Author Pov
"Balik ke kamar kamu," kata Dean setelah membuka pintu mobilnya.
Alih-alih menurut, Aira ikut masuk dan duduk manis di samping kemudi.
"Aku kan ngajak dinner," ujarnya.
"Aku mau ketemu temen."
"Ya udah sekalian aja kan," kata Aira santai.
Dean mengamati sejenak istrinya yang duduk tenang. Lalu menghembuskan nafas panjang dan menyalakan mobil. Hari ini sudah terlalu panjang dan dia malas berdebat.
Aira menurut saja saat Dean lebih dulu masuk ke sebuah rumah makan. Yang walaupun tidak tampak mewah tapi begitu penuh pengunjung.
"Di atas Mas Dean," ujar seorang pelayan laki-laki yang berumur awal dua puluhan.
Dean mengangguk kecil dan menoleh ke belakang. Melihat arah pandang para pegawai yang menatap penasaran pada wanita di berdiri belakangnya. Mengamati pada gaya pakaian Aira yang mencolok. Celana jeans robek-robek kecil di bagian lutuh dipadukan dengan atasan kuning gading crop top. Rambut ombrenya dibiarkan terurai. Wajahnya masih bermake up sempurna karena tadi selesai membuat tutorial make up untuk YouTube. Penampilan yang terlalu mencolok untuk makan di rumah makan lesehan sederhana.
"Di sini?" tanya Aira pada Dean.
"Kamu boleh pergi kalau nggak suka."
Dean lantas berjalan lebih dulu. Mengabaikan apakah Aira mengikutinya atau tidak.
Meja sudut itu sudah penuh dengan 3 orang lelaki dan perempuan. Deretan gelas es teh sudah tertata di meja kayu. Namun belum ada makanan yang datang.
"Udah lama?" tanyanya pada Tirta yang duduk di paling tepi.
"Sepuluh menit lalu," jawabnya.
Orang-orang yang duduk lesehan mengitari meja itu lantas terdiam dan menatap Dean dengan tanda tanya. Bergantian beralih pada Aira yang masih berdiri canggung.
"Saphira," sapa Wika terlebih dulu.
Dean menggeser duduknya dan tanpa kata meminta Aira duduk di sebelahnya.
"Kapan datang? udah lama banget nggak ketemu. Setahun lebih ya kayaknya," ujar Endah.
"Baru datang beberapa hari lalu Mbak," kata Aira sembari mengulas senyum sopan.
Dean hanya diam saja dan justru Wika yang memperkenalkan Aira. Walaupun baru sekali bertemu tapi wanita itu begitu ramah.
"Eve belum kenal ya. Jadi ini Saphira istri Dean. Dia tinggalnya di Jakarta," jelas Wika.
Aira kembali mengulas senyum pada wanita yang belum pernah ditemuinya. Sementara Wika, Fero, Endah dan Tirta sudah pernah bertemu sebelumnya. Mereka datang di pernikahannya dengan Dean dua tahun lalu.
"Gue nggak tahu kalau Dean udah nikah," kata Eve.
"Long distance gitu mereka. Udah dua tahun, nikahnya," tutur Endah.
"Pantes Dean kalem-kalem aja kalau sama cewek. Tahunya udah ada istri," kata Eve diiringi tawa.
Percakapan mereka mengalir begitu saja. Aira juga ikut menimpali. Meski termasuk orang baru dirinya mudah membaur. Kebiasaannya bekerja di industri showbiz mengajarkannya untuk mudah bergaul.
"Rambut kamu lucu banget Ai," kata Wika saat Aira menggelung rambut ombrenya dengan asal.
"Ini aja sempet diomelin Dean kemarin. Sebelumnya ungu mbak," kata Aira.
Dean hanya diam mengamati istrinya yang sama sekali tak ada kecanggungan.
"Jadi kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Tirta.
Kali ini menimbulkan jeda sebelum Aira menjawab. Melirik Dean sekilas. Namun laki-laki itu juga tidak membantu menjawabnya. Pertanyaan yang sudah ditanyakan ibu dan Aliyah juga. Namun tak ditanyakan Dean.
"Belum tahu, ada kerjaan di sini. Jadi ya nikmati aja waktu," jawab Aira akhirnya.
Obrolan mereka terhenti saat makanan datang. Berbagai menu bebakaran menggoda selera. Ada ayam bakar, sate hingga bebek bakar. Cah kangkung dan lalapan serta gorengan seperti tahu dan tempe ikut memenuhi meja.
Dean menyodorkan nila bakar ke hadapan Aira. Sementara dirinya mengambil bebek bakar. Laki-laki itu lantas memutar badannya ke belakang. Mengambil sebotol air mineral di meja kosong belakangnya. Memutar tutupnya lalu meletakkan di meja depan sang istri. Tahu jika Aira tidak minum apapun kecuali air mineral dan jus buah di jam tujuh malam ke atas.
"Aku nggak pakai nasi," kata Aira saat Dean menyodorkan bakul nasi padanya.
Tadi dia sudah makan steak dengan Aliyah. Sepertinya jumlah kalorinya sudah melewati batas hari ini.
Laki-laki itu menuang beberapa centong di piringnya sendiri.
"Dikit aja," kata Dean lalu menuangkan satu entong di piring Aira.
....
