2. Perasaan Terlarang

1084 Kata
Pagi yang cerah dengan matahari tampak menyembul malu-malu di atas sana, membuat udara terasa sedikit lebih hangat. Alunan merdu deru angin melempar kuat-kuat helaian rambut panjang itu dengan leluasanya, hingga membuat rambut-rambut itu kini terlihat seperti menari-nari di udara. Tentu saja sang empu pemilik rambut tersebut adalah Acha, Natasha Rashelia. Sudah sepuluh menit lamanya ia berada di tempat ini. Tempat yang tidak disinggahi oleh banyak orang, tempat yang dinamakan dengan ... taman belakang sekolah. Acha menghela napasnya lelah, ia memilih duduk bersila di atas rumput hijau yang terlihat terawat dengan sangat baik. Beberapa waktu lalu, Deva memintanya untuk datang ke tempat ini melalui sebuah pesan singkat yang dikirimkan melalui aplikasi perpesanan. Acha menurut saja, karena ia tidak memiliki hal lain yang akan dilakukan di jam istirahat seperti ini. Waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh, dan sosok Deva tidak kunjung juga menampakkan batang hidungnya. Jika tahu begini, lebih baik Acha tadi tidak terlalu terburu-buru datang ke tempat ini. Pria itu memang terkadang sangat menyebalkan. “Sudah lama menunggu?” suara berbisik rendah itu terdengar tepat di depan cuping telinga kiri Acha dengan lembut. Acha yang sedang memejamkan kedua matanya demi menikmati semilir angin seketika terperanjat kaget. Deru jantungnya tiba-tiba saja memburu, pun tubuhnya terasa sedikit meremang. Acha memicingkan matanya tajam kepada Deva yang saat ini sedang tertawa terbahak-bahak di sisinya. Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk wajah Acha dengan ceroboh. “Kamu terkejut, 'kan?” Acha mendengus keras-keras. Ia seharusnya tidak merasa aneh lagi dengan sikap Deva yang seperti ini. Deva adalah orang terjahil yang pernah Acha temui di dunia ini. Bersahabat sedari kecil dengan Deva membuat Acha sudah kepalang hapal dengan karakteristik pria itu. Acha dan Deva berbeda jurusan, tapi hal itu tidak membuat hubungan keduanya merenggang. “Apa selucu itu, hah?” cecar Acha seraya mengerucutkan bibirnya kesal. Deva terlihat berusaha keras menghentikan derai tawanya dengan membungkam mulutnya menggunakan kedua telapak tangannya. “Dari mana saja? Apa kamu tidak tahu kalau aku sudah menunggumu sedari tadi? Aku bahkan langsung ke sini setelah bel istirahat berbunyi. Dan ka—” “Nah, makanlah. Kamu belum makan, 'kan?” tanya Deva seraya menyerahkan satu kantong plastik kepada Acha begitu saja sebelum ikut duduk bersila di samping Acha. “Kantin sangat ramai, aku harus mengantre hanya untuk membeli roti dan air mineral itu,” beritahu Deva dengan pandangan yang mengawang ke depan sana. Di sisinya, Acha menatap kantong plastik ini dengan heran. Tangannya merogoh ke dalam sana demi mendapati satu bungkus roti yang masih tergesel rapi. “Hanya satu? Kamu tidak makan?” Deva menoleh. “Aku sudah memakan bagianku selama perjalanan ke sini.” Acha mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Ia tanpa ragu mulai membuka bungkusan roti itu dan mulai memakan roti bertekstur lembut tersebut. “Lalu ... kenapa kamu memintaku datang ke sini? Apakah ada sesuatu?” Deva terkekeh kecil, ia menaruh telapak tangannya di atas kepala Acha lalu mengusak puncak kepala itu dengan lembut. “Apakah tidak boleh jika aku ingin melihatmu? Aku hanya sedang merasa malas untuk bergabung dengan teman-temanku. Mereka terlalu ribut.” Sekali lagi, Acha menganggukkan kepalanya mengerti. Ia meletakkan roti itu di pangkuannya lalu membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan akibat sapuan angin dan perlakuan Deva barusan. “Aku lihat ... wajahmu hari ini tampak begitu gusar. Apa hanya perasaanku saja?” tanya Acha merasa tidak