampar oleh riuhnya angin yang datang secara menggebu-gebu karena Deva sedikit memacu kendaraannya lebih cepat. Acha melingkarkan tangannya pada pinggang Deva, karena Deva memang mengizinkan sebelumnya. Dengan senyuman terukir di wajahnya, Acha dapat merasakan kalau jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Pipinya terasa panas. Rasa bahagia membuncah tak terbendung di dalam hatinya. Tidak ingin Deva melihat wajahnya yang sudah memerah melalui kaca spion, Acha memilih menyandarkan kepalanya pada punggung Deva. Pelukannya pada pinggang Deva pun semakin mengerat. Jika bisa, rasa-rasanya Acha ingin menghentikan waktu hanya untuk menikmati momen-momen seperti ini bersama Deva. Acha benar-benar sangat mencintai Deva.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN