BAB 1~ BERITA BURUK
Kehidupan Reina seolah runtuh dalam sekejap.
Kabar kebangkrutan perusahaan keluarganya datang seperti petir di siang bolong—disampaikan langsung oleh ayahnya dengan wajah pucat dan mata yang tidak berani menatapnya.
“Perusahaan kita... bangkrut, Nak.”
Suara ayahnya terdengar parau dan lemah, seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya.
Reina terpaku. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Bagaimana bisa, Yah? Bukankah perusahaan itu Ibu bangun dari nol dengan kerja keras dan air mata? Bagaimana mungkin semuanya lenyap begitu saja?”
Sang ayah hanya terdiam. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Reina menatapnya dengan campuran marah, kecewa, dan tidak percaya. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.
Dalam keheningan yang mencekik itu, Reina mulai memahami akar dari kehancuran ini. Sejak ayahnya menikah lagi, semuanya berubah. Rumah yang dulu hangat kini terasa dingin dan penuh kepalsuan. Lidya—istri baru ayahnya—membawa warna yang salah ke dalam keluarga mereka.
Ayahnya yang dulu tegas dan bijak kini menjadi pria yang mudah dikendalikan. Ia menuruti segala permintaan istrinya tanpa berpikir panjang. Uang perusahaan habis digunakan untuk memenuhi gaya hidup mewah Lidya dan putrinya, Merry. Mereka gemar berbelanja barang mahal, berpesta, dan pamer kekayaan di media sosial.
Sementara itu, Reina hanya bisa menyaksikan semua itu dengan hati perih. Ia tidak hanya kehilangan kasih sayang ayahnya, tetapi juga kehilangan tempat di rumahnya sendiri. Ia menjadi orang asing di antara keluarganya.
Hari itu, sang ayah menyerahkan sebuah map cokelat kepadanya.
“Reina, Ayah ingin kau membaca ini,” ucapnya lirih.
Reina menerima map itu dengan tangan bergetar. Saat membuka dan membaca isinya, tubuhnya langsung kaku. Surat perjanjian hutang. Jumlahnya sangat besar—mustahil dilunasi dalam waktu dekat. Tapi bukan itu yang paling membuatnya terkejut, melainkan satu klausul kecil di bagian bawah dokumen.
> Sebagai jaminan pelunasan, pihak peminjam bersedia menikahkan salah satu putrinya kepada perwakilan JR Group.
Reina mendongak menatap ayahnya. “Ayah... apa maksudnya ini? Apa aku yang harus menggantikan posisi itu?”
Sang ayah menunduk. Ia tidak sanggup menjawab, dan diamnya menjadi jawaban paling menyakitkan bagi Reina.
“JR Group,” gumamnya lirih. Nama itu sudah sering ia dengar. Sebuah konglomerasi besar dengan jaringan bisnis di berbagai negara, dipimpin oleh pria muda bernama Devan Rajendra.
Banyak rumor beredar tentangnya—dari sifatnya yang dingin dan kejam, hingga kabar miring bahwa ia tidak menyukai perempuan. Sosok misterius itu jarang sekali muncul di media, selalu diwakili oleh asistennya dalam urusan publik.
“Jadi, Ayah ingin aku menikah dengan orang itu?” tanyanya pelan, berusaha menahan gemetar dalam suaranya.
Ayahnya menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Nak, Ayah tidak punya pilihan lain. Jika hutang ini gagal dibayar, Ayah akan masuk penjara. Nama baik keluarga kita akan hancur. Tolong... tolong bantu Ayah sekali ini saja.”
Air mata Reina akhirnya jatuh.
Marah, kecewa, dan takut bercampur menjadi satu. Tapi di balik amarah itu, ada kasih yang tidak bisa ia hapuskan. Ia tidak tega melihat ayahnya menderita sendirian.
Ia menggigit bibir, menatap pria itu lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Baik, Yah... aku akan melakukannya.”
Sang ayah menutup wajahnya dan terisak. Ia memeluk Reina erat-erat, seolah pelukan itu bisa menebus semua kesalahan yang telah ia perbuat. Tapi bagi Reina, keputusan ini terasa seperti hukuman. Hidupnya yang dulu damai kini akan berubah selamanya.
---
Keesokan harinya, kabar tentang perjodohan itu menyebar ke seluruh rumah.
Lidya terlihat begitu gembira, meski bukan anak kandungnya yang akan menikah dengan pewaris JR Group. Baginya, ini adalah jalan untuk mengembalikan reputasi keluarga dan kekayaan yang sempat hilang.
Namun, Merry justru marah besar.
“Aku tidak mau menikah dengan pria itu!” teriaknya saat sarapan pagi. “Kalian tahu kabar tentang dia, kan? Dia dingin, aneh, dan katanya tidak tertarik pada perempuan! Aku tidak mau hidup seperti tawanan!”
Lidya berusaha menenangkan putrinya, tapi Merry terus berteriak, sementara Reina hanya diam di sudut meja, menatap kosong.
Merry lalu menoleh padanya dengan senyum sinis. “Jadi, kau yang akan menggantikanku? Selamat ya, Reina. Semoga kau menikmati kehidupan bersama pria kaya yang bahkan tidak akan menyentuhmu.”
Reina mengangkat wajahnya perlahan, menatap Merry dengan tatapan tenang namun tajam.
“Terima kasih atas doanya,” katanya lembut tapi menusuk. “Setidaknya aku cukup berani menghadapi kenyataan, bukan lari darinya.”
Wajah Merry langsung memerah.
“Dasar gadis sombong bermulut tajam!” serunya, lalu bergegas meninggalkan ruangan dengan langkah keras.
Setelah Merry pergi, Lidya hanya menghela napas panjang. “Kau beruntung, Reina,” katanya datar. “Pernikahan ini akan menyelamatkan keluarga kita. Jadi, jangan sia-siakan kesempatan ini. Tidak semua perempuan punya peluang menjadi istri pewaris perusahaan besar.”
Ucapan itu seperti pisau dingin yang menusuk d**a Reina. Ia tidak menjawab. Hanya menunduk dan menggenggam tangannya erat-erat di pangkuan.
Malamnya, Reina duduk sendirian di balkon kamarnya. Angin berembus lembut, membawa aroma melati dari taman. Ia menatap langit malam yang gelap tanpa bintang, merasa seolah langit pun ikut bersedih untuknya.
“Apa ini jalan yang benar, Bu?” bisiknya lirih, seolah berbicara kepada arwah ibunya. “Aku takut... tapi aku tidak punya pilihan.”
Air matanya menetes perlahan, membasahi pipinya. Dalam hati kecilnya, ia masih berharap keajaiban datang—entah bagaimana caranya. Tapi kenyataan tidak pernah semudah itu.
Di ujung malam, ia menatap map cokelat di meja. Di sana tertulis nama yang kini akan mengubah seluruh takdir hidupnya: Devan Rajendra.
“Jika ini memang takdirku,” ucapnya pelan, “aku akan menjalaninya. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan membiarkan siapa pun merendahkan aku, termasuk pria itu.”
Reina menutup mata, menarik napas, lalu melangkah maju dengan tegar.
Langit malam tampak lebih kelam dari sebelumnya, tapi di mata Reina, ada secercah cahaya kecil—sebuah keberanian yang lahir dari rasa sakit.
Dan di tempat lain, di balik gedung tinggi milik JR Group, seorang pria berjas hitam menatap foto seorang gadis berambut panjang di mejanya.
“Reina...” gumamnya pelan. “Mari kita lihat, seberapa jauh kau bisa bertahan.”
---