Ara berjalan bersisian bersama Ray. Pemuda di sebelahnya ini benar-benar orang yang sama di kedai itu. Bahkan wajahnya tidak berubah.
Meskipun Ara tak mengerti dengan apa yang terjadi, tetapi dia mencoba memahami segala hal yang Ray jelaskan.
Langkah kedua berhenti di lorong sekolah yang sedikit sepi. Jauh di depan sana ada pemandangan yang menyesakkan bagi Ara sendiri. Ray melirik gadis di sebelahnya, dia tersenyum singkat.
"Dia adalah Gladis. Wanita yang kelak akan menjadi istrinya Gara."
"Aku tau itu!" seru Ara. Kenapa juga Ray mengingatkan perihal itu? Seketika mood Ara berubah menjadi buruk. Melihat perubahan ekspreis gadis itu membuat Ray tersenyum. Entah kenapa ekspresi lucu Ara menjadi hiburan tersendiri baginya.
"Ayo," ajak Ray sambil menarik tangan Ara dengan lembut. Ara terkejut, dan semakin panik kala pemuda di sebelahnya berjalan menuju ke tempat Gara dan Gladis.
"Yak! Kamu mau bawa aku ke mana?" protes gadis ini.
"Membawamu kepada mereka. Tugasku di sini tidak hanya membuat dirimu bertemu dengan Gara saja, tetapi aku juga turut membantu mengungkapkan perasaanmu padanya," jelas Ray.
Otak Ara mencoba mencerna. Dari dulu memang dirinya lemot, bahkan di usia 30 tahun juga masih sama.
"Ingat ya, Ray. Kita hanya berusaha agar aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya, tetapi tetap saja aku tidak ingin merebut Gara dari Gladis."
Langkah Ray terhenti diikuti oleh Ara juga. "Jadi, kamu tetap akan merelakan cinta pertamamu pada orang lain?" tanya Ray yang diangguki mantab oleh gadis ini. "Baiklah, kita lakukan itu bersama," putus Ray yang kembali membawa Ara menuju ke tempat dua remaja di sana.
Kedua telah sampai di tempat Gara dan Gladis mengobrol, di mana kedua orang dengan inisial yang sama itu langsung menoleh. Gara mengernyit ketika melihat keberadaan Ara bersama pemuda yang tak dikenalinya.
Mata Gara reflek menuju ke arah tautan tangan keduanya. Ara yang baru menyadari sesuatu pun langsung melepaskan tangannya. Ray terlihat cuek saja.
"Hai, Ara," sapa Gladis sembari tersenyum hangat kepada gadis itu. Ara nampak membalas senyumnya dengan kaku.
"Siapa dia, Ra?" tanya Gara melirik Ray yang hanya diam sejak tadi.
Ara menoleh kepada Ray. "Dia temanku. Namanya Ray," jawab gadis ini.
Gara sempat mengernyit kala Ara memperkenalkan teman barunya. Namun, Gara tetap menerima kehadiran Ray. Dia mengulurkan tagannya sembari mengatakan namanya. "Aku Gara."
"Ray. Panggil saja begitu," balas Ray yang ikut menjabat tangan pemuda di depannya.
"Halo, aku Gladis," sapa gadis yang berdiri di sebelah Gara. Ray mengangguk saja, dia sudah mengenal keduanya.
"Kamu ... murid pindahankah? Aku baru melihatmu di sekolah ini," tanya Gara.
"Ya, aku baru pindah," jawab Ray asal. Gara dan Gladis pun mengangguk.
"Oh, lihatlah teman-teman. Ini sudah hampir masuk jam kelas. Gara, Ara, dan Ray, aku permisi duluan ya. Kelasku cukup jauh, jadi lebih baik aku kembali sekarang," cetus Gladis.
"Hati-hati, Dis," kata Gara. Melihat perhatian kecil dari pemuda itu membuat Ara sedikit iri. Bahkan Gladis hanya akan kembali ke kelas. Dan tidak akan terjadi apa pun kepada gadis itu nantinya.