yakin dengan penuturannya sendiri. Ia menatap lebih lamat di paras tampan pria di sisinya ini. Hidung mancung mengerucut tajam, bibir tebal, bulu mata yang lentik, pun alisnya seperti dipahat dengan rapi. Dagunya yang tajam semakin menambah tampan visual Deva. Dan hanya dengan memandang Deva seperti ini ... jantung Acha tiba-tiba saja berdetak dua kali lipat lebih kencang dari biasanya. “Ada apa, hm? Apa kamu tidak ingin bercerita kepadaku tentang apa yang ada di dalam kepalamu? Siapa tahu aku bisa membantumu untuk menguraikan benang kusut itu, 'kan?” ujar Acha semakin yakin bahwasanya Deva sedang tidak berada di perasaan terbaiknya. Deva menarik napasnya dalam-dalam. Ia tiba-tiba saja membaringkan tubuhnya di atas rumput dengan paha Acha sebagai bantalan untuk kepalanya. Acha yang melihat hal itu pun kontan saja terkejut dan hendak mendorong kepala Deva jika saja Deva tidak mengintrupsinya terlebih dahulu, “Biarkan seperti ini selama beberapa waktu. Aku mengantuk.” Acha dengan ragu mengangguk. Deva seketika tersenyum dan mulai memejamkan kedua matanya. Hingga tak sampai lima menit berlalu, Deva sudah terlelap di dalam tidurnya dengan dengkuran kecil yang mengalun merdu keluar dari belah bibirnya. Di sisi lain, Acha hanya mampu memandang wajah damai Deva dengan hampa. Namun, meskipun begitu, Acha tetap memaksakan kedua sudut bibirnya untuk terangkat. Ia memang tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Deva saat ini. Akan tetapi, melihat wajah damai Deva yang tertidur di pangkuannya, entah kenapa tiba-tiba saja ada perasaan senang yang menyeruak di dalam hati Acha. Perasaan ini ... sangat hangat. Perutnya terasa tergelitik akibat ribuan kupu-kupu imajiner beterbangan di dalam sana. Acha melambai-lambaikan tangannya di atas wajah Deva dengan maksud untuk memastikan bahwasanya sang empu sudah benar-benar terlelap, dan tidak akan segera terbangun hanya karena sebuah gerakan kecil yang ditimbulkan. Kelopak mata Deva tetap tertutup, bahkan terlihat tidak bergerak sama sekali. Deva benar-benar tertidur. Acha memandang ke sekeliling dengan waspada. Barangkali ada orang lain yang melintas atau pun berdiri tak jauh dari mereka. Memang dasarnya ini adalah taman belakang sekolah, nyatanya di tempat ini benar-benar sangat sepi. Sejauh manik mata Acha menjelajah, ia tidak menemukan satu batang hidung dari siswa yang ada di sekitar sini. Bersamaan dengan hal itu, sapuan angin pergantian pagi ke siang pun seketika menyeruak menyapu rambut Acha lagi. Kali ini Acha menghiraukan bagaimana kekacauan rambutnya. Karena ... Tanpa sadar tangan Acha menyentuh puncak kepala Deva. Memberikan belaian lembut di atas sana selama beberapa waktu lamanya. Acha tersenyum lembut. Cerminan sosok Deva terpantul hangat di kedua bola matanya yang terlihat sedikit berair. Acha menarik napasnya dalam-dalam, ia semakin menundukkan kepalanya mendekat ke wajah Deva. Bersamaan dengan hal itu, Acha turut memejamkan kedua kelopak matanya. Dekat ... Semakin mendekat ... Sangat dekat ... Tak sampai tiga detik lamanya, kini wajah Acha hanya terpisah beberapa senti saja jauhnya dari wajah Deva. Hembusan napas Deva dapat Acha rasakan menyapu samar wajahnya. Hingga tanpa terasa ... Satu tetes air mata terjatuh begitu saja, mendarat di atas pipi Deva. Acha menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat agar isakannya tidak keluar barang sedikit pun. Acha tidak ingin Deva tiba-tiba saja terbangun di saat-saat seperti ini. Bersamaan dengan melodi sendu semesta yang bergaung di udara, Acha semakin mendekatkan bibirnya ke telinga Deva lalu berbisik perih, “Maaf ....” ‘... Maafkan aku karena telah lancang mencintaimu.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN