bc

Aku Bukan Bidadari

book_age18+
805
IKUTI
5.4K
BACA
others
sex
family
friends to lovers
drama
sweet
bxg
cheating
first love
affair
like
intro-logo
Uraian

Ardian, laki-laki yang penyayang pada anak, tapi memiliki sifat tak bisa menahan amarah. Selalu melampiaskan kemarahan dengan pukulan pada istri. Nina selalu bersabar. Ia memiliki teman kerja yang perhatian. Saat terpuruk karena kelakuan suaminya, ia selalu mencurahkan beban pada temannya itu.

Namun, kedekatan Nina dan Ivan menimbulkan masalah yang memperparah kemarahan Ardian. Ia menuduh Nina berselingkuh.

Ketika Nina kehilangan anak karena ketidakpedulian Ardian, membuat perempuan itu ingin membalas dendam. Ia benar-benar berselingkuh dengan Ivan di depan mata suaminya.

Merasa bersalah karena sudah jahat, Ardian berniat menggugat cerai agar istrinya bisa hidup bahagia bersama Ivan. Namun, angan Nina bersama Ivan runtuh ketika ibu selingkuhannya itu datang menemuinya.

Akankah Ardian menerima Nina kembali setelah dikhianati? Atau, Nina tetap berjuang bersama selingkuhannya?

chap-preview
Pratinjau gratis
Haruskah Menjadi Orang Ketiga?
Betapa bahagia kala cinta kita berbalas. Bukankah semua orang ingin mencinta dan dicintai? Namun, kebahagiaan karena cinta berbalas itu seolah menjadi bumerang dalam kehidupanku. Ungkapan cinta dari laki-laki yang kupuja harusnya melambungkan asa dan menebarkan bunga-bunga bahagia. Ya, harusnya aku tertawa riang menyambut cinta itu. Nyatanya, air mata dan keraguan datang beriringan dengan rasa bernama bahagia. Sultan, laki-laki yang kukenal sejak SMA. Sejak dia menolongku yang hampir pingsan di jalan, itu awal mula kebersamaan kami. Dia sering ke rumah hanya untuk mendengar ocehanku. Katanya, sehari tidak mendengar suaraku ia akan kesulitan tidur. Ke mana pun ia pergi, selalu aku menyertai langkahnya. Hingga muncullah rumor kalau aku dan dia pacaran. Semua orang mengira seperti itu. Aku sangat senang jika rumor itu benar. Nyatanya, sedekat apa pun aku dengan Sultan, sekali pun ia tidak menyatakan perasaannya. Aku merasa ia hanya menunda waktu. Mungkin sampai aku lulus SMA. Karena saat itu, ia bukan bocah tengil. Ia seorang laki-laki dewasa yang sudah bekerja dan mandiri. Keyakinanku bahwa Sultan hanya menunda waktu runtuh. Siang itu di depan mataku, ia menembak seorang cewek cantik. Sialnya, cewek itu yang selama ini sering merundungku. Aku sering dikatai karena berasal dari keluarga miskin. Sepatuku pernah dibuang karena menurutnya tak layak dipakai. Buku pelajaranku pernah disobek. Bahkan aku difitnah di hadapan guru-guru dan membuatku dihukum. Lantas sekarang ia merebut laki-laki yang kucinta. Tidak. Mungkin aku salah jika menuduhnya merebut. Karena aku dan Sultan tidak ada hubungan istimewa kecuali pertemanan. Setelah Sultan dan Fita pacaran, aku kesepian. Sultan tidak lagi datang ke rumah. Tidak lagi menjemputku saat pulang sekolah. Tidak ada chat atau video call basa-basi. Benar-benar terputus. Mungkin Sultan memang sengaja karena tak ingin aku jadi pengganggu. Aku hanya menelan kepedihan. Namun, tetap berusaha ceria agar tak ada yang curiga. Aku hanya tidak ingin membagi luka. Lebih tepatnya tidak ingin ditertawakan karena salah menebar benih cinta. Aku melanjutkan pendidikan di Jogja, sengaja menjauh dari Jakarta. Berharap cintaku pada sultan ikut terkubur. Saat kuliah aku fokus belajar dan tidak memikirkan tentang cinta-cintaan. Beberapa laki-laki mendekat dan berusaha mengambil hati, tetapi hatiku seolah terkunci. Tidak tertarik sama sekali. Bertahun-tahun di negeri orang, akhirnya aku kembali setelah mendapat gelar sarjana. Betapa beruntungnya aku saat seorang kenalan bapak menawarkan pekerjaan. Hanya berselang dua hari setelah kepulanganku, aku resmi menjadi karyawan di Lembaga Kursus dan Pelatihan sebagai tenaga administrasi. Setelah seminggu kerja dan merasa sangat nyaman, aku melihat Sultan. Ia masuk ke ruanganku dengan senyuman khas yang sangat kurindukan. "Hai, Pesek!" Itu panggilan untukku sejak dulu ia sematkan. Aku tidak pernah kesal karena menganggap sebagai panggilan kesayangan dan istimewa. Namun, rasa kesal itu ada setelah ia memilih Fita jadi kekasihnya. Panggilan itu terdengar seperti ejekan. Mungkin karena aku pesek sehingga ia memilih gadis lain. "Mana oleh-olehnya?" Aku menahan diri agar tidak memutar bola mata. Bagaimana bisa ia bersikap sesantai itu setelah menghilang dan tidak pernah menghubungiku. Rasanya ingin memaki, tetapi kutarik napas dan tersenyum mengejek. "Kenapa baru nongol setelah bertahun-tahun? Apa setelah pacaran lupa menanyakan kabar sahabat meski sekadar kirim pesan?" Ia mendekat dan menggetok kepalaku. Kebiasaannya dari dulu tidak pernah berubah. "Gimana aku mau kirim pesan, Pesek? Nomorku aja kamu blokir." "Hah?" Aku tidak pernah melakukan itu. Bahkan sangat berharap ia mengirim pesan atau telepon. Mana mungkin ia menuduhku seperti itu. "Jangan ngaco, deh! Siapa juga yang blokir nomormu?" Ia mendengkus, lalu duduk di meja kerjaku. Semoga saja tidak ada yang masuk dan melihatnya. Bisa runyam kalau aku dikira membawa teman yang tidak tahu sopan santun. "Nih, lihat!" Dia menunjukkan ratusan chat yang gagal terkirim. Aku terngaga dan segera memeriksa ponsel. Benar saja, nomornya ada dalam daftar terblokir. "Aku nggak pernah blokir nomormu. Kok ..." Ingatanku berpendar pada kejadian beberapa tahun silam. Sehari setelah Sultan dan Fita jadian, gadis tukang bully itu mendatangi rumahku. Ingin tanya-tanya tentang Sultan. Karena ia datang dengan tulus meminta maaf, aku pun melayaninya dengan baik. Saat itu aku sempat ke dapur membuatkan minuman dan meninggalkan Fita sendirian di kamar. "Kenapa diam? Masih mau ngebantah?" Aku menggeleng. Tidak ingin memperpanjang sesuatu yang telah terjadi. Mungkin Fita takut aku mengganggu hubungan mereka. Aku tidak mau menyalahkan tindakannya. "Maaf." Seseorang mengetuk pintu, menyelamatkan aku dari tatapan tajam Sultan. Bergegas aku berdiri, membuka pintu, dan menyunggingkan senyum persahabatan pada Pak Asman. Ia guru Bahasa Arab di Lembaga ini. "Makan siang, yuk!" Sebelum menyetujui ajakannya, tanganku telah ditarik. Aku terpaksa melangkah mengikuti langkah Pak Asman. Baru beberapa langkah, genggaman tangan Pak Asman terlepas dan ia terdorong ke depan. Aku berdebar saat melihat Sultan sudah berdiri di samping. Detik selanjutnya ia yang menarikku menjauh dari Pak Asman. Meski tanpa kata, aku merasa istimewa. Berandai-andai kalau itu gambaran kecemburuan yang jelas. Sultan tidak ingin aku dekat dengan laki-laki lain. Setidaknya itu yang kuyakini. Tiba di warung terdekat, ia memesan satu porsi bakso. Aku berdecap. "Kok, cuma satu? Aku juga pengin makan keles." Ia abai. Sibuk menuangkan