Chapter I | Misi
[Ray Dhanadyaksa]
"Ray!" panggil seseorang yang suaranya tidak asing di telinga gue.
Gue menoleh, benar kan, dia.
Meysha Fradella. Perempuan cantik berhati lembut. Yang berhasil menempati tahta di hati gue, tanpa sedikit pun dia sadari.
"Ray!" panggil dia sekali lagi sambil menepuk pundak gue.
Gue menatapnya, memberikan seluruh atensi gue untuk dia. "Kenapa?"
"Lo tahu nggak, makin banyak warga yang terkena penyakit itu, tahu!"
Gue suka saat dia sudah mulai bercerita. Wajah antusiasnya membuat gue terbuai dalam pesonanya. "Penyakit yang katanya karena kita memegang daun... daun apa ya?" Serius gue lupa.
Meysha memutar bola matanya malas. "Daun hyrex."
Gue mengangguk paham. "Siapa memangnya?"
Raut antusias kembali lagi ke wajahnya yang cantik. "Anaknya Pak Danu yang masih sepuluh tahun, kasihan banget kan ya?"
Pak Danu itu tetangganya Meysha, dan warga Desa Tiwa tentunya.
Gue mengangguk lagi. "Udah di kasih ramuan bikinan Mbok Yu?"
Nah, kalau Mbok Yu, jagonya bikin ramuan untuk meredakan rasa sakit penyakit hyrexin. Tapi, tetap tidak bisa menyembuhkannya.
"Udah. Gue heran kenapa masih ada aja ya, yang kena penyakit hyrexin padahal waktu itu, sama Pak Banyu udah di basmi tanamannya," ucapnya menunjukkan wajah heran.
Pak Banyu adalah Kepala Desa Tiwa, sebagai Kepala Desa, tentu saja ia bertindak. Beberapa hari yang lalu, orang kepercayaan Pak Banyu, ia bayar untuk memotong daun hyrex sampai tidak tersisa. Tentu saja, orang-orang kepercayaan Pak Banyu tetap berhati-hati dengan menggunakan sarung tangan.
Penyakit karena memegang daun hyrex itu, kami warga Desa Tiwa menyebutnya penyakit hyrexin. Karena penyakitnya mucul setelah seseorang menyentuh daun hyrex.
Nih gue kasih tahu, bentuk daun hyrex itu sangat khas, di setiap sisi daun terdapat lengkungan asimetris dan di bagian daunnya terdapat garis acak yang tidak beraturan. Daun hyrex memiliki warna hijau tua bergradasi merah yang sangat mencolok. Panjangnya sekitar 8-10 cm dan memiliki lebar mungkin 4-6 cm. Daun hyrex, termasuk tanaman liar yang bisa tumbuh diantara daun apa saja. Mungkin bisa disebut benalu, parasit atau semacamnya.
Penyakit yang di sebabkan karena menyentuh daun hyrex bukan penyakit biasa, ia bisa menyebabkan ruam yang amat menyakitkan di tangan, bahkan bisa menjalar sampai seluruh tubuh. Juga menyebabkan demam berkepanjangan dan lumpuh sementara.
Jangka waktu dari kita menyentuh daun hyrex sampai kita merasakan sakit itu, kalau tidak salah selama sepuluh jam atau paling lama seharian. Jika lebih dari itu, kita tidak merasakan sakit apapun, walaupun kita telah menyentuh daun hyrex. Berarti, kemungkinan besar daun yang kita kira daun hyrex itu bukan daun hyrex.
Dari cerita yang gue denger dari warga desa sih, seperti itu. Dan satu lagi yang mengerikan, menyentuh daun hyrex, bisa menyebabkan kematian. Itu yang terparah setelah mengalami ruam yang luar biasa sakit, suhu tubuh yang meningkat nggak turun-turun dan tubuh lumpuh sementara. Setahu gue, orang paling lama bisa bertahan dari penyakit hyrexin cuma satu bulan. Serem banget, kan? Belum ada yang bisa sembuh dari penyakit hyrexin.
Jadi bisa di bilang, lu nyentuh daun hyrex, cepat atau lambat nyawa lu melayang.
Dengar-dengar juga, nih. Obat penyakit hyrexin cuma ada di bagian dalam hutan yang jarang di masuki manusia. Bahkan, ada warga desa gue yang mencoba untuk mencari obat itu, tetapi gagal. Entah pulang tidak membawa hasil, atau orang yang ingin di selamatkan sudah keburu di panggil Tuhan.
Dan kenapa daun hyrex sangat berbahaya?
Jangankan gue, seluruh orang Desa Tiwa pasti tidak tahu. Karena belum ada peneliti dari kota yang datang ke desa ini. Mungkin salah satu alasannya, karena desa kami kecil dan sangat terpencil. Walaupun sudah banyak orang desa kami yang mengaku pintar, sok-sokan meneliti, eh malah terkena penyakit hyrexin. Karena setahu gue, nggak banyak orang Desa Tiwa yang kuliah di kota. Kalaupun ada, pasti sudah berjaya dan mengajak seluruh keluarganya untuk tinggal di kota. Lupa sama tempat di besarkan.
"Di basmi kan, belum tentu udah nggak ada lagi, Mey," gue menanggapi.
Meysha terlihat berpikir cemas. "Aduh kalau gitu, gue takut nih, berarti Desa Tiwa belum aman dong."
Gue juga takut, Mey!
Tapi gue tetap memasang raut wajah tenang. Nggak mau bikin Meysha tambah cemas.
"Ya udahlah, kita berusaha aja, untuk tidak menyentuh daun-daunan yang menurut kita asing," gue berujar sok bijak.
Meysha tersenyum dan mengangguk.
Gua menatapnya tanpa berkedip. Ya ampun, kenapa dia cantik banget, sih?
Gue lagi duduk santai di bawah pohon rindang dengan beralaskan karpet punya ibu gue, yang dengan susah payah gue pinjam, tempat biasa kami nongkrong. Iya kami, gue, Meysha, Gabriel dan dua sejoli yang baru saja jadian kemarin lusa, Kendra dan Adara.
Tapi, yang baru datang hanya Meysha.
"Hei, maaf ya, telat," suara Adara terdengar dari belakang tubuh gue.
Meysha menanggapi dengan senyuman, yang lagi-lagi membuat gue meleleh.
Gue memutuskan menoleh, melihat Kendra dan Adara yang baru saja tiba. Mentang-mentang baru pacaran, kemana-mana selalu saja berdua, membuat gue iri. Ingin juga seperti itu bersama Meysha.
Biarin aja gue bucin sama Meysha, bucin dalam diam tapi. Soalnya nggak ada yang tahu soal ini. Termasuk keempat sahabat gue. Iyalah, jangan sampai mereka tahu, kalau mereka tahu, bisa abis gue. Dan Meysha, pasti bakalan canggung sama gue.
"Berdua terus... serasa dunia milik berdua ya, yang lain mah ngontrak," ujar gue meledek.
Kendra terkekeh, tapi tidak dengan Adara, dia malah menatap gue tajam, membuat nyali gue untuk mengeluarkan jokes receh menciut.
Nih, gue kasih tahu, Adara Rosalie itu termasuk cewek dingin yang judesnya minta ampun. Tapi, gue akui dia baik dan setia kawan. Dia gabung dengan circle pertemanan kami, karena dia cukup dekat dengan Gabriel. Aneh memang, dekatnya sama Gabriel jadiannya sama Kendra.
Nah, kalau Kendra, dia itu sohib gue banget, dah. Dia paling ngerti gue dan teman-teman. Istilahnya dia itu orangnya peka-an.
Meysha sendiri, menurut gue, dia itu sempurna banget. Ya, walaupun gue tahu, nggak ada yang sempurna di dunia ini. Anggap aja gitu, Meysha sempurna. Dia punya senyuman manis dan mata yang begitu indah, yang bisa membuat gue tenggelam dalam sekali tatap.
Untuk orang yang suka ngaret, iya Gabriel. Buktinya, sekarang dia belum dateng. Dan biasanya memang seperti itu sih, jadi kami yang di sini udah nggak heran lagi. Gabriel ini sama, teman gue juga, tapi yang paling dingin tak tersentuh, bisa dibilang begitu. Iya, dia tipe orang yang irit ngomong. Satu tipe sama Adara.
"Sini Ra, duduk!" ujar Meysha ramah.
Adara menurut, ia duduk di samping Meysha, sedangkan Kendra di samping gue, berhadapan dengan Adara.
"Gila ya, daun hyrex seberbahaya itu, ternyata." Terdengar Kendra membuka pembicaraan.
Meysha mengangguk. "Ngeri banget ya, jangan sampai deh diantara kita ada yang terkena penyakit hyrexin."
Sontak, kami bertiga mengangguk.
Gue melihat Meysha menatap ke arah gue dengan mata berbinar. Gue gugup dong. Eh tapi, tunggu dulu, bukan gue ternyata yang dia lihat, tapi orang yang berada di belakang gue. Gue menoleh, ternyata Gabriel. Pupus sudah harapan gue.
Tapi, gue mencoba untuk terlihat biasa saja, lalu mengeluarkan jokes receh. "Terlambat terus bosku!"
Meysha tersenyum memandang Gabriel, membuat hati gue sedikit sakit.
"Sini duduk, Riel!" Meysha lagi-lagi menawarkan duduk, kali ini untuk Gabriel.
Membuat gue terkadang berpikir, kalo gue datang telat, kira-kira Meysha seperti itu juga nggak, ya? Soalnya gue selalu datang paling awal dari yang lain. Sekali-kali, gue coba ah.
Kini, kami duduk melingkar, dengan posisi gue, Gabriel, Meysha, Adara dan Kendra. Membuat gue merasa seperti jomblo yang malang, karena diapit oleh dua cowok.
"Gimana, kita jadi nyoba untuk buat ramuan dari buku yang kita pinjam dari Bu Wina?" Meysha membuka pembicaraan.
Kendra menanggapi. "Gue sih ayo aja, selagi bisa bantu-bantu."
Gue memilih untuk mengangguk saja, tidak berniat untuk menanggapi dengan suara karena masih kesal atas tindakan Meysha kepada Gabriel.
Adara berucap, "Kalau Kendra setuju, gue juga."
Meysha tersenyum dan mengangguk, kini menatap Gabriel yang ada di sebelahnya.
Sebenarnya, gue ingin sekali meledek dua sejoli yang ada di samping kiri gue, tapi masih belum mood.
Gabriel mengangguk setuju. "Boleh, selagi mengisi waktu luang."
Oh ya, gue lupa memberi tahu, kami ini sudah lulus SMA. Tapi, kami sama-sama belum mempunyai keinginan untuk kerja ataupun kuliah. Nah, hal ini juga yang menyatukan kami.
Padahal orang tua kami selalu memaksa kami untuk kuliah, supaya ada orang Desa Tiwa yang berpendidikan dan membangun Desa Tiwa supaya lebih maju, bukannya pergi meninggalkan tempat di mana kami di besarkan.
Sebenarnya, kami berlima ingin kuliah, tapi kami belum ada alasan yang kuat dan belum menemukan minat dan bakat masing-masing. Dan juga, kami berlima ingin merasakan masa muda, bebas tanpa kekangan dari manapun.
Meysha tersenyum puas. "Oke, besok ngumpul di rumah gue aja ya? Soalnya bukunya ada di rumah gue, dan ya, sekalian main dengan suasana baru. Oke?"
Kami berempat mengangguk menyetujui.
Sebelum bubar, kami sempat bercanda ria, sekaligus menggoda dua sejoli di antara kami. Setelah puas, akhirnya kami memutuskan untuk bubar, kembali ke rumah masing-masing.
Dan ada satu hal yang bikin gue terkejut, di saat semua orang sudah pergi meninggalkan tempat ini, Meysha memilih untuk membantu gue melipat karpet ibu gue. Biasanya, nggak ada sama sekali yang bantu.
"Terima kasih ya," ucap gue sedikit gugup.
Meysha tersenyum manis. "Karpetnya mau di bawa pulang lagi?"
Gue mengangguk.
Meysha kembali tersenyum. Tanpa dia sadari, bisa-bisa dia membuat gue diabetes. Karena melihat betapa manis senyum yang dimilikinya.
"Ya udah, gue pulang ya," katanya lembut.
Gue mengangguk lagi, tak tahu ingin berucap apa. Ingin mengantarkan pulang, pasti ditolak karena rumah kami beda arah.
Lalu, Meysha berjalan meninggalkan gue, yang masih mencerna apa yang baru saja terjadi.
Tapi tiba-tiba, entah dorongan dari mana, gue berteriak, "Hati-hati!"
Membuat Meysha menoleh dan tersenyum.
Haduh, fix ini mah, gue diabetes!