RIMA
Nafasku memburu cepat.
Mataku terasa panas dan hampir menitikkan air mata. Tentu saja, saat seperti ini, menjadi cengeng bukanlah tindakan yang lebay. Ini sangat mendadak, bahkan terlalu mendadak. Bagaimana bisa Ayah menyembunyikan kenyataan ini dariku. Bukankah setelah ibu meninggal, kami sudah saling berjanji untuk berbagi semuanya, tidak ada yang disembunyikan. Masalah apapun akan kami hadapi bersama. Bagaimana bisa sekarang Ayah mengingkari semuanya dan membuatku menemukan semua masalah ini sendiri.
TIGA RATUS LIMA PULUH JUTA!
Aku menghitung jumlah nol yang tertera di berkas pemberitahuan itu, berharap hanya salah membaca. Sekali lagi, siapa tahu ada kesalahan. Dua kali…, oke ini kali ketiga, masih dengan harapan bahwa semua ini hanyalah mimpi, atau kesalahan hitung, atau siapa tahu ini saatnya aku memakai kacamata. Dan jumlah nol yang tertera di lembaran itu masih tetap sama, tujuh digit. Terhuyung karena tubuh terasa lemas, membuatku duduk di kursi kerja Ayah dan hanya bisa menatap langit-langit kantor toko. Lembaran yang menggantung di tanganku mengingatkan kalau toko ayah meninggalkan hutang sebesar tiga ratus lima puluh juta. Membuat toko ini berada di ambang kebangkrutan.
Ini sama sekali tidak adil.
Toko ini mungkin hanya toko kain biasa, tapi ini toko yang Ayah dan almarhum Ibu bangun dari bawah. Ayah dan almarhum ibu sudah berusaha mati-matian mempertahankannya dan membesarkannya hingga seperti ini. Toko ini sudah mampu menguliahkanku hingga lulus, membuatku tidak perlu kelaparan dan punya tempat berlindung. Toko ini begitu kami cintai. Bahkan aku rela tidak bekerja selepas lulus kuliah dan membantu Ayah di toko ini. Sekali lagi kulirik lembaran di tanganku dan kepalaku langsung berdenyu, disusul pening yang mulai muncul.
Apa-apaan ini?
Bagaimana bisa ini terjadi?
Mana Ayah di saat seperti ini?
Suara pintu terbuka menghentikan semua pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalaku yang masih berdenyut-denyut pening. Sesosok tinggi, besar dan panik saat menatapku di kursi kantor, berdiri di baliknya. Akhirnya, orang yang paling bertanggung jawab akan semua ini muncul.
Ayah.
Sangat terkejut melihatku duduk di kursi kerjanya dan semakin terkejut melihat lembaran di tanganku. Mulutnya mulai komat-kamit, tapi dari gerakannya, aku tahu Ayah sedang berdoa. Dan aku tahu itu doa apa. Doa yang sama ketika aku mengetahui Ayah menolak perjodohan dari Tante Ima, wanita potensial yang sudah kujodohkan dengannya. Doa yang sama juga saat aku menemukan Ayah makan sate kambing setelah dokter memberitakan bahwa tekanan darahnya cukup tinggi. Doa yang selalu dia ucapkan perlahan setiap melihatku marah, bukan hanya marah, tapi mengamuk akan setiap perbuatan cerobohnya.
Doa terhindar dari amukan anjing.
“Apa maksud ini semua, Yah?” tanyaku dengan suara bergetar menahan amarah yang mulai menggeliat keluar.
Ayah terlihat sangat ketakutan, tapi beliau bertingkah seakan tidak tahu apa-apa. Itu semua sia-sia di hadapanku saat ini. Aku adalah pembohong yang sangat buruk itu karena keturunan dan aku yakin dengan pasti bawa itu terbawa dari DNA Ayah.
“Itu tagihan koran biasa!” jawab Ayah sembari berusaha tersenyum untuk meluluskan kebohongannya.
“Tagihan koran sebesar tigaa..raatuussss limmmaaa pulluh..juttaaa…?” getaran di suaraku semakin terasa ketika mengucapkan hal itu. “Ayah membeli mesin percetakannya?”
“Ah Rima, kamu salah hitung. Itu hanya tiga ratus lima puluh ribu!” lagi-lagi ayah berusaha menghindar, tapi sekali lagi itu gagal.
“Juuutttaaaa…,” aku kembali bergetar mengucapkan kata-kata itu, “…sudah kuhitung sampai tiga kali!”
“Sudah kamu coba menghitung ke-empat kalinya?”
“AYAH!” cukup, aku tak bisa bersabar lagi, “Ceritakan semuanya padaku!”
“Ampun Rima! Ayah mengaku, Ayah tertipu!”
Jantungku serasa melompat keluar mendengar semua itu. Ayah tertipu? Bagaimana bisa seorang Bimo Sastro tertipu. Baiklah, Ayahku memang seorang pembohong yang buruk, dia juga sangat takut menghadapi amukan almarhum istri dan anak perempuannya (yang jelas bukan almarhum. Aku masih hidup!) ketika mereka marah, tapi Ayah memiliki penampilan yang jauh lebih mirip tukang jagal daripada pemilik toko kain. Perawakan Ayah yang besar juga kumis dan alis tebal yang menghiasi wajahnya bisa membuat anak kecil menangis dan preman pasar ketakutan. Bahkan ayah tak perlu mengeluarkan parang untuk mengusir para preman itu!
“Om Danu menipu Ayah. Dia membawa lari uang kontrak dengan perusahaan konveksi dan membuat Ayah yang harus menanggung semuanya,”
Om Danu?
Aku teringat dengan lelaki bertubuh kecil, teman Ayah ketika memancing. Dari awal aku sudah tidak menyukainya. Pandangan matanya sangat kurang ajar ketika melihat wanita dan beberapa kali pegawai wanitaku mengeluh mendapat ucapan yang tak senonoh dari pria itu. Ayah selalu meminta maaf, tapi membiarkan pria itu berada di sekitarnya terus. Sekarang dengan yakin aku mengatakan bahwa Om Danu benar-benar pria kuntet kurang ajar!
“Bagaimana bisa perusahaan konveksi memesan pada kita, bukannya pada perusahaan tekstil langsung?” tanyaku bingung.
“Ayah juga tidak tahu. Itu semua akal-akalan om Danu dan Ayah hanya mengerti harus menandatangani kontrak kerjasama dengan atas nama toko kita. Kemudian, tiba-tiba dia kabur dan membuat toko ini mengganti denda pengingkaran kontrak sebesar itu,”
“DASAR KUNTET KEPARAAAATTTT!!!!” sekali lagi aku menyumpah, bahkan di hadapan Ayah. Ayah terlihat sangat ketakutan.
Mata Ayah terlihat berkaca-kaca, aku menjadi merasa bersalah. Aku mendekati ayah dan memeluknya dan aku-pun sungguh ingin menangis. Ayah memang memiliki penampilan yang cukup mengerikan, bahkan terkesan sangar, tapi pria ini memiliki hati paling lembut bahkan terkesan cengeng dengan keluarganya sendiri.
“Bagaimana kita membayar ini semua, Yah?” tanyaku bingung.
Ayah melihat lembaran kertas yang kugenggam, kemudian melihatku yang sangat kebingungan.
“Ayah pikir, ayah akan menjual seluruh investasi kita. Semoga saja masih ada cukup sisa untuk melanjutkan toko ini dan membayar biaya sekolah Odea,”
“Tapi kita harus menyediakan uangnya maksimal 5 hari sedari surat ini terbit. Dan saat ini hanya tersisa 3 hari, setengah kalau misalkan siang ini dihitung. Bagaimana bisa kita membayarnya?”
Ayah semakin terlihat bingung. Di mata kami berdua terlihat jelas nasib toko kami yang berakhir disita. Angka-angka tiga ratus lima puluh juta yang harus kami lunasi dalam tiga setengah hari. Kenapa begitu banyak kemiripan? Kemudian kami menangis berpelukan berdua. Suara ketukan di pintu menyadarkan drama haru biru-ku dan Ayah.
Eni, salah seorang pegawai kami melongok ke dalam ruangan. Dia memandang kami sedikit bingung, tapi kemudian bertingkah biasa lagi (setiap pegawai di sini sudah terbiasa dengan drama haru biru yang kulakukan bersama Ayah. Itu membuat mereka bisa langsung bertingkah seperti tak terjadi apapun di hadapan mereka ketika kami sedang melakukan keanehan itu). Secarik kertas tampak muncul di tangannya. Dengan sekali helaan nafas, dia membacakan semua hal di secarik kertas itu.
“Bos, Non, ada pesenan kaen 3,5 meter dari Bu Ina di gang 3 nomer 5. Terus tadi ada tagihan utang tiga ratus lima puluh rebu, trus ini ada kiriman kain Pashmina baru tiga setengah kodi!” ujarnya ringan.
“Apa-apaan itu?” tanyaku sengit. Bagaimana bisa angka-angka itu muncul bertubi-tubi di hari ini!
“Nha itu dia Non, keren yak! Ane juga bingung Non, kok bisa yak tepat bener angka-angkanya! Terrrbaiikkkkk!” jawab Ina dan tak lupa menyertakan tagline dari film kartun buatan Malaysia yang suka dia tonton sore hari.
Tak lama Ina berlari ketakutan keluar kantor karena ketakutan mendengar teriakanku. Sementara Ayah terlihat kebingungan menenangkanku yang histeris.
****
“Ayahmu tertipu?”
Diva melotot keheranan mendengar ceritaku. Aku menatap wajahnya dengan sedih (kesedihan yang cenderung karena dia memiliki pemikiran yang sama tentang ayahku), kemudian menyeruput es teh yang ada di hadapanku. Kembali lagi menatapnya dengan pandangan sayu, kemudian menyeruput minumanku lagi. Sekali lagi menatapnya sayu dan kembali lagi menyeruput es teh-ku.
“Hentikan kelakuanmu itu!” ujar Diva sewot.
“Aku harus bagaimana, Di?” tanyaku bingung. Berusaha menahan agar tidak segera menyeruput es teh-ku lagi. Aku takut Diva akan tersinggung dan malah pergi meninggalkanku.
Diva, sahabatku semenjak SMA, sahabat yang sangat dekat bahkan mengenalku dengan sangat baik. Salah seorang yang pernah (bermaksud) menyelamatkanku dari Ayahku ketika hari penerimaan rapot di SMA. Saat itu dia pikir Ayah adalah preman yang hendak menculikku ketika Ayah menggandengku menuju kelas. Setelah itu yang terjadi adalah teriakan-teriakan karate Diva di hadapan Ayah sembari ancama untuk segera melepaskanku.
“Mana surat pemberitahuan itu?” tanya Diva lagi.
Aku segera mengambilnya dari tasku dan memberikannya pada Diva. Diva tampak membaca surat itu dengan konsentrasi penuh. Memberiku kesempatan untuk meminum teh manisku sebelum dia mengira aku memperoloknya. Lama kemudian mata Diva terlihat terpaku akan kepala surat pemberitahuan itu.
“Mungkin aku bisa mengusahakan sesuatu.” Jawab Diva. Aku melotot padanya seakan tak percaya. “Tapi aku gak bisa janji!”
“Iya, gak apa! Trims Di!” jawabku senang dan segera meminum habis teh manis di mejaku.
“Odea tahu masalah ini?” tanya Diva penuh selidik. Aku menggeleng pelan.
“Aku dan Ayah sepakat untuk memberitahunya di saat terakhir. Kasihan Odea kalau harus ikut kepikiran masalah ini!”
“Kau dan Ayahmu sama-sama aneh! Tak setuju diperlakukan sebagai yang terakhir tahu, tapi memperlakukan orang lain seperti itu,” ujar Diva. Dia mengerling padaku, “Tio tahu masalah ini? Lea?”
“Aku baru mau memberi tahu Tio besok. Hari ini dia tidak bisa ditemui. Kalau Lea, setelah ini aku coba ke apartemennya.” ujarku. Aku bisa melihat seringai sinis dari Diva ketika mengatakan itu.
“Kenapa Lea gak sekalian di suruh ke sini? Kita bisa ngobrol bareng jadinya!” ujar Diva sinis. Seakan mengolok perkataannya sendiri.
“Dari kemarin malam, ponselnya sulit di hubungin, Di,” jawabku singkat.
Tio dan Lea, pacar dan juga sahabatku yang satu lagi, orang yang kukenal selama beberapa tahun terakhir. Aku mengenal Lea ketika awal memasuki kehidupan kampus. Seorang cewek dengan paras cantik dan tubuh semampai. Berbeda denganku yang pendek dan dikategorikan kurus, dia adalah seorang wanita, dewi atau bisa dibilang seorang model. Wajahnya tirus dengan bibir penuh dan hidung mancung. Kulitnya yang putih membuat tubuh seksinya menjadi jauh lebih menarik. Rambut ikal sepunggung yang dicat dengan warna merah tembaga. Wangi parfum juga selalu menghiasi tubuhnya. Entah apa yang dipikirkan Lea yang mau bersahabat dengan cewek berpenampilan biasa sepertiku.
Tio kukenal ketika semester akhir kuliah. Dia mendekatiku setelah kami bertemu di festival band kampus. Awalnya dia lebih tertarik untuk mendekati Lea, tapi entah bagaimana akhirnya Tio lebih memilih aku. Dia bilang sangat menyukai sifat dan semua dari diriku. Tio selalu mengatakan bahwa aku bisa memberikannya ketenangan di dalam hidupnya.
Dari awal aku mengenal mereka, Diva menjadi orang pertama yang menentang. Bahkan dia terang-terangan mengatakan bahwa Tio dan Lea terlihat sangat licik. Aku hanya bisa tersenyum mendengar pendapatnya. Diva hanya iri karena muncul Tio dan Lea sebagai orang lain yang dekat denganku selain dia.
“Cewek itu kelihatan seperti manfaatin kamu aja, kalo cowok itu, cuma cowok yang gak bisa kasih kepastian untuk jalan hidupnya sendiri!” alasan Diva setiap aku memprotes rasa tidak sukanya pada Tio dan Lea.
“Memang kamu peramal?”
“Gak perlu jadi peramal untuk melihat itu semua, Rima!”
“Baiklah, jadi aku adalah seorang cewek yang buta dalam melihat sifat orang lain,” tanyaku sebal. Diva mengangguk mantap sembari meminum jus jeruknya.
Sialan.
****