saos dan kecap, lalu mengaduk-aduk baksonya. Setelah tercampur rata, ia menyuapiku. Saat aku mengunyah, ia mengacak-acak puncak kepalaku. "Di Jogja kelamaan sampai lupa kalau dari dulu kita memang sering pesan satu porsi tiap makan di luar." Aku menggeleng dan tersenyum. Bahagia karena Sultah masih ingat. Porsi makanku kecil. Semangkok bakso biasanya tidak habis dimakan. Sultan sering marah. Maka, tiap kali makan di luar ia tidak ingin pesan lebih dari satu porsi. Rasanya ingin memiliki Sultan selamanya. Namun, aku sadar akan keberadaan Fita. "Gimana kabar Fita? Sehat?" Pertanyaanku tidak dijawab. Yang ditanya sibuk mengunyah bakso. Bersikap seolah tuli. Aku ikut tidak peduli. Malah berharap mereka sudah putus. Jadi, aku bisa memiliki kesempatan bersama Sultan lagi tanpa gangguan perempuan bernama Fita. Hari-hari berlalu, aku dan Sultan kembali dekat. Setiap hari ia mengantarku ke tempat kerja. Pada hari ketujuh barulah aku tahu, lembaga itu milik Sultan. Pantas saja beberapa karyawan mengangguk hormat saat ia datang. Pak Asman yang berusaha mendekatiku pun seolah tidak berani melawan Sultan. Dua minggu berlalu hanya tentang aku dan Sultan. Tidak ada pembahasan tentang Fita atau apa pun. Aku mengira semua akan berjalan sesuai harapan. Namun, harapan itu hancur ketika sore itu Fita tiba-tiba datang ke rumah. "Hai, Nin! Lama enggak dengar kabar. Gimana cowok Jogja? Ada yang kamu gaet?" Akan lebih baik jika Fita marah-marah seperti perempuan lain ketika hubungannya diganggu. Namun, ia datang dengan senyum ramah dan bersahabat. Membawa parcel buah untuk mamaku. Memberikan uang untuk adikku. Bagaimana aku berani merebut pacarnya. "Tunggu saja. Mungkin setahun lagi tuh cowok ke sini lamar aku." Tak ingin merusak suasana, aku berpura-pura membalas tanyanya. Ya, meski sebenarnya aku yakin Fita sudah tahu kedekatanku dengan Sultan dua minggu ini. "Wah, kenapa enggak sekarang saja? Biar kita barengan." "Maksudnya?" Aku waswas. Berharap dugaanku salah dan Fita hanya bercanda. "Tiga hari lagi aku dan Sultan mau nikah, Nin. Sultan enggak cerita, ya?" Dia menutup mulut. "Maaf, mungkin Sultan mau kasih kejutan. Aku malah keceplosan. Duh, kamu pura-pura enggak tahu saja, ya. Aku takut Sultan marah." Darahku mendidih. Debaran jantungku tak terkendali. Itu bukan keceplosan, tetapi kesengajaan. Ya, Fita sengaja memberitahukan pernikahan mereka supaya aku menjauh. Itu taktiknya. Tidak. Itu bukan masalah inti. Masalah sebenarnya kenapa Sultan tidak ingin membicarakan tentang Fita selama ia mendekatiku lagi. Sengajakah ia menyakitiku. Atau, jangan-jangan aku yang terlalu berharap. Tiga hari kemudian, pernikahan sederhana di rumah Sultan terlaksana. Orang tua Fita tidak merestui hubungan mereka. Jadi, kakaknya Fita yang menjadi wali. Selama tiga hari itu Sultan memintaku datang ke rumahnya. Tidak ada kata-kata apa pun. Ia hanya memegang tanganku setiap saat. Sampai-sampai ia diomeli ibunya. "Sebenarnya kamu tuh mau nikah sama Fita atau Nina? Enggak jelas banget jadi laki." Hari-hari berjalan seperti biasa. Aku pergi kerja sendiri. Sultan tidak lagi mengantar jemput. Ia sibuk dengan istrinya. Hingga enam bulan berlalu saat Fita dinyatakan hamil. Sultan datang lagi ke rumahku. Bahkan saat pagi hari, ia datang meminta sarapan. Jika malam, ia bertamu hingga pukul dua belas. Jika tidak diusir Papa, mungkin ia akan menginap. "Kamu tuh kenapa, sih? Punya bini di rumah bukannya minta dilayani malah minta aku layani kebutuhanmu. Memangnya aku binimu?" Omelku pada sore hari saat ia minta dibikinkan kopi. Di rumah hanya ada aku dan Sultan yang baru tiba. Orang tua dan adikku sedang pergi ke rumah nenek. "Apa kamu mau jadi biniku?" tanyanya dengan wajah datar. Tatapannya tajam. "Dih, aku enggak pernah bermimpi jadi istri kedua." Aku membalas dengan tawa sinis, mengira ia bercanda. "Aku akan ceraikan Fita setelah dia lahiran." Aku terbelalak. Mulutku terbuka lebar. Kutatap lekat-lekat wajahnya. Tidak ada nada bercanda di sana. Sultan serius dengan kalimat tersebut. "Jangan gila kamu! Pernikahan bukan mainan. Setelah anak orang kamu hamili, lantas seenaknya ditinggalkan. Dasar laki-laki b***t! Aku mengira kamu laki-laki yang pantas dicintai." "Aku memang pantas dicintai olehmu, Nina. Aku laki-laki yang seharusnya jadi milikmu. Jadi, jangan coba-coba kamu main gila dengan Pak Asman." Aku menggaruk leher yang entah kenapa tiba-tiba terasa gatal. Tidak habis pikir dengan pemikiran Sultan. "Pulanglah! Mungkin kamu butuh dibelai istrimu." "Aku butuh belaianmu." "Sultan, kalau aku memang penting bagi hidupmu, kenapa kamu menikah dengan Fita?" "Karena kamu." Aku tertawa. "Jawaban bodoh. Apa hubungan aku dengan pernikahan gilamu?" Secepat kilat ia menarik kepalaku mendekat dan mengulum bibirku. Sesuatu yang dari dulu kuharapkan. Jujur saja, aku menikmati ciumannya. Tak ingin dilepaskan. Namun, aku sadar ini kesalahan. Aku mendorongnya menjauh. "Pergi! Pergi!" "Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Nin," ujarnya dengan linangan air mata. "Pergi!" Sultan melangkah pergi dan tubuhku seketika merosot ke lantai. Pernyataan cinta yang seharusnya membuatku gembira, tetapi malah mengacaukan hati dan jiwa. Haruskah aku jadi duri dalam rumah tangga mereka?

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
187.3K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
28.9K
bc

TERNODA

read
197.9K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.6K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.0K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
23.3K
bc

My Secret Little Wife

read
131.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook