1-Sahabat Hebat

1710 Kata
Kau membuat ku merasa hebat... Karena ketulusan cintamu Ku merasa teristimewa hanya... Hanya karena cinta Kau beri padaku sepenuhnya... Buatku selalu merasa berarti Hebat By Tangga >>>>>  Aku hanyalah seorang perempuan biasa, pencinta drama Korea dan novel happy ending garis keras, berusia 20 menjelang 21 tahun dan menyukai side job atau freelance menjelang hiruk pikuk kerepotanku menyusun skripsi. Demi Lee Jong Suk oppa, aku hanya mahasiswi semester akhir jurusan Ilmu Adiministrasi Bisnis, tapi kata sahabat-sahabatku kesibukanku mengalahkan seorang mahasiswi kedokteran yang sedang mengambil gelar spesialis. Meskipun tergolong belum mapan, tapi kegemaranku pada freelance cukup mengantarkanku sudah mampu memenuhi segala kebutuhan hidup dan membiayai kuliahku sendiri di tanah rantau ini, tanpa merepotkan kedua orang tuaku yang berada nan jauh di mato. Pagi ini aku memarkir Honda Beat putihku di tempat biasa dan mendesah pasrah saat mengingat apa yang akan aku lakukan di tempat ini. Tidak boleh lelah. Ganbate! Teriakku dalam hati menyemangati diri sendiri. Arloji yang melingkar di pergelangan tangan kananku jarum pendeknya menunjuk tepat di angka enam. Kupercepat langkah menuju lantai dua gedung FISIP ini. Aku nggak boleh terlambat semenit pun. Pertama, aku menuju perpustakaan kampus yang berada di ujung lantai dua. Etdah, bukan untuk mengembalikan atau meminjam buku, tapi membereskan tumpukan buku dan skripsi yang ada di perpustakaan. Ini salah satu side job-ku. Lumayan lah, satu jam membereskan buku-buku dan skripsi yang berantakan. Selain untuk menambah uang jajanku, aku bisa sekaligus menghafal buku-buku apa saja yang ada di perpustakaan kampus. Siapa tahu aku membutuhkannya nanti saat menyusun skripsi. Nanti tapi ya, bukan sekarang. Satu jam kemudian aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Aku menerima uang dari Mbak Devi, petugas perpustakaan. Mestinya yang aku kerjakan adalah tugasnya. Dasarnya pemalas, dia rela merogoh kocek hanya untuk mencari orang yang mau mengerjakan tugasnya. Dari perpustakaan kampus, aku menuju ruang akademik mencari ketua program studi. Nah itu dia, Bu Mawar. Aku tersenyum melihat perempuan yang susah banget ditemui menjelang musim-musim pengajuan mata kuliah skripsi. Sakti lah pokoknya dia, bisa menghilang secepat kilat kalau mahasiswanya lengah sedikit saja. “Kamu belum melunasi administrasi registrasi. Lunasi dulu baru saya uruskan dosen pembimbing kamu!” Emang cenayang dia ya. Belum juga aku mendaratkan b****g di kursi yang ada di depan mejanya, perempuan berjilbab pink fucia itu sudah memberondongku dengan kalimat menyesakkan di depan belasan orang yang ada di ruangan ini. Hayati malu. Berhubung urat maluku sedang nggak ketinggalan di kosan jadi aku hanya bisa bilang, k*****t lah, dalam hati kecilku. Aku juga berusaha menahan diri untuk tidak merapalkan doa buruk padanya.   Dosa...dosa...ingat dosa! Gue doain diet lu gagal total! Gue doain lu keselek pil diet! Dasar biawak lo! OKE! Kali ini aku khilaf. Bu Mawar sudah keterlaluan dengan menjadikanku bahan ejekan satu ruangan. Maafkan. Akhirnya dengan menahan kesal dan malu aku berlari kecil menuju ruang administrasi menanyakan berapa jumlah yang harus aku lunasi untuk bisa melanjutkan skripsiku yang baru masuk tahap akan mengajukan judul sudah mendapatkan halang dan rintangan. Kedua bola mataku terbuka selebar-lebarnya melihat tagihan yang ada di tanganku sekarang ini. Ya sallam, matilah denai abis ini. Banyak bana ini mandeh tagihannyo. Dengan langkah lesu aku menuju tempat parkir. Di atas motor, aku mengetikkan sederet pesan untuk Amak di kampung, meminta bantuan dana agar aku bisa mengajukan judul skripsiku. Namun berulang kali aku mengetik, tapi berulang kali pula aku hapus. Aku nggak mau merepotkan Amak dan ayah. Itu sudah menjadi tekadku sejak semester empat. Lagi pula masih ada waktu satu minggu lagi untuk melakukan registrasi akademik. Aku bisa mencari side job tambahan untuk melunasi registrasi akademik. Sebuah panggilan muncul di layar ponselku. Rama is calling... Mendadak aku menyanyikan lagu ulang tahun ‘panjang umurnya’ itu ketika nama sahabatku itu muncul. “Kamu di mana? Aku di depan kosmu ini. Lapar upiiiaaakk!” Telingaku berdengung mendengar teriakan bayi besar itu. Tiap kali lapar yang dia ingat hanyalah aku. Belum lagi kalau dia merengek memanggilku upik—sebutan untuk anak perempuan dalam bahasa Minang. “Perut Uda itu kapan coba ngasih tanda kenyang? Aku masih di kampus.” “Udah di acc judulmu?” “Boro-boro di-acc, dilihat aja kagak. Aku masih punya tunggakan jadi nggak bisa ngajuin judul.” “Kita bicarakan di kosmu aja. Cepet dikit. Aku lapar!” Ramaaaa, pengen dicekek banget sih. Kebiasaan main tutup telepon sembarangan. Untung kamu sahabatku, dan aku sayang sama kamu. Huft... *** Rama sudah nggak sabar duduk di depan teras kamarku dengan masih mengenakan pakaian kerjanya. Dia memang kebagian shift malam sebagai dokter jaga IGD di rumah sakit umum. “Masak apa?” tanyanya santai setelah melihat kedatanganku. “Belum masak. Ada mie instan. Mau?” “Nasi?” “Ada kalo cuma nasi.” “Ya udah mau. Dua ya,” ujarnya sambil menampilkan cengiran terbaik yang menggemaskan. Aku hanya menggumam, lalu masuk kamar setelah melepas sepatu. Dapur dan kamarku terpisah, karena memang aku kos di tempat kos standar mahasiswa kelas menengah ke bawah, di mana dapur dan kamar mandi adalah milik umum. Berbeda dengan Rama yang mampu ngekos di tempat kos mahasiswa kelas atas yang luas kamarnya saja tiga kali lipat luas kamarku, memiliki dapur dan kamar mandi pribadi di dalamnya. Kosanku ini juga nggak ada induk semangnya, hanya ada waker atau penjaga keliling kalau sudah jam tutup kos, pukul sepuluh malam. Bentuk bangunan rumah kosku terdiri dari deretan kamar berlantai dua. Lima kamar di lantai dua dan enam kamar di lantai bawah. Di atas lantai dua hanya beton kosong sebagai tempat menjemur pakaian dan tebar pesona sama brondong-brondong di kosan cowok sebelah. Kosku ini dikelilingi oleh pagar setinggi tubuh laki-laki. Kepala Rama nggak kelihatan kalau pintu gerbang sedang tertutup. Nah, tamu laki-laki yang bukan keluarga penghuni kos hanya boleh bertamu sampai depan teras kamar atau di gazebo yang ada di bawah pohon rambutan. Jumlahnya ada dua, tinggal pilih. Rama menikmati sarapannya dengan khidmat. Aku tersenyum melihat wajahnya yang menyenangkan ketika menyantap mie goreng di piringnya. Memandanginya ketika dia makan saja sudah membuat perutku kenyang. Setelah Rama selesai dengan ritual sarapan paginya, aku membereskan bekas piring kotor dan meletakkannya di dekat pintu kamar kos. Aku mengajak Rama duduk di salah satu gazebo di bawah pohon rambutan, yang paling dekat dengan kamar kosku. “Butuh berapa untuk pelunasan registrasi akademiknya?” Rama sudah siap mengeluarkan dompet dari dalam tas ranselnya. “Nggak usah, Da. Aku udah terlalu sering ngerepotin Uda. Utang semester yang lalu aja belum lunas.” Rama mengembuskan napas kasar. Dia memang paling malas berdebat dengan karakter keras kepalaku jika menyangkut soal finansial seperti ini. “Gimana kamu bisa cepet lulus kalo judul skripsi aja belum diajuin? Kamu nggak bisa kerja jadi pegawai tetap kalau cuma mengandalkan ijazah SMA.” “Masih ada waktu seminggu lagi kok. Aku mau cari freelance tambahan. Insya Allah nutut.” Rama berdecak mendengar bantahan dariku. Saat dia sedang berusaha bernegosiasi, aku memotongnya. “Uda pulang aja, istirahat. Aku mau keluar lagi soalnya.” “Mau sampai kapan kamu kayak gini?” Sampai Uda buka hati untuk denai... Sayangnya, itu hanya mampu aku ucapkan dalam hati. “Ya sampai aku dapat pekerjaan tetap lah.” Itu yang sanggup terucap sembari mengulas senyum terbaikku. “Terserah kamu sajalah. Aku pulang dulu ya. Oya, ini uang