"Ma." Umaya memanggil sang mama yang duduk tepat di sampingnya.
Meli yang sedang sibuk dengan menonton tv langsung melihat ke arah Umaya. "Iya, kenapa, sayang?" tanya Meli.
"Mama apa gak kangen papa? kenapa mama sama papa bisa bertengkar sih? padahal biasanya gak pernah sampai separah ini." Umaya bertanya pada mamanya. Dia penasaran apa penyebab mama dan papanya bertengkar.
Meli mengerutkan dahinya. "Kenapa kamu tiba-tiba nanya? mama begini juga ada alasannya kok," jawab Meli.
"Iya, Umay tau kalau yang mama lakuin pasti ada alasannya. Tapi alasannya itu apa, ma? mama kan gak pernah begini. Kenapa mama jadi begini? apa karena Umaya?" tanya Umay lagi.
"Kalau benar mama bertengkar sampai separah ini sama papa karena Umay, Umay beneran ngerasa bersalah, ma. Umay gak punyaku niat sama sekali untuk buat mama dan papa bertengkar." Umaya merasa bersalah.
"Kenapa kamu merasa bersalah? bukan kamu kok yang salah. Dan seharusnya yang merasa bersalah itu papa kamu, bukan kamu. Lagi pula papa kamu juga uda sangat keterlaluan. Dia benar-benar egois, sesekali dia memang harus diginiin, biar tau rasanya kehilangan anak istri itu gak enak, jadi kedepannya gak egois lagi." Meli tak setuju dengan Umaya yang merasa bersalah. Karena yang salah bagi Meli tetap lah Bima.
"Tapi, ma, mama tau kan alasan papa itu gak suka sama hubungan Umay sama mas Raka itu apa? papa juga mau yang terbaik untuk Umay, kalau papa begitu bukannya seharusnya kita jelasin ke papa baik baik dan perlahan-lahan biar papa bisa menerima dengan ikhlas?" Umaya bertanya pada sang mama.
Meli menghela nafasnya. "Kamu ini kenapa sih, sayang? kenapa sih kamu tuh suka plin plan? kamu sebelum pergi dari rumah merasa kalau kamu itu tertekan, merasa kalau kamu gak dikasih hak memilih sama papa. Kamu juga merasa tertekan dengan papa, bahkan kamu juga sangat marah sama papa. Tapi kenapa sekarang kamu jadi belain papa? kenapa jadi berubah pikiran?" tanya Meli balik.
"Ya-yaaa ... ya gak gitu juga, ma. Umay tuh gak tega kalau papa sendirian di rumah. Apa lagi Umay tau kan kalau alasan papa itu untuk kebaikan Umay, walaupun papa egois. Tapi kan tetap aja papa mau yang terbaik untuk Umay, walaupun yang dilakuin itu salah." Umay memang sangat sayang pada sang papa, dia selalu kepikiran papanya setelah keluar dari rumah. Umay kepikiran bagaimana kalau papanya sendiri di rumah, papanya tidak ada yang menyajikan makanan, tidak ada yang makan bersama di meja makan bersama papanya, tidak ada yang mengurus pakaian dan keperluan kerja papanya. Umay merasa sedih papanya tinggal sendiri di rumah tanpa dia dan mamanya.
Meli menghela nafasnya. Meli sudah sangat paham bagaimana watak Umay. Umay memang seperti itu, hatinya akan cepat luluh kalau menyangkut orang-orang terdekatnya.
"Mama tau banget sifat kamu yang begini. Tapi kamu juga harus bisa egois sedikit, sayang. Kalau kamu nurut terus sama papa, kamu gak mau menyuarakan keinginan kamu, kamu gak mau berjuang untuk hak kamu, gimana kamu mau dapat restu? memangnya kamu mau nikah sama orang lain selain Raka? kalau kamu mau nikah sama orang lain selain Raka, yaudah ayo kita balik ke rumah papa sekarang." Meli bertanya pada Umay, dia berusaha meyakinkan Umay supaya tidak luluh dulu sebelum mendapat restu.
"Ya enggak lah, ma. Mana mau Umay nikah kalau gak sama mas Raka. Pokoknya Umay mau nikah sama mas Raka aja, gak mau sama yang lain. Umay cintanya sama mas Raka, bukan orang lain." Umaya menolak keras tawaran mamanya tadi.
"Lah itu kamu nolak mau nikah sama orang lain. Tapi baru segini aja kamu uda mau nyerah. Gimana sih? ini jalan satu satunya supaya papa kamu bisa luluh dan ngasi restu ke kamu. Kita lihat seberapa tahannya papa kamu hidup tanpa anak istri. Kalau dia uda gak tahan, dia pasti bakalan cari kita dan minta kita balik ke rumah. Nahh saat disuruh balik ke rumah nanti, di situ saatnya kamu minta restu sama papa. Bilang ke papa kamu gak akan mau pulang kalau gak direstui nikah sama Raka. Dengan begitu papa pasti bakalan ngasih restu di hubungan kalian. Terus kalian bisa nikah secepatnya." Meli menjelaskan tujuan mereka pergi dari rumah.
"Tapi kalau papa tetap gak mau kasih restu gimana, ma?" tanya Umay cemas.
"Gak mungkin. Kalau papa kamu gak mau kasih restu, kamu harus bertahan ngambeknya, mama bantuin. Biarin aja sampe papa kamu luluh pokoknya. Mama yakin sekeras-kerasnya papa kamu, dia tetap gak bisa hidup tanpa anak istri. Jadi kamu harus kuat, kamu jangan goyah dulu. Kita harus bertahan demi restu." Meli menyemangati Umay supaya Umay tetap semangat dan tidak menyerah.
Umay menghela nafasnya kasar. Pilihan terberat yang pernah dia hadapi adalah restu orang tua dan mempertahankan hubungannya.
"Mama bukannya ngajarin kamu melawan sama orang tua, bukan. Mama cuma mau yang terbaik untuk kamu, mama mau liat kamu bahagia. Mama gak bisa dan gak tega liat kamu setiap hari lesu, setiap hari murung karena papa. Mama tega. Mama juga mau liat anak mama pacaran, mama mau ngerasain makan malam bersama kamu dan pacar kamu. Mama gak suka liat kamu harus pacaran dan jalan diam-diam tanpa harus ketahuan papa seperti buronan. Karena itulah mama bakalan bantuin kamu buat dapatin restu papa. Mama yakin hubungan kamu dan Raka bakalan direstui kok sama papa kamu, tapi kamu dan Raka harus sabar menunggu." Meli mengelus puncak kepala Umay dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Umay terharu melihat perjuangan mamanya untuk kebahagiaan dirinya. "Makasih ya, ma. Mama benar benar mama yang terbaik. Mama adalah mama yang terbaik di seluruh dunia. Pokoknya Umay sayang banget sama mama." Umay tersenyum lebar, lalu dia memeluk mamanya dengan erat.
Meli ikut tersenyum, melihat senyuman di wajah Umay membuat hati Meli lega. Pasalnya belakangan ini senyum Umay benar-benar langka dan sulit untuk dilihat.
"Mama bakalan ngelakuin apa aja untuk kebahagiaan kamu, sayang. Jadi kamu jangan pernah merasa sendiri ya. Ada mama yang selalu siap dukung kamu. Mama bakalan ngelakuin apa aja demi kebahagiaan kamu." Meli masih betah mengelus puncak kepala sang anak dengan senyum tulusnya.
Umay tersenyum bahagia. "Bahagia banget Umay punya mama yang hebat dan baik hati. Makasih, ma, makasih uda jadi mama Umay di kehidupan ini." Umay berterimakasih pada Meli.
Meli tersenyum. "Makasih kembali untuk kamu, makasih uda lahir jadi anak mama yang cantik dan baik hati." Meli memeluk Umay semakin erat, menikmati pelukan cinta ibu dan anak.