RIMA
“Aku sudah coba menghubungi seseorang yang bisa bantu kamu, Rim!”
Sedikit sulit untuk memegang ponsel dengan benar kalau kau sedang membawa banyak barang dan itu terjadi padaku saat ini. Ponselku berdering tepat ketika aku sedang sibuk membawa beberapa belajaan untuk kubawa ke apartemen Lea. Nama Diva membuatku segera mengangkat ponsel itu dan membuatku sedikit kerepotan ketika berjalan.
“Beneran? Siapa? Gimana cara dia bantu aku?” tanyaku senang sembari mengangkat kantung belanjaanku dengan tanganku yang lain.
“Nanti kamu juga tahu, dua hari lagi dia datang ke rumah kamu sekalian mengurus kontrak itu. Siapa tahu kamu bisa dapat tambahan waktu untuk pembayaran,” Diva berdehem sebentar kemudian melanjutkan lagi, “kamu dimana Rim?”
“Aku perjalanan ke kamar Lea. Sarapan sekaligus cerita semua masalah ini ke dia. Nanti siang, semoga aja dia bisa antar aku ke tempat Tio,” jawabku sembari menunggu lift yang membawaku ke kamar Lea.
“Enak bener dia bisa dapat layanan room service!”
“Di, jangan mulai deh!”
“Oke, terserah kamu! Jangan bilang aku gak pernah mengingatkan ya!”
Suara Diva berganti dengan nada sibuk yang menandakan dia sudah menutup ponselnya. Aku mendesah pelan, berpikir cara untuk meyakinkan Diva supaya bisa menerima Lea. Masih jelas teringat bagaimana Diva begitu penasaran pada Lea dan langsung menunjukkan raut muka tidak suka di hari pertama pertemuan mereka. Bagaimana bisa Diva begitu yakin untuk tidak menyukai seseorang pada saat pertama mereka bertemu!
Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam tas kecil yang kubawa dan masuk ke dalam lift kemudian memencet lantai kamar Lea. Apa yang salah dari Lea di mata Diva? Ketika itu Diva langsung menjengit ketika melihat Lea yang datang menemuiku. Bahkan Diva tak mau menjabat tangan Lea dan segera berpamitan kepadaku. Setelah kejadian itu, aku bersumpah untuk tidak akan pernah mempertemukan mereka lagi. Untung saja Lea berbesar hati untuk memaafkan kelakuan Diva saat itu dan tak pernah mengungkitnya lagi. Sementara Diva, terus menerus memperolok Lea setiap pertemuan kami.
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar dan berjalan menuju kamar Lea. Setahuku keluarga Lea tinggal di Malang juga, tapi kenapa dia malah memilih untuk tinggal di apartemen daripada dengan keluarganya. Itu selalu menjadi pertanyaanku dan tak pernah berani kutanyakan pada Lea. Aku sangat takut dia tersinggung dan kemudian marah kepadaku. Kupikir suatu saat nanti dia akan menceritakan semuanya kepadaku tentang keluarganya, atau mungkin masa lalunya.
Pintu apartemen Lea berdiri kokoh di hadapanku. Aku merasa sangat lega sudah berada di depan kamar ini karena tanganku sudah mulai terasa pegal dengan semua belanjaan yang kubawa. Lea selalu membiarkan kulkasnya kosong dan memintaku untuk mengisinya setiap aku punya waktu luang. Bahkan dia memberiku kunci apartemennya agar aku bisa dengan leluasa membersihkan apartemennya yang selalu terlihat berantakan.
Lea tidak pernah memintaku secara khusus untuk membersihkan apartemennya. Aku melakukannya atas keinginanku sendiri. Aku sangat benci tempat yang berantakan dan instingku langsung terpanggil ketika melihat apartemen Lea saat pertama kali aku mendatanginya. Pakaian kotor, majalah, piring dan gelas kotor, bertebaran di setiap sudut ruangan. Tempat kos Tio-pun tak jauh beda. Setiap kali aku pergi ke tempat Tio, hampir separuh waktu pertemuan kami sudah kuhabiskan untuk membereskan semua kekacauan yang dia buat di ruangannya sendiri. Bagaimana seseorang bisa hidup di tempat seperti ini? Lea dan Tio selalu tersenyum kecut setiap aku menanyakan hal itu pada mereka.
Aku memencet bel kamar Lea dan menunggu jawaban, kemudian memencet sekali lagi sebelum memutuskan menggunakan kunci yang diberikan Lea kepadaku. Sepertinya anak itu masih lelap tidur di atas ranjangnya, sampai tak menyadari suara bel yang sudah kubunyikan barusan. Cukup sekali putaran, pintu apartemen itu sudah terbuka. Tepat seperti dugaanku, keadaan di apartemen Lea terlihat cukup parah seperti biasanya. Padahal seingatku, sekitar seminggu yang lalu aku baru saja menatanya supaya terliat lebih rapi.
Apartemen ini sebenarnya cukup bagus. Begitu masuk, sebuah ruang tamu mungil yang bersanding dengan pantry langsung menyambut. Corak furniture yang berwarna-warni juga membuat apartemen ini seharusnya terlihat lebih manis. Tapi yang ada di depan mataku saat ini adalah sebuah ruang yang berisi dengan setumpuk baju kotor dan satu kantong baju bersih yang sepertinya baru datang dari laundry. Bau rokok dan juga sampah busuk yang belum di buang langsung menusuk hidungku. Bahkan kakiku langsung menginjak sampah bekas bungkus makanan kecil yang sepertinya tersebar di beberapa tempat lainnya juga.
“Lea…sebaiknya kau segera bangun dan membantuku membersihkan semua kekacauan ini!” teriakku sembari berjalan dan membuka pintu kamar Lea.
Astaga!
Apa maksud semua ini?
Pemandangan di dalam kamar Lea membuat jantungku seakan melompat keluar dari mulutku. Bukan keadaan kamar Lea yang sama parahnya seperti ruangan di depan yang membuatku terkejut. Pemandangan di atas tempat tidur Lea yang paling membuatku terkejut. Lea terkejut melihatku berdiri di depan pintu. Rambut merah tembaganya tampak berantakan dan tubuh telanjangnya hanya tertutup oleh selimut. Dia terlihat tidur di atas seorang pria yang juga telanjang.
Tio.
“Kalian…”
Aku begitu terkejut dan tak mampu bekata apapun, begitu juga dengan mereka. Tio yang baru saja bangun langsung terduduk dan mendorong Lea menjauh darinya, tapi itu sia-sia. Aku sudah melihat semuanya.
“Dasar b******k!” teriakku kemudian berlari meninggalkan mereka berdua. Berlari meninggalkan apartemen Lea.
Suara Tio yang berteriak memanggil namaku tak kugubris dan aku segera berlari memasuki lift yang terbuka. Mataku terasa panas menahan air mata yang hendak memaksa keluar. Seorang wanita paruh baya di dalam lift melihatku dengan pandangan aneh. Aku tak memperdulikan semua itu sampai ketika dia memekik terkejut. Kulihat Tio keluar dari kamar dengan hanya menutup bagian bawahnya menggunakan selimut Lea.
“Cepat tutup pintu liftnya, Tante! Cowok itu kehabisan obat!” teriakku.
“Gila?” tanya wanita itu seakan tak percaya. Aku mengangguk keras.
Wanita itu segera memencet tombol untuk menutup pintu lift sementara aku berusaha menghalau Tio dengan melemparinya menggunakan belanjaan yang kubawa. Lemparan pertama sebuah kubis dan dia berhasil mengelak. Yang kedua sebuah wortel dan tepat mengenai badannya, tapi itu sepertinya tak berpengaruh. Dia semakin mendekat ke arah lift.
“Rima dengarkan aku dulu!” teriaknya sambil terus berlari dan menyeret selimut yang beberapa kali hampir jatuh.
Kenapa pintu lift ini tak segera menutup!
Tio semakin mendekat dan itu juga membuatku wanita paruh baya di sebelahku semakin panik. Dia menekan berkali-kali tombol di papan tombol lift. Aku melihat tombol yang wanita itu tekan dengan penuh semangat karena ketakutan (itu terlihat jelas di wajahnya yang sangat pucat dan hampir menangis). Pantas pintu lift tidak menutup, wanita itu malah menekan tombol yang menahan pintu lift untuk tetap terbuka.
“Tante, salah pencet!” teriakku panik.
Wanita itu menepuk dahinya kemudian menekan tombol yang tepat. Tio terlihat semakin dekat dan wanita itu terpekik, berteriak kaget. Sementara pintu lift tertutup perlahan. Aku merogoh kantong belanjaanku dan melempar amunisi yang terjangkau di tanganku. Satu pukulan telak mengenai hidung Tio dan itu membuatnya berhenti, berteriak kesakitan memegang hidungnya. Sebelum pintu lift benar-benar menutup, aku masih melihat amunisiku menggelinding di bawah kaki Tio. Bengkoang.
Lift mulai bergerak turun. Aku berpandangan dengan wanita itu dan terlihat pancaran cahaya dari mata kami saling menguatkan satu sama lain. Rasa panik membuat kami seakan kehabisan nafas dan juga kehabisan stamina.
“Kita selamat, Nak!” ujar wanita paruh baya itu. Aku mengangguk sambil berusaha mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal.
“Terimakasih sudah menyelamatkan saya , Tante!”
Wanita itu tersenyum kemudian memelukku. Tak lama kita menangis berdua sembari berpelukan. Bedanya dia menangis karena merasa senang telah berhasil selamat dari orang gila yang akan menyerang dia, sementara aku menangis karena masih merasa shock akibat kelakuan Tio dan Lea. Suasana di lift benar-benar mengharu biru sampai ketika kami berada di lantai satu.
Wanita itu segera melaporkan kejadian yang baru dia alami kepada sekuriti apartemen, sementara aku melangkah gontai meninggalkan apartemen k*****t ini. Kantong belanjaan yang kubawa terasa jauh lebih ringan karena sebagian isinya sudah kugunakan sebagai amunisi untuk menghalau Tio tadi. Sekarang hanya tersisa tomat dan juga telur ayam di dalam wadah karton. Aku berjalan gontai menuju halte yang tak jauh dari apartemen Lea.
Sambil menunggu angkutan yang akan membawaku pulang, aku menangis terduduk di halte. Suasana halte yang sepi membuatku sedikit lega karena itu berarti aku terbebas dari pandangan aneh orang lain yang menunggu angkutan (dan pandangan itu bisa berlanjut kalau dia menaiki angkutan yang sama denganku). Aku berusaha mengingat kembali semua kejadian menyakitkan tadi. Kenapa mereka begitu tega melakukan hal itu kepadaku? Apa salahku pada mereka hingga mereka begitu kejam melakukan itu semua.
Berusaha berpikir secara positif, aku mencari pembenaran dari semua kejadian yang baru kulihat. Apa mungkin Tio sedang tidak enak badan sehingga Lea membantunya kerokan. Pasti itu! Tio tidak enak badan dan Lea membantunya kerokan. Dengan telanjang bulat dan saling menindih. Sekali lagi aku menangisi kebodohanku mencari alasan. Tidak ada alasan yang bisa diterima atas semua kejadian barusan. Bagaimana bisa aku masih mengharapkan alasan yang lebih logis dari sebuah pengkhianatan dan perselingkuhan
Supaya suara tangisku tak terlalu keras, aku mengunyah tomat yang ada di kantong belanjaku dan berusaha menelannya sembari terisak. Rasanya tomat yang manis tak mampu menyamarkan rasa getir di hatiku, tapi mengunyah tomat berhasil membuat isak tangisku berhenti. Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam berhenti tepat di depan halte, dan itu membuatku berusaha mengendalikan diriku. Sembari berpura-pura tidak memperhatikan, aku menatap ke arah lain seakan menunggu angkutan yang berhenti.
“Rima?”
Aku tercekat mendengar namaku dipanggil. Sambil berharap bukan Tio yang memanggil namaku, aku mencari sosok itu. Seorang pria dengan setelan jas necis juga kacamata hitam yang menutup matanya, melihat kearahku dari dalam kaca mobil yang terbuka. Siapa pria ini? Apa dia yang barusan memanggil namaku?
Pria itu turun dari mobil sedan itu dan berjalan ke arah halte tempatku menunggu (berjalan ke arahku secara pastinya). Dia tersenyum kemudian kembali memanggil namaku. Aku masih melongo menatap perawakan pria itu yang terlihat begitu menarik itu. Ketika kacamata hitam itu terbuka, aku melihat dua bola mata yang berwarna kelabu di wajah tampan pria itu. Aku melongo semakin lebar karena akhirnya bisa mengenali pria itu.
“Endo?” tanyaku sambil menyesap ingus yang sedang asiknya membanjiri hidungku.
Pria itu tersenyum dengan senyum yang sama seperti ketika kami masih duduk di bangku SMA.