Chapter II | Sukses

2489 Kata
[Meysha Fradella] Hari ini, gue sedang bersih-bersih rumah, karena teman-teman gue akan datang satu jam lagi. Sebenarnya, alasan utama gue mengajak mereka untuk berunding di rumah gue, karena gue mau memberikan makanan, masakan gue yang baru matang sepuluh menit lalu, untuk Gabriel. Iya, hanya untuk Gabriel, semoga dia suka. Gue sebenarnya juga nggak tahu bagaimana perasaan gue ke Gabriel, tapi yang pasti saat melihat kehadirannya membuat hati gue merasakan kebahagiaan yang sangat. Dan membuat bibir gue melengkungkan senyum. Ruang tamu sudah gue bersihkan. Sudah kinclong. Sekarang, tinggal mengambil camilan yang gue beli kemarin. Oh iya, gue di sini tinggal bersama Ibu, dia orang yang sangat baik hati dan penyayang. Gue bangga punya Ibu seperti dia. Dan sekarang, Ibu gue sedang pergi, dia nggak bilang ke mana. Tapi sepertinya akan lama, nggak apa, nanti kan ada teman-teman gue. Ayah gue, ia adalah seorang petani. Dan sekarang sedang di sawah, bekerja. Gue bangga punya Ayah seperti dia, karena Ayah selalu menuruti apa yang gue mau dan tidak pernah sekali pun membentak gue. Lalu, gue duduk lesehan di ruang tamu yang sudah kinclong.  “Meysha!” panggil seseorang dari luar rumah, menurut gue itu Ray. Gue berjalan santai ke luar rumah, dan ternyata benar, itu adalah Ray. Gue tersenyum menghampirinya. “Masuk, Ray!” Dia mengangguk. Saat dia ingin melangkah masuk ke dalam rumah, gue dengan ragu menghentikannya. “Ray, gue sendiri di rumah, kita tunggu yang lain di sini dulu aja, ya?” Ray terlihat terdiam sebentar, seperti memproses perkataan gue, lalu terkekeh dan mengangguk. Ia langsung duduk di kursi yang berada di teras  tanpa di suruh, gue hanya menggeleng melihatnya.  Ray orang yang baik, lucu dan tidak bisa diam walau semenit. Gue nyaman berteman dengannya, dia juga sangat pengertian. Lalu, gue juga duduk di kursi samping Ray. “Memang, Ibu lo ke mana?” tanya Ray membuka pembicaraan, seperti yang gue bilang barusan, Ray tidak bisa diam. “Keluar, nggak bilang ke mana, pakaiannya juga rapi. Menurut gue, Ibu pergi agak lama,” jawab gue jujur. Ray mengangguk. “Coba setiap hari kita nongkrongnya di salah satu rumah di antara kita berlima, pasti gue nggak akan susah-susah pinjam karpet ke Ibu gue, dan repot bawa karpet ke bawah pohon rindang,” curhatnya. Gue tertawa menanggapi. Tuh kan, gue bilang apa, dia itu lucu. Dan dia sempat terdiam melihat gue ketawa. Membuat gue sedikit salah tingkah, dan memalingkan muka. Setelah berbincang cukup lama dengan Ray, Gabriel datang. Gue cukup terkejut, karena tidak biasanya Gabriel datang sebelum kami berempat mengumpul. Ray juga terlihat terkejut. Apa jangan-jangan karena mengumpulnya di rumah gue? Eh. Gue langsung menggeleng.  Lo nggak boleh terlalu percaya diri, Mey! “Hei,” ucapnya. “Tumben nggak telat, bos?” Ray yang menanggapi. Gabriel hanya merespon dengan mengangkat bahu, lalu duduk di selasar teras.  Membuat gue otomatis berdiri. “Duduk sini aja, Riel,” tawar gue. Dia menaikkan sebelah alisnya, membuat gue sedikit gugup. Ini memang terlihat sedikit aneh, persahabatan kami berlima tidak seluwes persahabatan biasanya. Ada saat-saat tertentu kami merasa nyaman mengobrol tanpa peduli apapun, dan juga ada saat di mana kami merasa canggung satu sama lain. Tapi, dapat dipastikan, kami berlima bersahabat dengan sangat tulus. Bukan karena ada seorang sempurna yang ingin didekati. Atau bersahabat karena ada sesuatu. “Udah, di sini aja,” jawabnya tanpa ekspresi. Gue kembali duduk. “Masuknya tunggu Adara datang, ya.” Mereka berdua langsung mengangguk. Gue melihat Ray, dia terlihat muram, dan tidak bersemangat. Apa gue salah ngomong? Atau kenapa? Lalu, hanya keheningan yang menemani kami bertiga, sampai akhirnya Kendra dan Adara tiba. Gue langsung tersenyum. “Udah lengkap, yuk masuk!” ajak gue. Mereka berempat mengangguk dan langsung berjalan di belakang gue, memasuki rumah. Setelah kami berlima sudah duduk melingkar di ruang tamu. Dengan posisi, gue, Ray, Adara,  Kendra dan Gabriel, juga buku ramuan yang di pinjam dari Bu Wina berada di tengah. Gue memulai untuk membuka buku tersebut duluan. “Gue udah baca buku ini, dan bahan-bahan yang kita perlukan, nggak susah untuk di cari kok. Tapi kita harus tetap hati-hati, jangan sampai menyentuh daun yang salah,” jelas gue. Mereka berempat mengangguk. Lalu, gue mengambil kertas yang gue selipkan di belakang buku, berisi bahan-bahan ramuan yang sudah gue rangkum. Gue meletakkan kertas itu di tengah, sebelah buku ramuan. “Ini bahan-bahannya, udah gue rangkum.” Adara mengambil kertas itu dan dibaca dengan seksama. Kendra yang berada di sebelah kanannya penasaran, pun ikut membaca, begitu juga Ray yang berada di sebelah kiri Adara.  Gue memperhatikan Gabriel, ada raut penasaran di wajahnya yang ia tutupi. Membuat gue mengulum senyum. “Ini kan ada sepuluh daun, kita bagi tugas aja, satu orang mencari dua daun,” ujar Adara. Gue mengangguk setuju. Lalu, Adara memberikan kertas itu ke gue. “Lo aja yang atur, Mey!” Baik, tidak masalah. Justru kesempatan besar untuk menjalankan tahap awal rencana gue.  Gabriel mencondongkan diri ke arah gue,  mungkin ingin membaca daun apa saja yang di perlukan, melunaskan rasa penasarannya tadi. Tapi, jantung gue malah berdetak kencang. Jarak gue dan Gabriel cukup dekat, gue bahkan bisa mencium aroma tubuhnya yang menenangkan.  Gue mencoba untuk rileks, dan mulai mengatur pencarian daun. “Ray mencari daun bidara, dan daun sirih. Adara mencari daun gweria dan daun ruds. Kendra mencari daun yinji dan daun fars. Gabriel mencari daun gelagang dan daun weri sedangkan gue mencari daun tebaga dan daun kipa. Ada yang mau dikoreksi?” Mereka berempat menggeleng. Membuat gue tersenyum puas. “Eh, di makan dulu dong,” ujar gue sambil menyodorkan camilan yang udah gue beli kemarin. Tanpa ragu, Ray langsung membuka kemasan biskuit dan memakannya, sedangkan Kendra membuka kemasan ciki dan menyodorkan itu ke Adara yang Adara terima dengan senang hati. Mereka manis sekali. Gabriel meminta biskuit yang di makan oleh Ray, yang langsung ia berikan kepada Gabriel. Sedangkan gue, hanya meminum es teh manis. Setelah selesai mengemil, kami langsung bergerak mencari daun-daun itu.  Gabriel mengajak gue untuk mencari daun bersama, karena tempat daun yang gue cari tidak jauh dari tempat Gabriel mencari daun, kami berjalan bersama. Gue sengaja mengaturnya seperti itu, supaya gue bisa mengutarakan apa yang ingin gue sampaikan sedari tadi. Kami berjalan bersisian, gue menoleh menatap sekilas wajahnya. Gue memberanikan diri untuk berucap, “Riel, nanti pas udah selesai, lo jangan pulang dulu ya, ada sesuatu yang ingin gue kasih.” Gabriel menoleh ke arah gue, menatap mata gue dengan cukup intens, lalu dia mengangguk.  Ya, tidak apalah walau hanya mengangguk, daripada dia menggeleng, kan? Lalu gue berjongkok memilih dan mengambil daun tebaga yang memang berbentuk seperti rumput. Gue mengambil lima lembar. Gabriel sempat menunggu gue mengambil daun itu, yang padahal gue kira sebelumnya, dia akan meninggalkan gue yang sedang sibuk memilih daun tebaga yang bagus. Setelah gue selesai, gue berdiri dan tersenyum. Tanpa banyak bicara, kami melanjutkan pencarian kami. Setelah gue sudah menemukan daun kipa, dan Gabriel juga sudah menemukan daun yang dicari, kami berjalan menuju rumah gue kembali. Daun-daun tersebut tidak sulit untuk di cari di Desa Tiwa, karena desa kami memang tempat yang tepat untuk menemukan daun tersebut. Daun-daun itu kebanyakan tumbuh sendiri, menjadikannya seperti daun liar. Tapi tanpa disadari banyak mengandung manfaat. Di depan rumah gue, terlihat Ray yang sudah duduk di kursi teras. Dengan daun yang terletak di meja. Gue tersenyum melihat itu, tinggal Adara dan Kendra. Lalu, dari sisi kiri gue, Adara dan Kendra terlihat sedang tertawa.  Padahal seingat gue, tempat mereka mencari daun tidak dekat. Gue menggeleng dan tersenyum. Dasar pasangan baru. Setelah itu, kami berkumpul di halaman depan rumah gue.  Kami memulai percobaan pertama membuat ramuan, semoga berhasil. Ramuan kami memang tidak bisa menyembuhkannya penyakit hyrexin, tapi setidaknya kami bisa membantu Mbok Yu. Juga warga sekitar. Adara menumbuk semua daun yang tadi kami cari yang sudah dicuci, bergantian dengan gue. Sedangkan yang laki-laki hanya bercanda ria sambil menghabiskan camilan. Setelah selesai ditumbuk, gue merebusnya supaya larut menjadi air. Kemudian direbus. kami mendapatkan tiga botol berukuran seratus mili liter dari daun-daun tersebut. “Semoga bisa membantu Mbok Yu, ya,” ujar Kendra. “Oh ya, itu bahannya sama kayak bahan-bahan Mbok yu?” Ray bertanya. Gue berpikir sebentar, lalu menggeleng. “Di sini ada daun gweria dan kipa yang semoga bisa menghilangkan ruam, juga ada daun gelagang yang semoga bisa menyembuhkan lumpuh, yang lain sama kok.” Mereka berempat mengangguk. “Sekarang, kita kasih ini ke Mbok Yu?” tanya Adara. Gue tersenyum dan mengangguk. Lalu, kami berlima berjalan beriringan menuju rumah Mbok Yu. “Permisi, Mbok Yu!” panggil Ray sopan. Tak lama, pintu rumah Mbok Yu terbuka, menampilkan sosok perempuan separuh baya dengan wajah ramah. “Eh, kalian, silakan masuk,” ujar Mbok Yu. Kami berlima mengangguk dan berjalan memasuki rumah Mbok Yu. “Mau minum apa?” tanya Mbok Yu sangat ramah. Sontak, kami berlima menggeleng. “Nggak usah, Mbok! Terima kasih sebelumnya, kami hanya sebentar kok,” tolak Kendra sopan. Mbok Yu mengangguk dan duduk bersama kami. Ia tersenyum. “Ada apa?” “Ini Mbok, kami tadi bikin ramuan untuk bantu-bantu Mbok, terima ya,” gue berucap sambil menyodorkan tiga botol tersebut. Mbok Yu menerima dengan senang hati. “Terima kasih ya, anak-anakku.”  Kami mengangguk. Lalu saling tatap mengisyaratkan untuk segera pamit. “Ya sudah Mbok, kami permisi ya,” pamit Ray. Mbok Yu mengangguk sopan. “Sekali lagi terima kasih banyak, ya.” Kami berlima tersenyum. Saat kami ingin berdiri, tiba-tiba Pak Danu datang dan langsung masuk begitu saja ke rumah Mbok Yu yang pintunya memang terbuka. “Mbok, tolong anak saya, Mbok! Saya tidak mau kehilangan anak saya,” ucap Pak Danu cemas.  Kami berlima merasa iba, mungkin Mbok Yu juga. “Maaf Pak Danu, saya tidak bisa menyembuhkan anak bapak. Saya hanya bisa memberikan ramuan, supaya anak bapak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap Mbok Yu prihatin. “Tolong, Mbok! Kasihan anak saya,” mohon Pak Danu. “Mbok, coba kasih ramuan yang kami buat saja, siapa tahu bisa membantu,” ucap Gabriel penuh rasa peduli. Membuat kami berempat mengangguk. Mbok Yu tersenyum, lalu mengulurkan satu botol kepada Pak Danu. “Baiklah, ini dari mereka, semoga bisa membantu lebih.” Kami ikut tersenyum. Wajah Pak Danu pun sudah lebih tenang, walau masih ada raut kesedihan terpancar di sana. Lagi pula siapa yang tidak sedih, melihat anaknya yang masih berusia sepuluh tahun, tinggal menghitung hari untuk pergi. “Terima kasih Mbok Yu, terima kasih Ray, Adara, Kendra, Meysha, Gabriel,” ucap Pak Danu lirih. Kami semua mengangguk penuh rasa prihatin. “Saya tidak ingin kehilangan anak saya, saya sangat menyayanginya, dia anak yang pintar, saya tidak ingin dia pergi,” Pak Danu berujar disertai air mata yang menetes. Mbok Yu mengusap punggung Pak Danu menenangkan. Mata Mbok Yu juga berkaca-kaca. Gue ikut menetaskan air mata, gue tidak bisa membayangkan  bagaimana kalau gue yang ada di posisi Pak Danu. Merasakan bagaimana mengetahui orang yang gue sayang, cepat atau lambat akan pergi meninggalkan dunia. Gue menoleh, melihat Adara menengadahkan kepalanya, menahan supaya air matanya tidak jatuh. Sedangkan Ray, ia sudah berkali-kali menghapus air matanya dengan lengan baju. Gabriel dan Kendra berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis dengan menggoda Ray yang sedang menangis.  Kendra tersenyum. “Semoga bisa membantu ya, Pak!” Pak Danu mengangguk. “Kalau begitu, saya permisi. Sekali lagi, terima kasih semuanya.” Lalu, Pak Danu berjalan dengan terburu-buru keluar dari rumah Mbok Yu. Gue masih memikirkan satu hal. “Mbok, kenapa tadi Mbok gak langsung memberikan ramuan yang Mbok punya? Mbok punya banyak stok ramuan untuk penyakit hyrexin, kan?” Mbok Yu tersenyum. “Bukannya Mbok tidak mau, tapi Mbok tidak bisa memberikan harapan semu kepada Pak Danu. Kita sudah sama-sama mengetahui kan, bagaimana penyakit hyrexin? Anaknya Pak Danu juga sudah bertahan tiga hari dengan ramuan yang Mbok kasih. Mbok sudah menjenguk kemarin. Mbok kasihan sama anaknya, ia masih berusia sepuluh tahun dan berusaha mati-matian menahan sakit itu, yang padahal dia sudah tidak kuat lagi menahannya. Mbok tidak tega melihat anaknya Pak Danu terus-terusan kesakitan. Kalau pergi adalah jalan yang terbaik, mengapa tidak? Pak Danu hanya butuh rasa ikhlas dan tabah yang begitu besar, walau sulit.” Kami berlima mengangguk mengerti. Gue menyetujui apa yang Mbok Yu jelaskan. Tapi, tetap saja, kalau gue ada di posisi Pak Danu, gue akan melakukan apa saja, asal orang yang disayang tetap bisa sembuh. Sebentar, kalau seperti itu, berarti gue setuju dengan siapa? “Mbok, kalau soal obat penawar penyakit hyrexin yang berada di dalam hutan belantara, itu benar?” Adara bertanya penasaran. Mbok Yu mengangkat bahu. “Banyak yang bilang seperti itu, tetapi Mbok tidak bisa membenarkan, karena sumber berita itu tidak ada yang tahu. Hanya omongan dari mulut ke mulut.” “Ya sudah Mbok, kami pamit ya,” ujar Ray. Mbok Yu tersenyum. “Sering-sering main ke sini ya, temani Mbok.” Gue tersenyum. “Iya Mbok, permisi.” Kami berjalan keluar dari rumah Mbok Yu. Di perjalanan, hanya hening yang menemani kami, tumben sekali. Tak lama, ada suara langkah kaki cepat dari arah belakang kami.  Membuat Gabriel menoleh lebih dulu, lalu berujar, “Pak Danu?” Kami berempat menoleh seketika. Langkah kami terhenti. “Ada apa Pak?” Ray bertanya. Lalu, Pak Danu mengambil tangan Ray dan menjabatnya erat, membuat Ray kebingungan. “Maaf, kenapa Pak?” tanya Ray ragu. “Terima kasih kalian sudah mau membuat ramuan itu, ramuannya langsung bekerja, ruam di tubuh anak saya sakitnya berangsur hilang, juga tangannya sudah bisa di gerakkan. Terima kasih, terima kasih banyak.” Kami saling tatap, berarti ramuan yang kami buat berhasil. Akhirnya, keberadaan kami di sini berguna juga untuk Desa Tiwa. Semoga ramuan itu bisa menyembuhkan. “Serius Pak?” Kendra bertanya dengan nada riang. Pak Danu mengangguk antusias. “Syukur deh, kalau begitu,” ujar Kendra. Gue mengangguk lega. *** Setelah mengetahui ramuan yang kami buat berhasil, kami sempat berkumpul dulu di rumah gue, untuk membicarakan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Sampai akhirnya kami memutuskan, untuk membuat ramuan itu lebih banyak lagi. Kini, tinggal gue dan Gabriel yang sedang berbincang santai di teras depan rumah gue, saat yang lain sudah pulang. “Tunggu sebentar ya, Riel,” pinta gue. Gabriel mengangguk.  Gue memasuki rumah dengan senyum yang tidak bisa hilang dari wajah. Gue mengambil cup cake yang sudah gue buat pagi-pagi di bantu Ibu. Kue ini sengaja tidak gue keluarkan. Gue bikin khusus untuk Gabriel. Gue meletakkan cup cake tersebut di atas wadah tempat makan. Setelah dirasa cukup, gue keluar menemui Gabriel. “Nih ada sedikit kue untuk lo, semoga suka!” ujar gue sedikit gugup. Gabriel menerima wadah itu, dan membukanya. Ia mengangkat alisnya. “Cup cake?” Gue mengangguk ragu. Lalu, tangannya mengambil satu cup cake dari wadah tersebut dan memakannya. Membuat gue panas dingin menunggu reaksinya. Setelah menurut gue dia sudah menelan cup cake tersebut, gue bertanya, “Enak?” Gabriel menatap gue, lalu dia tersenyum lebar, dan mengangguk. “Enak. Terima kasih ya!” Gue meleleh melihat senyum Gabriel. Karena ia jarang sekali tersenyum, dan sekarang dia tersenyum di depan gue? Untuk gue? Tuhan, tolong Meysha! Meysha baper!  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN