Bagian 3

1437 Kata
Gara mengembuskan napas beratnya. Bersama Ara, dia berjalan bersisian untuk pulang. Ray ternyata tetap mengikuti keduanya meskipun dari jarak yang cukup jauh. Sekali lagi Gara melihat ponselnya, tak ada pesan apa pun dari Gladis. Bahkan gadis itu tak mengangkat panggilannya dan membalas pesannya juga. "Mungkin Gladis sedang sibuk dan ada keadaan mendesak," ucap Ara mencoba menenangkan pemuda di sebelahnya. Dia ingat jika besok Gladis akan menjelaskan kepada Gara jika hari ini dia tak jadi datang karena ibunya tiba-tiba masuk rumah sakit. Untuk itu juga Gladis tak menjawab pesan atau panggilan yang Gara lakukan. Gara tersenyum sedikit. "Mungkin kamu benar, Ra." "Jangan lesu gitu, dong. Bagaimana kalau kita main aja? Lagi pula kenapa kamu ngajak Gladis ketemuan di taman?" tanya Ara. Gara menghentikan langkah kakinya, Ara pun juga sama. Ray nampak bersembunyi di balik pohon. "Hari ini aku ingin mengungkapkan perasaanku kepada Gladis," kata Gara yang mana membuat hati Ara seakan runtuh saat itu. Gadis ini bahkan tak bergerak dari tempatnya, tak ada ekspresi yang jelas di wajahnya. Ray yang melihat tingkah Ara pun tampak bingung. Bukankah Ara bilang jika dirinya tak pernah mengganggu hubungan Gara dan Gladis? Lantas kenapa dia terlihat syok dan sedikit sedih sekarang. "Ah, aku terkejut sekali mendengarnya," balas Ara dengan suara tawa yang ia paksakan. "Tapi, bukankah ini terlalu cepat dilakukan? Apakah kamu tidak mau menunggu beberapa minggu atau bulan lagi?" lanjut Ara. Gara terdiam. "Apakah kamu berpikir jika aku terlalu cepat bertindak?" Ara mengangguk. Gara tersenyum kecut. "Mungkin kamu benar," kata Gara sembari melanjutkan jalannya. "Lain kali sepertinya aku harus membicarakannya di sekolah saja," sambungnya. Ara mengangguk setuju, itu lebih baik. *** Keesokan harinya seperti biasa Ara pergi sekolah menggunakan sepeda miliknya. Rasanya aneh kembali ke umur remaja seperti ini. Tapi, tujuan Ara tetaplah sama. Dia akan mengungkapkan perasaannya kepada Gara. Tentu tidak sekarang karena terasa aneh kelihatannya ketika Ara jujur di depan Gara. Sebuah sepeda melaju dengan menyamakan sepeda milik Ara. Gadis itu menoleh, ternyata Gara yang menyusulnya. "Kenapa kamu tidak menungguku? Tadi aku ke rumahmu, tetapi Bibi mengatakan jika kamu sudah berangkat," protes Gara. Peluh cukup terlihat banyak di dahi pemuda itu. Ara cekikikan di sana, pasti Gara negbut untuk mengejar dirinya. "Kamu tidak bilang jika akan berangkat bersama," jawab Ara santai. Gara menggeplak kepala gadis itu pelan. Pelan dan tanpa tenaga tentunya, sebuah kebiasaan yang tak baik untuk ditiru. "Kamu lupa atau amnesia? Biasanya juga kita berangkat bersama," sembur Gara yang langsung mempercepat laju sepedanya. Ara mengernyit sembari menatap punggung pemuda itu. Seketika dia menepuk dahinya pelan karena baru mengingat sesuatu. Memang setiap sekolah keduanya berangkat bersama dengan sepeda masing-masing. Tidak selalu, tetapi cukup sering. Kadangkala keduanya bertemu di jalan seperti ini. Ara hendak menyusul Gara, namun tiba-tiba ada sebuah tangan yang memegang lengannya. Dia pun menoleh. Sebuah sepeda kembali menyamakan lajunya dengan miliknya. "Ray," ucap Ara yang akhirnya melihat sosok itu hari ini setelah kemarin keduaya bertemu di taman. "Bagaimana kemarin?" tanya pemuda ini. Seingatnya Ara dan Gara pulang ke rumah gadis itu. Setelahnya Ray pun tak mengikuti mereka kembali karena ia pikir Ara sudah aman jika berada di rumah. "Gara kembali curhat tentang Gladis di rumahku. Btw, aku ingat alasan kenapa Gladis tidak datang kemarin. Sebentar lagi di sekolah dia akan menemui Gara dan menjelaskan jika kemarin dia mengantar ibunya ke rumah sakit." Ray pun paham. Jadi inilah kelebihan kembali ke masa lalu di mana Ara mampu mengingat kejadian-kejadian yang terjadi. "Ah, ya kamu benar. Seharusnya aku mengecek dulu kemarin," sahut Ray. Dia lupa jika memiliki kekuatan di sini. "Eh?" Ara menghentikan laju sepedanya mendadak. Ray pun juga sama mengikuti gadis ini. Pandangan Ara jatuh kepada dua sosok remaja yang sedang dia dan Ray bicarakan barusan saja. Ray pun mengikuti arah pendang gadis ini. Gladis dan Gara berjalan bersisian dengan pemuda itu yang membawa sepeda miliknya. "Karena ibunya di rumah sakit, maka Gladis tidak ada yang mengantar. Jadi dia ke sekolah naik bus," ucap Ray seperti tahu skema cerita ini. Ara menoleh. Dia tahu jika Ray adalah manusia ajaib, tapi tetap saja ini membuatnya terkejut. "Ayo, kita samperin mereka," ajak pemuda ini. "Hei! Jangan. Tidak untuk sekarang, Ray," cegah Ara yang langsung menahan Ray untuk pergi. "Kenapa? Kita sedang dalam misi untuk membuatmu bicara jujur kepada Gara. Hal yang harus kita lakukan adalah mengalihkan perhatiannya dari Gladis. Jika dia terus bersama gadis itu, maka kamu tidak memiliki kesempatan," terang Ray seperti sudah menjadi pakar cinta. Ara memandang pemuda itu sebal. "Bisakah kita tak terlihat agresif. Kedatangan kita yang selalu tiba-tiba akan membuat Gara curiga. Contohnya saja kemarin di taman. Jika aku tidak memiliki alasan yang tepat, dia pasti akan terus menginterogasiku," papar Ara. Ray pun mengembuskan napas lelahnya. Kisah cinta remaja memang meribetkan. "Baiklah. Lantas apa yang akan kamu lakukan sekarang?" tanya Ray. "Putar balik?" tanya Ara yang tak begitu yakin. Ray memutar bole matanya malas, namun pemuda ini malah memutar arah sepedanya ke arah berlawanan. "Ayo," putusnya kemudian. Ara pun tersenyum dan langsung mengikuti Ray yang sudah pergi duluan. Ara memang memilih untuk berputar balik agar tidak bertemu dengan Gara dan Gladis secara langsung. Ara dan Ray sampai lebih dulu di sekolah dibandingkan Gara dan Gladis yang memilih berjalan kaki. Sesekali Ara menoleh ke belakang untuk memastikan kedua orang itu sudah mau sampai ke sekolah atau tidak. "Mereka sebentar lagi pasti sampai," ucap Ray menjawab pertanyaan yang ada di pikiran Ara. Gadis itu menoleh, memincingkan matanya menatap pemuda yang sudah dia klaim ajaib ini. "Ray, jujur padaku. Kamu ini sebenarnya malaikat, kan?" Ray tertawa mendengar tuduhan gadis ini. "Sudah aku katakan jika aku bukanlah malaikat, Ara. Tapi, jika kamu menganggapnya demikian, maka terserah padamu," jawab Ray yang melangkah dengan tenang ke koridor sekolah. Ara menyamakan langkah kakinya dengan pemuda ini. "Tapi kamu aneh. Dan itu membuatku berpikir keras jika kamu memang malaikat," balas gadis ini yang terus mengatakan jika kemungkinan Ray adalah malaikat. Pemuda ini tiba-tiba berhenti, hal yang sama dilakukan oleh Ara. "Kenapa kamu sangat berpikir keras tentang siapa diriku? Kembalinya kamu ke sini adalah untuk pemuda itu Ara. Berfokuslah padanya," kata Ray sembari menunjuk sosok Gara dan Gladis yang baru memasuki area sekolah. Ara melihat keduanya yang terus bersama dengan iri. Namun, dengan cepat gadis ini menggelengkan kepalanya. "Ayo kita ke kelas," ajaknya kepada Ray. Dia tak ingin melihat kemesraan Gladis. Meskipun dia sudah mengatakan jika tak ingin mengganggu hubungan mereka, tetapi tetap saja Ara bisa merasakan cemburu di sini. "Apakah kamu lupa jika kelas kita berbeda?" Ara menghentikan langkah kakinya. Entah sudah berapa kali kedua orang ini terus berhenti di sepanjang koridor. Gadis ini menepuk dahinya pelan. "Kamu berusaha membantuku untuk jujur pada Gara, tetapi entah kenapa kita berada di kelas yang berbeda. Aneh," ucap gadis ini. Dia baru menyadari itu sekarang. Bukankah akan lebih mudah jika Ray sekelas dengannya dan Gara. "Jadi kamu ingin aku tinggal di kelasmu?" tanya Ray yang langsung dijawab anggukan cepat oleh Ara. Menyadari tingkahnya, Ara pun dengan segera menggeleng. Tingkah lucu gadis ini membuat Ray terhibur. "Baiklah, besok aku akan pindah," putus Ray yang membuat Ara terkejut. Ara menyusul Ray yang sudah berjalan lebih dulu. "Semudah itu?" tanyanya tak percaya. Ray mengangguk. Sepertinya Ara harus mengingat siapa sosok Ray di sini. Ray yang ajaib. *** Gadis itu tampak lesu duduk menyendiri di dalam kelas. Seharusnya dia tak menolak ketika Ray mengusulkan ingin menemani Ara di kelas. Salahnya juga. Gara sepertinya tak akan langsung ke kelas karena pemuda itu pasti masih sibuk dengan Gladis. Kembali, Ara mengembuskan napas lelah. Dia benar-benar terlihat kesepian di usia remaja yang mana hanya Gara seorang teman yang ia punya. "Ara!" Panggilan dari arah pintu membuat kepala gadis ini berubah empat puluh lima derajat. Gara baru datang. Dilihat dari ekspresi sepertinya pemuda ini dalam hati yang sedang gembira. Gara langsung duduk di kursi kosong yang ada di sebelah Ara. "Aku bertemu Gladis tadi di jalan," ungkapnya penuh semangat. Ara tau itu, namun sebisa mungkin dia terlihat terkejut. "Gladis menjelaskan alasannya tidak datang kemarin. Ternyata dia menemani ibunya yang masuk rumah sakit. Dia juga minta maaf karena tidak datang." Bagian ini pun Ara sudah tau. Lagi-lagi dia harus berakting. "Benarkah? Kasihan sekali. Terus bagaimana selanjutnya?" Ara mencoba terlihat tertarik dengan pembicaraan ini. "Gladis katanya akan menebus ketidakdatangannya kemarin. Kami akan bertemu kembali di taman sepulang sekolah," jelas Gara. Bolehkah Ara sedih sekarang? Tidak. Dia tetap mendukung hubungan Gara dan Gladis. Bahkan kedua nama mereka memiliki inisial yang sama. Benar-benar cocok. Ara tak tega menghapus senyum di wajah temannya ini. "Oh iya, kenapa kamu sampai di sekolah lebih dulu? Di jalan tadi aku tidak melihatmu," tanya Gara. Ara mengusap tengkuknya pelan. "Aku lewat. Mungkin kamu dan Gladis tidak menyadari itu," jawabnya. Gara pun mengangguk setuju dan mungkin memang benar jika dia tak melihat Ara tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN