Aku memang nggak bisa lupain kamu, aku memang cinta sama kamu, aku memang sayang sama kamu, dan semua itu nggak aku rasain ke Pieter. Tapi maaf, Rey. Kita nggak bisa sama-sama lagi, ada sesuatu yang cuman aku yang bisa ngerti.
Ingat pepatah yang bilang, kalau sayang nggak harus memiliki? Itu berlaku untuk kita, Rey.
Kata-kata Nesya yang Pieter dengarkan tadi, selalu ,memenuhi isi kepala Pieter. Dengan sengaja Pieter mengikuti Nesya diam-diam, dan tadi ia mendengar semua yang Rey dan Nesya bicarakan.
Semenjak itu pula Pieter selalu bertanya-tanya, sejauh apakah hubungan Nesya dan Rey dulu? Mengapa sangat sulit baginRey untuk melepaskan Nesya, bahkan setelah 7 tahun tidak pernah saling mengabari.
Pieter selalu memikirkan itu, walau membuat hatinya sakit. Setidaknya itu bisa membantunya, untuk menentukan pilihan. Tetap perjuangkan, atau tinggalkan.
Hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah, saat kita hidup bersama orang yang kita cintai dan juga mencintai kita. Tapi, apa gunanya jika hanya satu pihak yang mencintai? Bahkan itu rasanya bukan seperti hidup.
Pieter mengambil benda pipih berbentuk kotak dari saku jaz putihnya, ia mengutak atik ponselnya sebentar. Setelah itu, ia mengirimkan pesan yang baru saja ia ketik.
Pieter Berydno : pulang skrg ya, Nes, aku tunggu di apart.
Anesya Jasmeen : ya
Pieter tersenyum tipis kala melihat balasan dari Nesya, hanya bertambah satu huruf, namun sudah membuat Pieter senang. Biasanya Nesya hanya akan membalas, y. Itu sangat menyakitkan.
●●●●●
Rey pulang dalam keadaan marah, ia kira pertemuannya dengan Nesya akan membuat mereka kembali bersatu. Namun, ternyata sebaliknya.
Gadis itu terus mendorongnya menjauh, namun Rey malah terus tertarik. Ini seperti sebuah karma, dahulu Rey terus mendorong Nesya menjauh namun gadis itu malah tertarik.
Rey menghela nafasnya kasar, ia membuka ponselnya kemudian menatap angka-angka kecil di layar ponselnya.
Monday, 24 July
Rey memejamkan matanya mengingat tanggal ini, ah, seandainya mereka tidak berpisah, hari ini adalah Anniversarry mereka yang ke delapan tahun.
Dan, hari ini adalah hari ke dua belas mereka berada di London. Itu artinya, waktu mereka tinggal delapan belas hari, lagi. Sedangkan dua belas hari yang mereka habiskan belum membuahkan hasil apa-apa.
Melihat orang yang kau sayangi pergi meninggalkan mu memang sulit, namun lebih sulit lagi saat kau mengingat mereka berkata tidak akan pernah pergi.
Rey jenuh, rasanya semuanya sudah sia-sia. Selama tujuh tahun ia menjadi Rey yang tidak berperasaan, dingin, semua itu hanya karena ia ingin semua wanita yang mendekatinya menjauh.
Sayang sekali, orang yang ia tunggu sudah menjadi tunangan orang lain. Tapi ada satu hal yang membuat Rey terus berjuang, Nesya hanya bertunangan, belum menikah. Janur kuning belum melengkung, dan Rey masih memiliki kesempatan.
"Dan, setelah delapan belas hari lagi, gue bakal benar-benar berhenti untuk memperjuangkan lo, Nesya." ujar Rey pada dirinya sendiri, seraya merebahkan tubuhnya ke atas kasur secara kasar.
Perlahan, Rey memejamkan matanya. Mengistirahatkan tubuh lelahnya akibat perang batin yang menguras pikiran dan tenaganya.
Rey mulai terhanyut ke alam mimpinya, berpetualang di alam fana itu. Terkadang seseorang tidak ingin bangun dari mimpinya, karena mimpi bisa lebih indah daripada dunia nyata.
******
Nesya melajukan mobilnya dengan kecepatan standar, ia buru-buru pulang ke apartemennya saat Pieter menghubunginya untuk segera pulang.
Lima belas menit menyetir di jalan raya, Mobil jaz putih tulang kesayangan Nesya yang jauh-jauh ia bawa dari Indonesia sudah memasuki arena parkiran bawah tanah apartemennya.
Setelah memarkirkan mobilnya, Nesya segera keluar dan menekan tombol analog pada kuncinya untuk mengunci mobilnya dari luar.
Kaki Nesya melangkah cepat dan membawanya ke depan pintu besi apartemennya. Jari-jari Nesya dengan lihay menekan enam digit angka untuk membuka pintu apartemennya.
Saat pintu terbuka, Nesya segera masuk. Melepas flat shoes hitam yang ia kenakan dan meletakkan sepasang sepatu itu di tempatnya.
Nesya melihat Pieter yang sudah menunggunya lama, Nesya tersenyum manis seraya menghampiri Pieter dan segera duduk di samping pria itu.
"Udah lama?" tanya Nesya saat sudah duduk tepat di samping Pieter.
"Lumayan." jawab Pieter sekenanya, nadanya datar. Tidak seperti biasanya, ia akan sangat bersemangat bila sedang berbicara dengan gadis yang di cintainya itu.
Nesya menyandarkan tubuh lelahnya ke sofa, ia memijit pelipisnya yang terasa penat akibat terlalu banyak bekerja. Bahkan cuti pun jarang ia lakukan.
"Cape banget." keluh Nesya seraya menghela nafasnya berat.
Pieter sudah biasa mendengarkan keluhan lelah gadisnya itu, rasanya Pieter tidak tega ingin membahas masalah itu sekarang. Melihat kondisi Nesya yang sangat lelah.
"Gimana kerjaan kamu, Rey?" tanya Nesya pelan. Gadis itu terlalu banyak pikiran, sehingga ia tidak sadar salah menyebutkan nama.
Menyadari kesalahannya, Nesya langsung membelalakan matanya. Ia menatap Pieter yang ternyata juga tengah menatapnya tajam.
"Eng.." desis Nesya seraya menggigit bibir bawahnya. "Maaf, salah sebut."
Bohong kalau Pieter tidak marah, rasanya ia ingin menenggelamkan orang yang bernama Rey itu sekarang juga. Berani sekali meracuni pikiran gadis yang sangat Pieter cintai.
"Kerjaan aku, baik." jawab Pieter tanpa memedulikan kesalahan bicara Nesya tadi. Ia hanya tidak ingin memperburuk suasana.
Hening. Tidak ada lagi yang memulai percakapan, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Pieter membuka suaranya terlebih dahulu.
"Aku mau tanya sesuatu." ucap Pieter dengan nada datar.
Darah Nesya berdesir panas, jantungnya memacu cepat. Entahlah, ia merasa jika Pieter akan membahas hal yang paling ia hindari saat ini.
Bibir Nesya sangat berat hanya untuk menjawab 'iya', jadi, Nesya hanya menganggukkan kepalanya. Sebagai tanda bahwa ia memperbolehkan Pieter untuk bertanya.
"Sejauh apa, hubungan kamu dengan pria bernama Rey itu, dulu?"
Ah, benar kan.
Nesya terpaku sesaat, pertanyaan Pieter tidak sulit. Namun, untuk menjawab pertanyaan itu, mengharuskan Nesya untuk memutar kilas baliknya di masalalu.
Sesuatu yang selalu ia hindari demi seseorang, dan sekarang seseorang itu yang menyuruhnya untuk mengingat lagi kejadian manis itu.
Menarik nafasnya dalam, Nesya berusaha menjawab sejujur mungkin. "Kami hanya berpacaran sewaktu kelas dua SMA, saat kenaikan kelas tiga, aku mengakhiri hububgan kami. Karena aku mau lanjut sekolah di sini." jawab Nesya jujur.
Pieter mengerutkan dahinya membuat alisnya bertautan. "Berarti, kalian putus karena kamu ingin sekolah di sini? Bukan karena masalah besar?"
"Ya." balas Nesya singkat.
Sekarang Pieter mengerti mengapa Rey terus mengejar-ngejar Nesya, kisah cinta mereka belum benar-benar usai. Itu berarti Nesya sudah menggantung Rey selama ini.
"Kamu, sayang sama dia?"
Nesya sedikit tersentak, namun ia buru-buru menetralkan perasaannya. "Enggak." jawabnya bohong.
Pieter berdecih, ia tahu Nesya berbohong. "Aku paling nggak suka di bohongi, Anesya." tegas Pieter.
Nesya menggigit bibir bawahnya, "hm."
"Cukup, aku sudah bisa menilai semuanya dari sini." jeda Pieter. "Sekarang, untuk terus melanjutkan hubungan ini, kamu harus jawab pertanyaan terakhir aku."
Pieter menghela nafasnya pelan, setelah itu ia melontarkan pertanyaan terakhir yang akan membuatnya menentukan pilhan.
"Apa yang bikin kamu mau tunangan sama aku?"
----------------------------------------------------------------
Hai!!
Unch, lama banget nggak update :(.
Kangen nggak? Ha ha ha
Jadi, kemaren itu wp aku ke log out. Dan, aku lupa password. Terus nunggu konfrim lewat emal gitu, ribet pokoknya.
Hehe, udah dulu ya.
Salam ®©