Author Pov
Aira mengusap keringat di dahinya. Photoshoot di outdoor dengan terik matahari yang menyengat seperti ini sudah beberapa kali dilakoninya.
"Jadwal hari ini udah kan?" tanyanya pada Lala yang menyodorkan botol minuman padanya.
Asistennya itu datang ke Lombok kemarin sore. Bersama Jane, seorang fotograger dari Jakarta.
"Ra, besok-besok aku nggak bisa. Harus terbang ke Singapura habis ini. Fotonya aku kirim paling lambat nanti sore ya," ujar wanita dengan rambut pendek dan kulit cokelat eksotis itu.
Fotografer andalannya selama bertahun-tahun.
"Mbak Jane nggak ada kenalan temen fotografer gitu di Lombok?" tanyanya.
Aira melepaskan heels 10 cm dan menggantinya dengan sandal santai.
"Ada cowok tapi, loe kan nggak mau cowok. Cewek nggak ada," tutur Jane.
Wanita 35 tahun itu paham betul jika Aira tak mau fotografer cowok. Kecuali jika memang harus photoshoot untuk majalah atau kerjasama dengan satu brand yang memang harus pakai fotografer yang ditetapkan. Tapi untuk konten feed i********: atau endorse yang lebih santai dia lebih suka fotograger cewek.
"Kalau untuk endorse bisa berdua sama Lala. Duh bingung gue Mbak cari fotografer siapa. Nggak harus yang pro banget sih. Yang penting bisa ngambil foto bagus dan terbiasa motret," tuturnya.
Selepas pemotretan, Lala lantas menyeret Aira kembali ke resor. Ada beberapa produk endorse yang harus diambil fotonya segera karena akan di-post di story untuk hari ini.
"Lala elo tuh gue udah bilang berpuluh kali jangan makanan yang ada kacangnya. Ini kenapa rotinya selai kacang," keluh Aira.
Bukannya alergi, Aira hanya tidak suka dengan kacang. Menurutnya teksturnya aneh di lidah. Sementara itu sang asisten hanya nyengir kecil. Sudah hafal dengan tabiat bosnya.
Dulu Aira pernah memiliki manajer dan sopir yang selalu membututi dan mengatur jadwalnya. Namun sejak hampir tiga tahun lalu setelah dirinya off dari layar kaca dan beralih ke sosmed, dia hanya punya asisten. Lala menjadi sopir, manajer, kadang fotografer hingga seperti ibu yang mengomelinya. Aira bukan orang yang mudah nyaman dengan orang. Dan wanita bernama Nirmala Putri itu sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri. Meski umur Lala dua tahun di atasnya, namun wanita keturunan Batak itu ogah dipanggil kakak, mbak atau embel-embel lain.
"Pokoknya hari ini selesaiin foto endorse dulu semua. Ntar gue aja yang edit dan upload di story," ujar Lala pada Aira.
Aira yang sedang mengenakan piama tidur salah satu produk endorsenya mengacungkan jempol.
"Loe emang the best beib. Nanti akhir tahun gue kasih tiket liburan ke luar negeri. Katanya loe pengin ke Turki kan, cari cowok-cowok berhidung mancung."
Lala mendengus kecil mendengarnya.
"Loe udah bilang itu sejak tahun lalu, buktinya itu tiket gak pernah ada di tangan gue. Ujung-ujungnya tahun baru justru berburu foto buat feed elo," tuturnya yang disambut tawa Aira.
...
Aira membuka pintu kaca sebuah restoran dan mendapati seorang wanita melambai ke arahnya.
"Udah lama nunggu?" tanyanya pada sang adik ipar.
Segelas jus alpukat berada di depan Aliyah.
"Enggak Mbak, aku juga baru dateng. Pesen dulu aja, steak di sini beneran enak, tenderloin deh aku."
Satu jam pertama dihabiskan keduanya untuk makan dan mengobrol ringan. Meski jarang bertemu Aira tak merasa canggung hangout berdua saja dengan adik iparnya. Umur keduanya juga hanya bertaut dua tahun dengan Aliyah yang lebih muda.
"Aku sebenarnya merasa nggak enak juga sama Bang Aksa," buka Aliyah lebih dulu.
Keduanya merasa lebih nyaman berbicara masalah serius di luar. Tak mau menjadikan beban untuk ibu yang sakit, jika saja mendengarnya.
Aira meletakkan pisau dan garpunya. Lalu mendorong hotplate agak ke tengah. Melihat Aliyah agak segan saat mulai curhat.
"Harusnya aku bisa mengurus diriku sendiri. Sejak dulu yang aku lakukan hanya menyusahkan Bang Aksa," lanjut Aliyah.
Wanita berambut sebahu itu tersenyum getir di sudut bibirnya. Sementara Aira diam menyimak tanpa menyela.
"Sejak papa udah nggak ada, saat itu aku masih SMA. Tanggung jawab papa diambil Bang Aksa. Aku membuatnya sangat kecewa dengan tindakanku. Harusnya aku bisa berpikir lebih jernih. Menyelesaikan pendidikan tinggi dan meniti karier hingga sukses," tuturnya dengan air mata yang menggenang.
Aira tahu meski tak sampai detail. Aliyah menikah dengan kekasihnya di saat umurnya cukup muda, 22 tahun. Saat itu Aliyah sudah hamil lebih dulu. Aira belum masuk ke keluarga Dean, tapi dia bisa membayangkan bagaimana kesedihan dan kekecewaan yang dirasakan ibu mertuanya. Pernikahan Aliyah hanya bertahan dua tahun dan berakhir dengan perceraian. Setelah berpisah, Aliyah kembali pulang ke rumah orangtuanya.
"Aku sudah berusaha Mbak, aku nggak mau pisah karena nggak mau menyusahkan mama dan Bang Aksa lagi. Tapi aku udah nggak tahan."
Air mata perlahan turun di pipi Aliyah. Aira menggenggam tangan adiknya pelan, memberikan dukungannya.
"Kristan mulai main perempuan lain. Aku bisa tutup mata demi Irisa. Tapi aku udah nggak bisa bertahan karena dia mulai main tangan. Bang Aksa marah besar saat itu. Dia mukulin Kristan habis-habisan hingga Kristan harus dirawat di rumah sakit. Masalahnya juga sampai ke polisi. Tapi akhirnya kami jalan damai karena nggak mau masalahnya semakin melebar."
Aira tidak tahu kejadian itu karena berada di Jakarta. Dia tidak mendapatkan kabar apapun. Bahkan dari Dean sekalipun. Hingga kemudian ibu mertuanya menceritakan padanya. Ada rasa bersalah yang muncul di dadanya. Karena dia tidak ada ketika keluarganya sedang menghadapi masalah sebesar itu.
"Sekarang aku nyusahin Bang Aksa lagi," ujar Aliyah mengusap air matanya.
"Nggak ada yang namanya nyusahin untuk keluarga Al. Mas Aksa pasti juga lebih suka kamu mengambil keputusan pisah daripada lihat adiknya disakiti," kata Aira.
Satu pertanyaan kembali muncul di kepala Aira. Jadi apakah sebenarnya alasan yang bisa menjadikan ikatan yang bernama pernikahan itu bisa berlanjut sampai akhir. Ketika dengan cinta yang begitu diagungkan tak bisa menjadi pondasinya. Dua orang yang saling mengenal begitu dalam, saling mencintai dan bahkan sudah memiliki anak bisa saling menyakiti dan memutus ikatan pernikahan begitu saja.
Jadi apa sebenarnya yang bisa membuat ikatan itu tak lepas. Aira menatap cincin di jari manisnya. Cincin pernikahan yang sejak pertama kali digunakannya di Lombok beberapa hari lalu hingga kini tidak dilepaskan.
"Mbak, aku bener-bener senang dengan pernikahan Mbak Aira dan Bang Aksa. Meski kalian jauh-jauhan tapi komitmen kalian begitu kuat untuk satu sama lain. Aku sadar nggak ada yang namanya pernikahan normal. Karena setiap pasangan memilik kisah tersendiri yang nggak sama satu sama lain. Jadi harusnya kita berhenti dengan meminta pernikahan kita normal kayak pernikahan orang-orang kan Mbak? Karena pernikahan normal itu cuma ilusi."
Aira tercengang dalam diam. Karena selama dua tahun dirinya menikah, dia kadang berharap memiliki pernikahan normal. Hidup seperti orang-orang menikah pada umumnya.
Komitmen?
Aliyah benar, selama ini dirinya dan Dean berhasil memegang hal itu di pernikahan mereka. Karena hanya itu yang menjadi peganggan. Saat keduanya enggan menjadikan hal-hal yang berurusan dengan hati untuk menjadi pondasi.
....
Langkah Aira untuk kembali ke room terhenti saat ada ide lain melintas di pikirannya. Sontak dia berbalik menuju lobi resor. Bertanya pada resepsionis letak kantor yang dihuni Dean. Kakinya menapak pada kotak-kotak paving berhias tanaman di pot pada sisi kanan kiri. Ada gedung lain yang lebih sepi dari bangunan utama. Kembali dirinya dihadapkan pada lobi dan seorang wanita cantik berdiri di balik meja. Tersenyum ramah padanya.
"Ada yang bisa saya bantu Kak?" tanyanya.
"Ruangan Dean dimana ya?" tanyanya membuat kening wanita dengan nametag Desira itu berkerut.
"Sudah ada janji sebelumnya? Atas nama siapa ya?"
Aira berdecak dalam hati. Kenapa bertemu suaminya semenyusahkan seperti ini. Pernikahan mereka memang tidak banyak diketahui orang. Sekarang apa dia harus mengatakan jika dirinya istri dari Kamadean Aksara, salah satu pemilik resor dan hotel Pandawa.
Detik saat Aira mau bersuara, sosok Dean berjalan keluar dari lift. Aira mengembangkan senyum manis menghampiri suaminya. Lalu dengan santai melingkarkan tangannya di lengan sang suami.
"Aku cari kamu tadi, dinner yuk."
Dean hanya diam mendengar perkataan dengan nada manis itu. Sudah biasa baginya melihat akting Aira seperti itu.
"Des, saya balik ya," pamit Dean pada si resepsionis.
Aira juga melemparkan senyum manis. Seolah menunjukkan kepemilikannya atas Dean, dia mengetatkan pegangan tangannya.
"Apa aku harus mulai memperkenalkan diri sebagai istri kamu? Sepertinya para pegawai di sini perlu tahu," kata Aira riang yang tentu saja tidak mendapat tanggapan Dean.
...