Melihat keterdiaman Ara membuat Ray paham. "Sepertinya aku juga harus kembali," celetuk pemuda ini memecah keheningan sekaligus membuat kedua orang itu menatapnya.
"Ara, nanti aku hubungi kamu. Oh iya, jangan lupa janji kita," kata Ray sembari memberikan wink kepada gadis itu. Tentu saja tindakan Ray membuat Ara melotot, tetapi malah membuat Gara bingung dengan interaksi keduanya.
"Aku balik duluan ya. Kamu dan Ara cepatlah kembali ke kelas. Oh iya, aku titip dia, jaga dia baik-baik, ya," ucap Ray kepada Gara yang kemudian pemuda itu berlalu pergi.
Ara menatap punggung Ray yang perlahan semakin kecil. Gara sendiri tak mengerti kenapa Ara melihat pemuda itu terus menerus. Gara menepuk pundak gadis itu pelan. "Ayo, kita ke kelas," ajaknya. Ara mengangguk dan berjalan bersisian bersama Gara.
"Kalian terlihat dekat sekali," celetuk Gara membuat Ara menoleh kepada pemuda itu sembari mengernyit.
"Maksudmu Ray?" tanyanya. Gara mengangguk tanpa perlu repot-repot menoleh. Keduanya masih terus berjalan bersisian menuju ke kelas.
Ara sempat berpikir jika Gara cemburu. Tetapi, dengan cepat dia mengenyahkan pemikiran itu. "Aku hanya berteman dengannya. Menurutku dia teman yang lucu," jelas Ara.
Keduanya telah sampai di depan kelas. "Baiklah, iti bagus. Akhirnya kamu memiliki teman selain diriku. Aku lega, lega karena tidak perlu repot menjagamu lagi," ucap Gara dengan cekikikan sembari berlari masuk ke dalam kelas.
Ara yang mendengar perkataan pemuda itu malah menerimanya dengan serius. Ara berpikir jika dirinya mungkin memang menyusahkan Gara sejak dulu. Gadis itu mengembuskan napas lelahnya dan mulai masuk ke dalam kelas.
***
“Selamat siang, Ibu,” sapa Ara dengan semangat.
Dia baru saja pulang dan sang ibu terlihat sibuk melayani pembeli. Ibu Ara membuka warung di depan rumahnya. Warung kecil-kecilan yang bisa menghidupi keluarga mereka setiap harinya.
“Sini, Bu, biar Ara bantu,” ucap gadis itu yang mengambil alih ulekan yang sedang ibunya kerjakan.
“Hati-hati seragammu. Ibu mau antar makanan dulu,” kata sang ibu. Ara mengangguk saja. Rasanya sangat senang sekali bisa membantu ibunya di sini.
Pembeli terus berdatangan. Tak disangka warung kecil seperti ini bisa banyak peminatnya. Ara sangat berterima kasih sekali kepada wanita paruh baya itu yang sudah berjuang menyekolahkan dirinya hingga lulus. Hanya saja, Ara belum bisa membalas semua itu.
“Nak, kamu masuklah. Kerjakan tugasmu dan belajar di dalam kamar,” perintah sang ibu yang mengambil alih pekerjaan Ara.
Ara sangat ingat sekali tabiat ibunya ini. Ibunya adalah ibu paling terbaik sedunia. Dia tidak pernah membuat Ara lelah, bahkan terkadang dirinya melarang putrinya itu membantunya. Yang padahal Ara sangat ingin membantu.
“Biarkan Ara bantu Ibu sebentar saja. Setidaknya sampai keadaan warung tidak ramai lagi,” timpalnya.
“Kamu keras kepala sekali.”
Satu kalimat yang selalu Ara ingat hingga ia berumur 30 tahun. Rasanya cukup senang bisa kembali ke masa lalu di mana ia kembali bisa bertemu dengan ibunya. Dan Ara berharap semoga dia bisa menebus kebaikan ibunya dan menggunakan waktu yang dipunyanya dengan baik.
“Ara sayang sama Ibu,” tutur gadis ini membuat wanita yang sibuk dengan nasi gorengnya pun melirik putrinya dengan pandangan bingung. Ya, cukup aneh mengungkapkan rasa sayang di saat keadaan seperti ini.
“Ara benar-benar menyayangi Ibu,” kata Ara lagi yang kali ini memeluk tubuh ibunya dari samping. Tentu saja hal ini membuat sang ibu kesulitan memasak.
“Ara, jangan begini, ah. Ibu masih sibuk sekarang. Mending kamu ganti baju dan belajar di dalam kamar. Sayang-sayangannya nanti malam saja kalau warung sudah tutup, ya,” kata si ibu dengan sabar membuat Ara tertawa dibuatnya.
Gadis itu pun mengalah dan langsung membawa tasnya masuk ke dalam rumah. Kemudian, seperti perintah sang ibu, Ara berganti baju dan mulai mengerjakan tugas-tugasnya. Tugas anak SMA untuk dirinya yang sekarang tentu saja menjadi hal mudah baginya. Tidak butuh waktu lama bagi Ara untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan oleh sang guru.
Baru saja ia menutup bukunya dan hendak beralih ke buku lainnya untuk ia pelajari, dering ponsel mengalihkan perhatian gadis ini. Dengan cekatan Ara pun mengambil ponsel yang selalu ia letakkan di meja belajarnya itu. Nama Ray tertera di sana. Cukup aneh ketika manusia ajaib itu bisa menggunakan ponsel sebagai komunikasinya. Dan entah sejak kapan Ray memiliki nomornya. Oh iya, pemuda itu kan ajaib.
“Halo,” sapa Ara lebih dulu.
“Kamu sudah sampai rumah? Sudah baca pesanku?”
“Belum. Memang kenapa?”
“Sekarang Gara sedang berada di taman kota bersama dengan Gladis. Apakah kamu tidak ingin ke sini?”
Ya, sepertinya Ara harus mulai membiasakan diri menerima laporan dari Ray mengenai segala hal yang Gara lakukan seperti bertemu dengan Gladis, pergi ke tempat les, atau tempat lainnya. Apakah dia sudah terlihat seperti penguntit sekarang?
“Jika aku ke sana, apa yang harus aku lakukan?” tanya Ara kemudian. Dia sebenarnya bingung dengan keadaan ini.
“Entahlah. Mungkin kamu bisa ikut bermain dengan segerombolan bocah SD yang sedang main ayunan di sini.”
Jawaban dari Ray membuat Ara terhibur sekarang. Pemuda itu benar-benar bisa melawak juga ternyata.
“Baiklah aku ke sana sekarang,” jawab Ara akhirnya. Kasihan juga jika Ray di sana sendirian.
Ara langsung mengganti bajunya lagi. Ketika dia keluar, keadaan warung tak seramai tadi. Kemudian dia menghampiri sang ibu yang sedang duduk beristirahat. “Bu ... Ara pamit pergi sebentar, ya,” ujarnya sembari mencium punggung tangan yang sudah tak sehalus dulu itu. Maklum, ibunya bekerja setiap hari, berperang dengan peralatan dapur.
“Hati-hati, Nak.”
“Baik, Bu.”
Cukup dengan berjalan kaki Ara pun bisa sampai di taman kota. Maklum, jaraknya cukup dekat dengan daerah rumahnya. Ara mencoba menghubungi Ray yang tak kunjung diangkat oleh pemuda itu. Atau jangan-jangan Ray sudah pulang?
Sebuah tepukan di bahunya membuat Ara langsung menoleh. Tentu saja pemuda berhoddie abu-abu itu adalah Ray.
“Gara di sebelah sana,” tunjuk Ray ke arah lain. Ara mengangguk. Bersama dengan Ray dia menuju ke tempat Gara dan Gladis bertemu. Ray menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Mereka bersembunyi di balik tanaman yang tumbuh lebat sehingga bisa menutupi tubuh keduanya.
Ara memperhatian seorang pemuda yang membelakanginya di sana. Itu adalah Gara, tetapi dia sendirian. Mungkin Gladis belum datang. “Aku sengaja mengikutinya sejak sepulang sekolah tadi,” ungkap Ray.
“Berapa lama dia di sana?” tanya Ara.
“Tidak terlalu lama. Mungkin Gladis sedang perjalanan ke sini.”
“Baiklah, kita tunggu mereka datang.”
“Hei, kenapa begitu? Kenapa tidak kamu saja yang mendatanginya?” sergah Ray cepat. Ara menatap pemuda itu dengan sabar. Ray lupa dengan tujuan mereka.
“Ray ... apakah kamu lupa dengan apa yang aku katakan? Aku kembali ke masa ini hanya untuk mengungkapkan perasaanku yang belum pernah aku katakan kepadanya. Hanya itu. Bukan malah menghancurkan hubungan Gara dan Gladis,” ujarnya.
Entah sudah berapa kali ia tekankan kepada pemuda ini jika dirinya tak ingin menjadi orang ketiga meskipun kenyataannya adalah Gara dan Gladis tidak sedang dalam masa pacaran.
“Aku hanya memberi saran, Ra. Bukankah lebih cepat kamu mengungkapkan perasaanmu akan lebih bagus? Bagaimana jika nantinya Gara berubah pikiran dan malah memikirkan perasaanmu dibandingkan Gladis?”
Ara tertawa di tempatnya, pemikiran Ray benar-benar aneh. Sudah ia katakan dengan jelas jika dirinya tak ingin mengubah masa depan. Keinginan dirinya hanyalah menyatakan perasaanya pada Gara di waktu yang tepat.
“Sudahlah, aku tidak ingin kita berdebat sekarang. Sudah berapa lama dia menunggu di sana?” tanya Ara.
“Setengah jam,” jawab Ray setelah melihat jam di pergelangan tangannya.
“Kenapa Gladis lama sekali?” tanya Ara. Kemudian dia terdiam. Dirinya mengingat kejadian ini di mana Gara mampir ke rumahnya untuk bercerita jika Gladis tak datang. “Aku ingat!” pekiknya membuat Ray langsung mengubah atensinya itu.
“Apa?”
“Gladis tidak jadi datang. Ya, aku ingat jika Gara setelah ini akan ke rumahku untuk menceritakan pertemuannya dengan Gladis yang gagal ini,” ungkapnya.
Ray mengangguk paham. “Kalau begitu kamu ajak pulang saja dia. Toh, akhirnya Gara tak akan bertemu dengan Gladis, bukan?” usul Ray yang masuk akal juga.
Ara pun langsung menuju ke tempat temannya itu berada. Gara yang melihat Ara di sana pun nampak terkejut. “Gara, ayo kita pulang,” ajak gadis ini.
“Tidak, Ra. Aku sedang menunggu Gladis di sini. Kita sudah janjian,” jawab pemuda itu sembari memperhatikan jarum jam yang terus berjalan.
“Dia tidak akan datang. Percayalah kepadaku,” ungkap gadis ini.
Pemuda itu pun tertawa mendengar perkataan Ara yang sangat meyakinkan. Tentu saja Ara merasa bodoh karena gegabah mengatakan apa yang terjadi selanjutnya. Seharusnya dia membiarkan Gara menunggu. Lihatlah, tentu saja pemuda ini tak akan percaya.
“Kamu sudah seperti cenayang saja. Aku tidak pulang dulu. Kasihan dia jika ke sini dan aku sudah pergi,” kata Gara yang masih tetap pada pendiriannya.
“Kalau begitu biar aku temani kamu di sini,” putus Ara akhirnya sembari duduk tepat di sebelah pemuda itu. Gara diam, dia tak mempermasalahkan jika Ara ikut menunggu.
Sedangkan Ray terlihat memperhatikan keduanya dari jauh. Ya, dia memastikan jika Ara baik-baik saja. Itulah tugasnya setelah membawa paksa gadis itu ke masa sekarang. Membawa paksa?