Aira berdecak kesal melihat baju-baju endorse yang dibawa Lala dari Jakarta. Meski akan melakukan photoshoot di pantai namun dia sudah berpesan pada asisten sekaligus manajernya itu untuk tidak menerima konsep seksi. Tapi tiga potong bikini dengan berbeda model terpampang di kasurnya. Satu bermodel two pieces yang sangat yakin akan membuat dadanya tampak tumpah.
"Harus berapa kali aku bilang, aku nggak suka kalau photoshoot dengan memamerkan tubuh La. Cantik dan seksi itu nggak harus buka sana sini. Nggak harus yang dadanya terpampang atau pahanya diumbar. Suruh mereka cari model atau selebgram lain yang mau pakai itu, aku nggak mau," tutur Aira kesal.
Dirinya merasa tidak nyaman saat memakai pakaian yang hanya mampu menutup sedikit bagian tubuhnya. Terlebih saat ada komentar kotor di media sosialnya. Dia benci itu. Aira bahkan mengerjakan satu orang khusus untuk mengelola i********: dan YouTubenya. Untuk memastikan postinggan dan vlognya bersih dan sehat bagi mata, pikiran dan hati.
Dia memerintahkan Diyah untuk menghapus komentar kotor, memblokir haters hingga memastikan bahwa tidak ada yg namanya salah ketik di setiap unggahan atau vlog. Dia tidak mau asal-asalan. Menurutnya menjadi selebgram selain hobi juga pekerjaan. Dan dia bekerja profesional dan terbaik untuk setiap yang dilakukannya. Awal-awal dulu banyak yang endorse produk kw padanya. Aira lebih memilih endorse kerupuk warung dua ribuan daripada tas kw. Dia juga tidak pernah paid promote produk pengencang, pembesar, pemutih dan sejenisnya.
Dia selalu punya aturan dalam bekerja. Jati dirinya terlihat dari apa yang dia kerjakan. Karena saat jati diri tercoreng, tak ada yang bisa menyelamatkan. Orang-orang akan dengan mudah lepas tangan.
"Aku udah bilang sama Tante Mira, tahu sendiri dia kayak apa," kata Lala.
Aira meraih ponselnya di nakas.
"Biar aku yang bicara langsung padanya," kata Aira melangkah keluar kamar.
....
Sudah dua jam sejak Aira ditemani Lala dan juga, photografer barunya, Adriana dan sang asisten, Selfi berada di pantai Batu Bolang. Mereka mengejar sunset untuk pemotretan. Spot terakhir diambil di atas sebuah batu karang. Aira dibantu Selfi naik di atas batu dengan kaki telanjang. Gaun putihnya basah di bagian bawah. Sementara rambut panjangnya tertiup angin sore. Matahari terbenam membuat langit di bagian barat menjadi semburat jingga.
"Oke, good. Yap."
Beberapa kali Adri membidikkan kamera ke arah Aira. Hingga tiga puluh menit kemudian akhirnya selesai.
"Lala, ponsel aku dong," ujar Aira yang masih berada di atas batu karang.
Ponsel dengan lambang apel itu tidak menunjukkan notifikasi chat dari yang sedari tadi ditunggu Aira. Padahal sejak sudah tadi siang dirinya mengirimkan pesan mengajak dinner. Seminggu di sini dirinya belum sekalipun dinner berdua dengan Dean. Sesibuk apa pria itu sampai tidak bisa membalas chat.
Mengakhiri kekesalan, Aira lantas membuka i********:. Lebih baik dia mengabadikan momen senja di pantai Batu Bolang. Perlahan Aira berdiri di batu karang yang cukup tinggi itu.
"Aira buruan turun keburu Magrib," teriak Lala yang sedang membereskan barang-barang.
Aira memutar tubuhnya perlahan mengabadikan dalam bentuk video.
"Saphira, kamu wanita pertama yang kucium di waktu dan tempat yang paling kusukai. Senja di pantai."
Kenangan itu melintas begitu saja di pikirannya. Saat itu semua masih baik-baik saja. Saat mereka masih bisa memimpikan masa depan yang indah bersama. Namun kini semuanya berubah. Nyatanya kehidupan cinta yang indah hanya ada di dongeng-dongeng barbie dan pangeran yang dulu ditontonnya saat liburan sekolah.
Tak memindahkan pijakan kakinya. Aira kembali berputar di atas batu karang, mengabadikan panorama sunset di pantai. Terlalu fokus dan setengah melamun menjadikan pijakan kaki kanannya tergelincir. Tubuhnya tak seimbang dan sedetik kemudian dirinya terhuyung jatuh ke air.
"Airaaaa!"
....
Dean membuka ponselnya saat meeting akhirnya selesai. Keningnya mengernyit bingung mendapati pesan Aira yang mengajaknya dinner.
"Makan dulu," ajak Dio yang lantas berlalu bergabung dengan yang lain untuk makan malam.
Dean membalas pesan Aira dengan mengatakan dirinya makan di hotel setelah ada rapat. Namun balasan itu hanya centang satu, tak seperti biasanya.
Biasanya Aira selalu mengaktifkan ponselnya. Mengingat pekerjaannya yang selalu membutuhkan ponsel dan koneksi internet. Mengabaikan itu, Dean lantas mulai mengantri untuk mengambil makan.
***