2. Saphira Ayushita

1321 Kata
Author Pov Dean mendengar suara yang berbeda saat kakinya melangkah masuk ke dapur. Ada Aira yang membantu Aliyah dan Mbok memasak. Entah sejak kapan wanita itu pulang. Namun saat melihat senyum bahagia di raut wajah ibunya yang pucat, rasa hangat memenuhi d**a Dean. Demi senyum itu, dia akan melakulan apapun. Bahkan hal-hal yang hatinya tidak inginkan. "Uncle udah pulang!" teriak Irisa, putri Aliyah yang berusia 3 tahun. Ibu Dean tersenyum lebar menyambut anaknya. Sementara itu Aira ikut menoleh mendapati suaminya berdiri di pintu masuk dapur. "Aira pulang Aksa," kata sang ibu dengan semringah. Dean memaksakan senyum kecil mendekat. "Gimana keadaan ibu hari ini?" tanyanya pada wanita yang melahirkannya itu. Tubuh wanita paruh baya itu kurus. Wajahnya pucat, rambutnya menipis. Sejak lima tahun lalu kanker rahim diidapnya. "Ibu ngerasa sehat banget hari ini. Karena ada Aira pulang," ujarnya membuat d**a Dean seolah terhimpit. "Ayok kita makan, makanan udah siap," sela Aliyah yang mulai mengangkat hasil masakan ke meja makan. "Aira tidur di sini kan?" Pertanyaan dari ibu membuat Aira dan Dean menghentikan makannya. Dean melirik istrinya sekilas. Didapatinya wanita itu mengukir senyum lebar sebelum menjawab. "Iya Bu." ... Di sinilah dia sekarang. Duduk di ranjang king size yang pemiliknya sedang mandi. Kamar yang bercat abu-abu muda itu masih sama seperti terakhir kali dirinya tidur di sini. Aroma Dean menguar di penjuru kamar. Aira teringat dengan percakapannya bersama ibu mertuanya tadi. Sang ibu sedang duduk di taman sendirian saat dia datang. Raut sedih itu lantas berubah cerah ketika menyambutnya. "Aira," panggilnya dengan suara lembut. Aira kemudian balas tersenyum dan memeluk ibu dari suaminya itu. Yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ada tusukan sakit ketika melihat wanita paruh baya yang sedang melawan penyakitnya itu. Dirinya dengan kuat mencegah air matanya turun saat tangan kurus itu membelai pipinya lembut. Meski tak bisa mencegah matanya memburam. "Ibu kangen banget sama kamu. Aira kamu udah pulang kan? nggak pergi-pergi lagi ya." Pinta itu membuat dadanya sesak dipenuhi rasa bersalah. Karena dia tidak bisa menjanjikan apapun. Terlebih harapan kosong pada ibu yang begitu menyayanginya. Hampir tak pernah absen seminggu sekali ibu mertuanya menelepon. Melebihi intensitas komunikasinya dengan ibunya sendiri. Juga jauh melebihi komunikasi dengan Dean. Ibu mertuanya suka menanyakan kabar, mengingatkannya makan. Membicarakan cerita-cerita ringan. Aira juga merasa nyaman untuk berbagi kesehariannya. Satu pertanyaan yang dilontarkan ibu mertuanya di akhir pembicaraan tadi juga menambah daftar beban di pikirannya. Pintu kamar mandi terbuka menampilkan Dean yang selesai mandi. Keluar dengan rambut basah, kaus putih polos dan celana hijau tua selutut. Laki-laki itu mengamatinya sambil lalu kemudian meraih kotak rokoknya dan berjalan ke balkon kamar. Aira mengikuti langkah suaminya. Malam kota Mataram sepi tak ada taburan bintang. Angin malam yang dingin membelai lengan telanjang Aira. Karena dia hanya mengenakan kaus pendek merah muda dan hotpants coksu. Sedikit dari pakaiannya yang tertinggal di lemari Dean. "Ibu menanyakan soal momongan," ujarnya membuka suara. Dean menghembuskan hisapan rokoknya panjang. Namun tidak menjawab. "Aku nggak tahu harus jawab apa," lanjut Aira. Pertanyaan itu kerap ditanyakan ibunya semenjak setahun terakhir. Dean sedikit bersyukur keberadaan istrinya di Jakarta menjadikannya sedikit lepas dari berondongan pertanyaan itu. Karena sungguh dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Keduanya menjalani pernikahan tanpa ada harapan apapun untuk ke depan. Seolah menunggu waktu hingga akhirnya selesai. "Sejak kapan kamu jadi tinggal di rumah?" tanyanya. Dulu Dean tinggal di apartemen atau di resor Pandawa. Hanya seminggu atau dua minggu sekali pulang. "Enam bulan lalu. Kesehatan ibu menurun, Aliyah dan Irisa juga sendirian," kata Dean. Aira tahu kabar adik iparnya bercerai setahun yang lalu. Padahal mereka memiliki anak yang masih kecil. Dirinya tidak tahu alasan yang membuat Aliyah dan Kristan berpisah. Seingatnya Aliyah dan Kristan saling mencintai dan begitu dimabuk cinta saat awal-awal menikah. Lagi-lagi waktu membuat semua berubah. Aira mengamati Dean berjalan ke sudut balkon. Mengambil sekaleng bir yang sepertinya disimpan laki-laki itu di sana. Tidak mungkin menyimpan di bawah dan mendapatkan omelan Aliyah dan membuat ibunya makin khawatir. Decak pelan keluar dari bibir tanpa lipstik Aira. Wanita itu lantas meraih kasar botol bir yang baru akan menyentuh bibir suaminya. "Apa yang kau...?!" "Aku tidak suka bau alkohol!" ujarnya sembari melemparkan bir yang masih utuh itu ke tempat sampah di bawah. Tak menggubris reaksi suaminya, Aira lantas masuk ke kamar dan bergelung di bawah selimut. "Tutup pintunya, udara dingin," katanya membuahkan decak pelan Dean. Namun laki-laki itu lantas menghisap rokoknya panjang sebelum membuangnya. Lalu ikut masuk, menutup pintu balkon dan mematikan lampu kamar. Setelah ruangan berubah temaram dirinya merebahkan diri di samping sang istri yang sudah memejamkan mata. Pandangan Dean terpaku pada jari manis istrinya yang berhias cincin pernikahan. Sepertinya kembali dipakai Aira sebelum ke rumah. Cincin yang pasangannya kini berada di jari manisnya. Yang tadi juga dia pakai sebelum pulang. Entah kapan cincin itu sepenuhnya akan dilepas keduanya dan tak akan dipakai lagi. ... Sinar matahari mengganggu tidur nyenyak Dean di weekend. Harusnya dia bisa tidur hingga siang tanpa ada yang mengganggu. "Anterin aku hari ini," ujar sebuah suara disusul tarikan guling yang digunakan Dean menghalau sinar matahari ke wajahnya. Laki-laki itu justru berubah tengkurap dan mengabaikan permintaan Aira. Namun jelas Aira tak mudah menyerah. "Anterin aku hari ini, sayang," bisiknya di telinga Dean. Menimbulkan gelenyar geli di pria yang masih setengah tidur itu. Tak berhenti di sana, Aira membawa bibirnya ke leher sang suami. Dengan seringan bulu menempelkan bibirnya di sana, lalu memberikan kecupan-kecupan pelan. Membuat kepala Dean pening. Membuat tubuhnya meremang, terlebih ini masih pagi. Sialan wanita itu! Dengan kesal Dean lantas bangun dan duduk menghadap istrinya. Mendapati senyum manis di bibir Aira karena berhasil mendapatkan apa yang dia mau. "Kemana asisten kamu?" "Lala baru datang besok, aku ke Lombok sendirian. Ada beberapa pekerjaan. Dimulai mengunjungi beberapa tempat mulai dari pantai hingga tempat makan di Lombok. Besok baru dimulai pemotretannya. Tapi aku harus tahu bagaimana tempatnya lebih dulu supaya bisa nentuin konsepnya. Jadi kamu yang harus nganterin," jelasnya. Mata jernih terlihat berkilat antusias. Pandangan Dean lantas turun ke rambut panjang istrinya. Seingatnya kemarin dia sudah mengingatkan untuk mengubah warna rambutnya. Wanita itu benar-benar mengubah warna ungu di ujung-ujungnya menjadi merah muda. "Tidak bisakah rambut kamu normal sedikit?" tanyanya. Aira mengambil sejumput rambut panjangnya dan mengamatinya dengan puas. "Bagus kan ombrenya. Irisa aja suka sama rambut aku. Tapi aku jadi pengin coba ombre biru laut gitu. Bakal bagus buat photoshoot di pantai ya kan?" tuturnya. Dean tak habis pikir dengan yang ada di kepala istrinya. Laki-laki itu beranjak dari ranjang dan menuju kamar mandi. ... Tujuan pertama mereka bukan ke pantai. Aira justru memaksa Dean mengantarkannya ke The Griya, lokasinya di kawasan Ampenan. Keduanya melangkah memasuki galeri seni tersebut. Suasana cukup sepi jam 11 siang di weekend seperti ini. Dean melangkah dalam diam di belakang istrinya. Tanpa sadar mengamati apa yang dipakai Aira. Atasan putih sepinggang dipadukan dengan rok kuning gading motif bunga-bunga kecil sepanjang di bawah lutut. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dengan bandana yang mengikat di kepala. Kakinya yang beralaskan flat sandals bertali melangkah ringan menyusuri galeri. Aira dengan seksama mengamati sudut-sudut yang bisa dijadikan spot foto. Beberapa kali dia membuat catatan di note kecil yang dibawanya. Saat ide-ide melintas di kepalanya. Menjadi selebgram tidak semudah apa yang orang lihat. Hanya berfoto cantik dengan outfit cantik dan tempat indah. Dirinya harus mencari konsep apa yang diusungnya dalam setiap pemotretan. "Kayaknya bagus di situ," tunjuk Aira di dinding berbatu. Ada hasil kerajinan dari barang-barang bekas yang diletakkan di sisi sisinya. "Fotoin dong," katanya pada Dean yang memang membawa kamera. Lebih tepatnya, Aira yang memaksanya untuk membawa kamera. Aira lantas berdiri di tengah dinding batu. "Eh bentar," selanya saat Dean akan memotret. Wanita itu lalu mengeluarkan lipstik dari tas kecilnya. Mengoleskan pada bibir penuhnya yang berubah menjadi warna merah. Dean tak berkomentar saat mulai memotret. Beberapa kali Aira berganti gaya. Matanya fokus menatap lelaki yang sedang memotretnya. Bukan sinar riang dan manis yang biasa ditunjukkan wanita itu. Namun ada kekelaman yang membuat Dean terhenti sebelum membidikkan kameranya. ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN