Malam itu Reina terbangun dari tidur yang nyenyak, tubuhnya terasa lelah meski pikirannya belum sepenuhnya tenang. Ia tidak menyadari bahwa waktu telah menunjukkan pukul dua belas malam, dan ia telah melewatkan jam makan malamnya. Perutnya mulai keroncongan, mengingatkan bahwa ia belum mengisi tenaga sejak siang.
“Haruskah aku turun ke dapur untuk makan sesuatu?” gumam Reina lirih, tangannya menekan perut yang terasa kosong. Matanya yang masih setengah terpejam menatap jendela kamar. Cahaya bulan yang redup masuk melalui tirai, menimbulkan bayangan lembut di lantai kamar.
Rasa malas sebenarnya menguasai dirinya. Menghirup udara malam dingin dan menuruni tangga yang panjang sepertinya melelahkan. Namun, rasa lapar itu jauh lebih kuat dari rasa malasnya. Reina menghela napas panjang sebelum menggerakkan kaki menuju pintu kamar. Ia membuka pintu perlahan dan menapaki anak tangga. Rumah itu gelap, hampir semua lampu mati kecuali lampu dapur yang dibiarkan menyala hangat, memancarkan cahaya keemasan yang menenangkan.
Setibanya di dapur, Reina membuka lemari es. Matanya menangkap sebotol minuman sari buah dalam kaleng. Tanpa pikir panjang, ia membuka penutupnya dan meneguk sedikit demi sedikit, merasakan kesegaran yang menenangkan perutnya. Setelah itu, ia mengambil dua lembar roti tawar, mengoleskan selai stroberi, lalu menyantapnya perlahan sambil duduk di meja makan.
Sementara itu, dari lorong terdengar langkah kaki yang pelan namun pasti. Reina menoleh. Dari balik bayangan muncul Meylin, pelayan setia keluarga itu, memegang gagang sapu dan wajahnya tampak terkejut.
“Ya ampun, Nona Reina! Aku kira ada maling masuk rumah ini,” seru Meylin, suaranya setengah bergetar.
Reina tersenyum tipis, menatap pelayan yang sudah seperti keluarga sendiri itu. “Ah, maaf mengagetkanmu, Meylin. Aku lapar, jadi turun ke dapur mencari sesuatu untuk dimakan.”
Meylin menarik napas lega. “Apakah Nona ingin saya buatkan sesuatu? Saya bisa memanaskan kembali makanannya jika masih hangat.”
Reina menggeleng perlahan, tersenyum lembut. “Tidak perlu, aku sudah cukup kenyang. Roti dan jus ini sudah memadai.”
“Baiklah, kalau begitu. Apakah ada hal lain yang Nona perlukan?” tanya Meylin penuh perhatian.
“Tidak ada. Aku akan kembali ke kamar. Terima kasih, Meylin. Kau bisa istirahat sekarang.”
“Baik, Nona. Selamat malam. Semoga mimpi indah,” jawab Meylin sambil tersenyum tulus.
Reina menatap punggung Meylin yang perlahan menjauh, matanya sedikit berkaca-kaca. Ia tahu Meylin adalah satu-satunya pelayan yang benar-benar peduli padanya. Semua pelayan lain mengikuti perintah ibu tirinya, yang menekankan untuk mengabaikan Reina. Meylin, bagaimanapun, tetap setia, membimbing Reina saat pemecatan besar-besaran terjadi beberapa bulan lalu. Tanpa Meylin, mungkin Reina akan merasa semakin tersisih dan tak berdaya.
Meylin sendiri menyadari risiko yang dihadapinya. Pelayan lain yang membangkang atau membela Reina akan dipecat tanpa gaji. Namun, ia tetap berdiri tegak di samping gadis itu. Hatinya penuh rasa sayang dan perlindungan yang tulus.
---
Keesokan paginya, suara ketukan di pintu membangunkan Reina.
“Tok… tok…”
Ia mendengarnya, namun masih setengah mengantuk.
“Tok… tok…” Suara itu terdengar lagi, lebih jelas kali ini.
Reina mengerutkan kening, menarik selimut hingga dagu, lalu bangkit perlahan. “Siapa di sana?” tanyanya lirih. Ia menatap pintu kamar, masih setengah bermimpi.
Begitu dibuka, tampak Meylin berdiri dengan postur sopan. “Nona, Tuan memanggil Anda untuk sarapan.”
Reina mengangguk pelan. “Baik, nanti aku turun. Terima kasih, Meylin.”
Ia menutup pintu, menatap cermin di kamarnya. Cahaya pagi menembus jendela, membuat bayangan wajahnya memantul di kaca. Rambut panjang hitamnya jatuh lembut di bahu, dihiasi jepitan kecil di sisi kepala. Mata cokelatnya menatap diri sendiri, berusaha menguatkan hati. Ia tahu hari ini bukan hari biasa. Perjodohan dan pertemuan dengan pihak JR Group akan menjadi bagian hidupnya yang tak bisa ia hindari.
Dengan napas dalam, ia turun ke ruang makan. Setiap langkah terasa berat, tapi tatapan matanya tegas. Saat tiba, ayahnya sudah menunggu di kursi utama. Lidya dan Merry duduk di seberang, masing-masing sibuk dengan piringnya, namun tak bisa menyembunyikan pandangan menilai mereka pada Reina.
“Selamat pagi, Ayah,” sapa Reina dengan lembut, namun nada suaranya tetap tegas.
“Selamat pagi, Nak. Ayo duduk, kita sarapan bersama,” jawab ayahnya.
Reina menarik kursi dan duduk di sebelah Merry. Ia merasakan tatapan dingin dari ibu tirinya, yang tersenyum tipis tapi penuh kepalsuan. Merry pura-pura tidak melihatnya, fokus pada makanan, namun Reina tahu betul bahwa mata itu penuh hinaan. Dalam hati, ia berpikir, Apakah dia akan muntah jika menatap wajahku?
Ayahnya membuka pembicaraan. “Reina, mungkin nanti kamu akan menerima undangan dari JR Group. Mereka ingin mengadakan pertemuan pribadi denganmu.”
“Baik, Ayah. Aku mengerti,” jawab Reina singkat. Namun hatinya berdebar, membayangkan pria misterius yang konon memiliki reputasi dingin dan rumit itu.
Merry menoleh sambil tersenyum sinis. “Aku dengar, pria itu seorang homo. Orang dengan kepribadian buruk. Sulit membayangkan bagaimana rasanya hidup dengan orang seperti itu.”
Ucapannya seperti bara yang menyulut amarah Reina. Napasnya tercekat, tangannya yang memegang sendok bergetar.
BRAK!
Reina menabrakkan tangan ke meja, membuat piring-piring bergetar dan air di gelas Merry tumpah ke bajunya. Semua terkejut.
“Ups! Maaf, tidak sengaja,” ucap Reina dengan nada datar, tapi matanya menatap penuh tantangan.
Merry menatapnya marah, tapi sebelum ia bereaksi, Lidya menegur dengan isyarat tangan untuk tetap tenang. Reina lalu berdiri dan berkata dengan santai, “Sepertinya aku sudah tidak berselera sarapan lagi. Aku pamit, Ayah.” Lalu ia berjalan pergi, seolah tidak terjadi apa-apa.
Para pelayan berbisik di sudut ruangan.
“Nona Reina mulai lagi membuat keributan.”
“Benar-benar tidak tahu sopan santun,” sahut yang lain.
Namun Meylin mengerti. Ia tahu Reina tidak pernah berniat membuat keributan. Gadis itu hanya terprovokasi oleh saudari tirinya.
Lidya menghela napas dan berdecak kesal. “Lihat Ayah, lihat bagaimana sikapnya! Benar-benar memalukan.”
Ayah Reina menatap tegas. “Cukup, Lidya. Jangan bawa-bawa ibunya. Semua ini karena Merry yang mulai duluan.”
Merry menunduk, namun mencoba membela diri. “Maaf, Ayah. Aku hanya ingin menyampaikan pendapatku. Lagipula rumor itu memang benar adanya.”
“Sudah cukup!” bentak ayahnya sambil melempar serbet. Ia berdiri dan meninggalkan ruangan.
Lidya memutar bola matanya. “Dasar anak bodoh!” bisiknya pada Merry.
Namun Merry hanya diam, wajahnya tampak puas sekaligus jengkel. Ia merasa berhasil memicu emosi Reina—sesuatu yang bisa menjadi bara yang membakar hubungan mereka di masa depan.
Setelah ayahnya pergi, Reina duduk di kamarnya, menatap jendela. Cahaya matahari pagi menembus tirai, menyinari wajahnya. Ia menarik napas panjang. Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merendahkan aku. Bahkan jika harus menghadapi semua ini sendirian, aku akan bertahan.
Di luar jendela, burung-burung berkicau, tapi di hati Reina, ada getaran cemas sekaligus penasaran. Ia tahu pertemuan dengan JR Group—dan pria bernama Devan Rajendra—akan segera mengubah hidupnya selamanya.
Malam itu, sebelum tidur kembali, Reina menulis di jurnalnya:
"Jika ini memang takdirku, aku akan menjalaninya. Tapi aku ingin tetap menjadi diriku. Tidak ada yang bisa mengambil kebebasan hatiku, bahkan pria yang paling kuat sekalipun."
Dan di tempat lain, jauh dari pandangan mata, seseorang menatap foto seorang gadis berambut panjang di mejanya. Mata itu tajam, penuh rasa penasaran.
“Reina…” gumamnya pelan. “Mari kita lihat seberapa jauh kau bisa bertahan.”