Sepanjang hari Ara tak berbicara kepada siapa pun. Ray terus memperhatikan gadis itu dari jauh. Dan diam-diam juga Gara memperhatikan Ray yang terus memusatkan perhatiannya pada Ara. Gara merasa ada yang tidak beres dengan dua orang ini.
Sepulang sekolah Ray langsung mengikuti Ara menuju ke parkiran. Gara baru saja akan menyusul keduanya jika dia tidak ingat sudah memiliki janji dengan Gladis untuk pergi ke toko buku.
Ara pulang lebih dulu seperti biasa menggunakan sepedanya. Ray mengikuti gadis itu dari jarak yang cukup tak Ara sadari. Dilihat dari jauh jika Ara tampak melamun. Untung keadaan jalan yang mereka tempuh cukup sepi.
Kalau saja Ray tidak ada di sana dan menghalau motor yang hampir saja menyerempet gadis itu maka Ara sudah terjatuh dari sepedanya sejak tadi. Ray mengembuskan napas lelahnya, ada apa sebenarnya dengan gadis itu?
Ara menghentikan laju sepedanya di sebuah tempat yang sepi. Gadis itu memarkirkan sembarangan di tepi jalan. Ray mengernyit bingung. Ketika dirasa keadaan aman, barulah Ray menyusul Ara yang sudah pergi meninggalkan sepedanya. Ray bersembunyi di balik pohon dan mengamati tingkah aneh Ara. Gadis itu duduk sendirian di rerumputan.
Tak ada siapa pun di sana. Tempat ini sangat mudah ditempati oleh pelaku kejahatan. Ray menunggu apa yang sedang gadis itu lakukan. Namun, Ara tampak diam dengan pandangan kosong di sana.
Kemudian gadis itu tampak mengecek ponselnya. Ray sengaja mengirimi gadis itu pesan. Ara hanya membaca dan tak membalas. Ray tau jika ada yang tidak beres. Gadis itu menelungkupkan kepalanya di lipatan kedua kakinya. Ada yang aneh.
Ray memandang sekitar, masih sepi. Dia pun menyerah dan memilih menghampiri Ara di sana.
"Ra?"
Ray berjongkok dan mengamati dari depan apa yang gadis itu sedang lakukan. Ara menggeleng, bahkan dia tak mengangkat kepalanya.
"Kamu nggak mau pulang? Sebentar lagi akan hujan. Bajumu bisa basah," kata Ray mencoba bersabar. Bagi Ara hujan turun lebih baik. Dengan begitu dia mudah untuk menyembunyikan kesedihan yang ia alami.
Baru beberapa detik yang lalu Ray mengatakan tentang turunnya hujan, tiba-tiba saja hujan rutun rintik-rintik dan perlahan semakin cepat dan deras.
Ray menarik lengan Ara untuk berdiri dan segera berteduh. Namun, gadis itu enggan untuk pergi, Ray terlihat frustasi.
"Ra!" sentak Ray karena kesal dengan sifat keras kepala gadis ini. Bahkan dia memaksa Ara berdiri yang mana dengan terpaksa gadis itu berdiri.
Ara menatap Ray sendu. Ray tertegun di sana. Ara menangis? Kenapa?
"Kamu ..."
"Bisakah aku menikmati hujan ini sebentar, Ray?" pinta gadis ini dengan mata yang sudah memerah karena menahan tangis. Ray mengangguk, dia membiarkan hujan membasahi tubuh keduanya. Membiarkan hujan menghilangkan kesedihan Ara saat itu.
Tangis Ara pun pecah saat itu juga di depan Ray. Pemuda ini tampak tak bisa berkata-kata lagi. Dia tak tau harus merespon seperti apa. Ini adalah kali pertama dia melihat seorang gadis menangis tepat di depan matanya bahkan saat hujan turun. Tangisan Ara benar-benar terdengar mengganggu dan pilu.
Ara menangis tersedu-sedu. Hujan benar-benar menghapus air mata gadis ini. Ara berkamuflase baik dengan hujan.
Ray maju selangkah mendekati Ara, ini terjadi begitu saja. Dia membawa gadis itu ke dekapannya, dan ini juga terjadi begitu saja tanpa ia suruh. Dia menepuk pelan punggung gadis itu. Namun, Ara masih saja terus menangis. Dan Ray hanya bisa menunggu sekarang.
"Apakah aku benar-benar terlihat bergantung padanya? Apakah aku beban untuknya, Ray? Apakah aku terlihat seperti gadis yang tak tau diri?" cecar Ara kala itu. Ray pun di sini paham kenapa gadis ini menangis seperti ini.
Hujan belum juga reda. Jika begini Ray ingin meminta pada Tuhan untuk segera membuat hujan ini reda. Kasihan juga Ara jika terus-terusan berada di udara yang dingin.
"Sudahlah. Kata siapa kamu bergantung padanya? Kamu juga bisa hidup tanpa harus berdekatan dengan dia, Ra. Dan kata siapa kamu beban? Kamu adalah kamu. Pikiran negatif sekarang menghampirimu, itu wajar. Tetapi, jangan terpaku pada pemikiran itu. Kamu harus percaya dengan kata hatimu dan melihat lingkungan sekitarmu dengan mata terbuka," kata Ray mencoba menenangkan gadis ini.
"Tapi ... aku merasa jika aku terlalu bergantung padanya, Ray. Bahkan ini sudah terjadi sejak lama. Aku benar-benar seperti gadis yang tidak tau diri."
"Sudah, sudah, Ra. Jangan salahkan dirimu sendiri. Untuk apa kamu menangisi hal seperti ini? Air matamu terlalu berharga untuk itu," ucap Ray yang melepaskan pelukan hangat itu. Pemuda ini menatap Ara yang masih saja menangis meskipun air matanya sudah tercampur dengan hujan. Dia memberikan senyum terbaiknya di sana.
"Ayo kita pulang. Lihatlah bajumu basah semua," kata Ray yang melepaskan jaket yang selalu ia pakai. Ia berikan jaket itu pada Ara untuk menutupi tubuhnya yang hampir tercetak di seragam putihnya itu. Ara masih saja sesenggukan di sana. Ray membimbingi gadis ini menuju ke tempat di mana sepeda mereka terparkir.
"Kamu mau pulang atau kita berteduh dulu?" tawar Ray. Hujan tak sederas sejak awal tadi sebenarnya, tapi dia memikirkan keadaan Ara. "Kamu bisa menyetir?" tanya Ray. Ara mengangguk, dia tak ingin merepotkan pemuda ini.
"Ayo, aku akan menemanimu sampai rumah," ujar Ray.
Keduanya pun bersama dengan mengayuh sepeda masing-masing di mana Ray berada tepat di belakang Ara untuk menjaga gadis itu. Tindakan Ray ini semata-mata karena dia merasa bertanggungjawab terhadap gadis ini. Dan dia jugalah yang harus menjaga Ara di dunia ini sebelum tugasnya selesai.
Sesampainya di rumah, keduanya disambut oleh ibu dari Ara. Tentu wanita dewasa itu menjadi khawatir melihat putrinya yang basah kuyup.
"Astaga, Ara. Kamu kenapa hujan-hujanan, Nak? Ayo masuk dulu ambil handuk dan ganti baju biar nggak masuk angin," nasihat wanita ini. Ray memperhatikan seberapa perhatiannya wanita ini pada Ara. Pantas saja Ara sangat menyayangi ibunya.
Ibu dari Ara yang melihat keberadaan Ray pun menghampiri pemuda itu. "Kamu temannya Ara, ya?" tanyanya. Tentu timbul pertanyaan dibenak wanita ini ketika Ara membawa teman sekolahnya selain Gara. Yang ibu Ara tau adalah putrinya selalu bersama Gara.
"Iya, Bu. Saya Ray teman sekelas Ara," terang Ray.
"Oh begitu. Terima kasih ya sudah mengantar, Ara. Ayo, kamu masuklah dulu. Bajumu juga basah. Lebih baik kamu pakai baju ganti yang Ibu miliki. Tenang saja, ini baju milik almarhum suami Ibu," tawar wanita ini.
"Ah, tidak usah, Bu. Saya langsung pulang saja," tolak Ray dengan sopan.
"Jangan menolak, Nak. Seragammu basah. Ibu tidak tega melihatnya. Lagi pula apa yang akan orang tuamu katakan ketika melihat putranya basah kuyup karena mengantar anak Ibu? Yuk, masuk," paksa wanita ini. Ray pun tidak enak hati untuk menolak. Dia pun mengiyakan dan mulai masuk ke dalam rumah Ara.
Ray tau jika ibu dari Ara beradagang di rumahnya. Namun, hari ini sedang hujan dan keadaan sepi. Ini sangat lumrah. "Nah, ini bajunya. Kamu gantilah baju di kamar itu," tunjuk wanita ini ke sebuah pintu berwarna cokelat. Ray mengangguk dan segera membawa baju itu ke sana.
Sebenarnya dia bisa dengan mudah mengeringkan pakaiannya yang basah ini. Akan tetapi itu tak mungkin dia lakukan di depan ibu dari Ara.
Setelah berganti pakaian, sudah ada Ara yang menunggunya di ruang tamu. Dan dua teh hangat yang mungkin dibuatkan oleh wanita yang berperan sebagai ibu dari Ara ini.
Ada kecanggungan di antara keduanya. Ara seperti malu karena tadi dia menangis di depan pemuda ini. Apalagi mengingat segala perkataan yang ia katakan.
"Kamu ... terima kasih karena sudah mengantarku." Ucapan terima kasih ini benar-benar Ara ucapkan dengan tulus. Mungkin jika tak ada Ray di sana, dirinya akan jatuh pingsan karena terlalu lama berada di hawa dingin. "Minumlah teh ini. Ibu yang buatkan untukmu," seloroh Ara. Ray mengangguk dan menenggaknya sedikit.
"Sebenarnya aku bisa mengeringkan pakaianku. Tetapi itu tidak mungkin aku lakukan di sini karena nanti ibumu akan curiga. Besok aku akan kembalikan baju milik ayahmu ini," papar Ray. Ara pun mengangguk saja. Kembali terjadi keheningan di antara keduanya. Ray pun juga tak tahu hal apa yang bisa keduanya bicarakan. Sedangkan Ara masih merutuki kebodohannya tadi.
"Kamu tidak perlu memikirkan perkataan Gara. Anggap saja itu tidak pernah kamu dengar," kata Ray yang akhirnya kembali menyampaikan pendapatnya. Ara mengangguk.
Ray berdiri dari duduknya. "Aku akan pergi sekarang. Di luar juga hampir terang. Kamu istirahat dan minum teh hangat agar tidak demam," ucap pemuda ini. Ara pun ikut berdiri untuk mengantar temannya ini.
"Ray, terima kasih," ucap Ara sekali lagi. Ray mengangguk. Dia berpamitan pada ibu dari Ara sebelum pulang.
Ara memperhatikan punggung Ray yang perlahan menghilangi di belokan yang ada di pemukiman tempat ia tinggal.
"Temanmu ganteng juga, Nak. Nggak kalah sama Gara ternyata," celetuk sang ibu membuat Ara langsung menoleh pada wanita itu. "Oh iya, tumben kamu nggak sama Gara?"
Gara? Mengingat nama itu membuat mood gadis ini menjadi buruk lagi. "Mungkin dia sibuk," jawab Ara tak bersemangat. Bahkan dia langsung berbalik dan memilih masuk ke dalam kamar. Melihat keacuhan yang putrinya lakukan membuat sang ibu bertanya-tanya ada apakah dengan keduanya?