makanku.” Rama menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepadaku. Sudah menjadi rutinitasnya memberiku uang bulanan seperti ini. Persis seperti seorang suami kepada istrinya ya? Ya, Rama tidak pernah mau makan di luar. Dia hanya mau makan masakanku, meski hanya sekadar mie instant sekalipun. Andai saja anganku menjadi anganmu juga, Rama. Kita pasti menjadi pasangan paling bahagia di muka bumi ini. Halah, gue mulai ngaco lagi. Gara-gara skripsyit nih. Rama keheranan melihat aku memukul kepalaku sendiri. “Kamu baik-baik aja?” “Hah? Iya.... Off course,” jawabku kikuk. “Jangan dipikul sendiri beban kamu. Aku ada di sini untuk kamu. Apa gunanya sahabat kalau tidak bisa saling bantu.” Rama tersenyum lembut padaku setelahnya. Gue maunya dianggep lebih dari sahabat Rama. Ngerti nggak sih lo... Aku mengantar Rama hingga masuk ke dalam Yaris putihnya. Menunggu hingga mobil itu menghilang dari pandanganku. Sampai kapan aku sanggup menahan perasaan ini? Demi Tuhan, aku terlalu bodoh karena sudah menyukai sahabatku sendiri. Dalam hidupku, selama hampir 21 tahun ini hanya ada satu laki-laki yang aku lihat tidak hanya menggunakan mata tapi juga dengan hati. Dia adalah Rama, seorang dokter muda berusia 24 tahun. Kakak angkatan sekaligus sahabatku dari jaman masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku jatuh cinta pada laki-laki yang menganggapku tak lebih dari seorang sahabat bahkan adik perempuan baginya. Empat tahun yang lalu aku bertekad meninggalkan kampung halaman, melintasi selat sunda hingga terdampar di ujung pulau Jawa ini, demi mengejar cinta seorang laki-laki yang telah aku kenal sejak aku duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Perasaan lebih dari sahabat semakin kuat ketika Rama sudah kuliah kedokteran di sebuah universitas yang sangat jauh dari kampung halaman kami, dan mengatakan kalau di tempat asing itu dia mempunyai banyak kenalan baru terutama teman perempuan yang berasal dari Sabang sampai Merauke, seperti lagu Nasional negara ini. Dan aku dengan mudahnya terbakar api cemburu. Siapa yang tidak akan jatuh cinta pada laki-laki sebaik Rama. Siapa yang tidak akan terikat pada pesona seorang Rama. Laki-laki dengan tinggi 175 cm, memiliki punggung lebar, d**a bidang yang diidamkan oleh para wanita tak terkecuali aku. Laki-laki dengan senyuman semanis buah cherry dan tutur bahasa yang ramah dan sopan. Rama dengan karisma dan kecerdasannya yang luar biasa, tak ketinggalan prestasi gemilangnya. Seorang dokter muda, rajin solat dan hafal Al Quran. Memang sih dia bukan hafiz Quran seperti idolaku babang Muzammil, tapi Rama tetap menjadi hafiz Quran terbaik di hadapanku dan berharap dia akan menjadi imam solatku, kelak. Eyaaak...eyaakk... Hei Galz... Segala yang diinginkan oleh perempuan tuh ada pada diri Rama loh, sumveh. Aaahhh... Dia memang terlalu sempurna untuk kuraih. Apalah aku yang cuma serpihan kayu siap disapu ini. Namun aku heran kenapa dia begitu tak acuh pada perempuan mana pun yang mencoba mencuri perhatiannya. Dia selalu menggunakanku sebagai tamengnya jika ingin menolak secara halus perempuan-perempuan yang sedang mencoba meraih hatinya. Kan gadih Minang nan aluih jadi gede rasa kalau diginiin terus. Uda ajak adiak baralek sekarang juga ikhlas kok. Belasan menit sepeninggal Rama dari kosku, sebuah chat masuk ke ponselku. Dari Rama:   Makasi ya upik. Yaaa...Meski cuma mie instan. Kamu tetap sahabat terbaik Uda kok.   Tuh kan tuh kaaan... Selalu begitu setiap kali aku sudah membantunya, memasakkan makanan kesukaannya dan menguruskan segala hal untuknya. Dan sekali lagi aku menegaskan pada diriku, Rama menganggapku tak lebih dari seorang sahabat baginya. Sahabat tidak akan menjadi cinta meski aku menyanyikan lagunya Zigaz yang berjudul Sahabat Jadi Cinta di hadapan Rama sampai bengek. Camkan itu. Huft... ~~~  ^vee^ 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN