"Ayo."
Ray mengajak Ara menuju ke rooftop sekolah. Tempat yang mungkin baru pertama kali Ara kunjungi. Dia tentu tak berani untuk naik ke lantai itu karena takut terkena sanksi. Ya, meskipun dia tak tau ada peraturan pelarang naik ke rooftop atau tidak.
"Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanya Ara. Dia mengikuti Ray yang berdiri di dekat pembatas. Angin menerpa wajahnya, membuat sebagin beberapa rambutnya beterbangan. Dan lagi Ara lupa menguncir rambutnya hari ini.
Gadis itu merogoh sakunya, seingatnya dia membawa satu kuncir rambut. Gotcha! Dia menemukan benda itu. Ara mulai mengumpulkan rambutnya menjadi satu. Ini cukup susah sepertinya mengingat angin di sini cukup kencang.
"Biar aku bantu," kata Ray menawarkan diri.
"Eh?"
Ray membalik tubuh Ara. Dia menempatkan diri di belakang gadis itu. Kemudian dia mengambil alih rambut yang sudah gadis ini kumpulkan. Ara menggigit bibir bawahnya gemas. Belum pernah ada pemuda yang membantunya menguncir rambut seperti ini. Bahkan Gara pun tidak pernah. Yang ada hanyalah Gara usil menariki kuncir rambut Ara yang mana gadis ini kembali susah payah menguncirnya lagi. Menyebalkan.
"Mana?"
Ray meminta kuncir rambut. Ara memberikan benda kecil itu. Cukup telaten Ray melakukan kegiatan ini. Entah dari mana pemuda itu belajar. "Menurutku ini lumayan," komentarnya pada hasil karyanya sendiri.
Ara rasa demikian juga. Dia merasakan kesegaran ketika rambutnya diikat seperti ini. "Terima kasih."
"Hmmm."
Keduanya kembali ke tempat semula. Mengamati siswa-siswi yang berlalu lalang di bawah sana. "Nanti Gara dan Gladis akan kembali bertemu di taman," ungkap Ara kepada Ray. Pemuda itu mengangguk paham, dia juga sudah tahu mengenai ini. Meskipun dia tahu apa yang terjadi di masa depan, tetapi Ray tentu tak tega mengatakan dengan jujur segalanya kepada Ara saat ini.
"Kamu mau mengikuti mereka lagi?" tanya Ray kemudian.
Ara menunduk, dia menggeleng pelan. "Aku berpikir meskipun aku mengikuti mereka, apa yang bisa aku lakukan? Mengamati bagaimana Gara mengungkapkan perasaannya pada Gladis?" kata Ara terdengar sedih. Ray tahu perasaan gadis ini.
"Jiwamu berumur 30 tahun, tapi apakah kamu masih merasakan cinta anak usia 15 tahun?" tanya Ray tiba-tiba. Ara menoleh, dia mengernyit. Dia sendiri tak tahu jawaban atas pertanyaan itu. "Baiklah lupakan pertanyaanku barusan. Kamu tau jika Gara akan bertemu Gladis hari ini. Apakah kamu tidak mau menjadi egois, Ra?"
Ara tersenyuk kecut? Egois? Dia sangat menyayangi Gara. Tentu dia tak tega melihat Gara sedih.
"Rasa sayangku kepada Gara jauh lebih besar dibandingkan egoku, Ray," jawabnya penuh keyakinan. Bahkan Ara menjawabnya dengan senyum di sana.
"Bahkan ketika setiap hari kamu melihat mereka bersama?" imbuh Ray sembari menunjuk dua sosok yang sedang mereka bicarakan tampak duduk berdua mengobrol asyik di bawah sana. Ara kembali lagi-lagi menyaksikan pemandangan ini. Seharusnya dia sudah terbiasa dengan itu.
"Apakah kamu tidak tau berapa lama aku melihat mereka bersama? Lima tahun, Ray. Itu sudah membuatku lebih dari sekedar cemburu," terang Ara. Ray lupa jika Ara tetaplah wanita dewasa.
"Jadi ... kamu akan tetap diam dan menyaksikan kisah cinta mereka selama lima tahun ke depan?"
Ara mengangguk, dia tak memiliki pilihan lain. Ray mengembuskan napas lelahnya. Mungkin jika seseorang seperti Ara diberi kesempatan kembali ke masa lalu maka orang itu akan sekuat tenaga memisahkan Gladis dari Gara. Membuat posisinya menjadi nomor satu di depan pemuda itu. Namun, mengingat Gara di saat terakhir hidupnya masih memikirkan Ara membuat Ray tahu jika pemuda itu juga menyayangi gadis ini.
"Ray ... bolehkah aku bertanya?" ucap Ara dengan pandangan penuh pada pemuda ini dan mengabaikan Gara di bawah sana bersama Gladis.
"Boleh."
"Di mana kamu tinggal?" tanyanya.
Ray mengedikkan bahunya. Ara mengernyit bingung. "Tuhan tak memberiku tempat tinggal di dunia ini. Ketika kita sudah tak bertemu setiap harinya, aku akan kembali ke tempatku untuk mengisi laporan. Setelahnya pun aku akan kembali lagi ke sini," ungkap Ray. Jadi dia semacam bekerja ketika Ara sudah berada di rumah dan aman.
"Tunggu dulu. Kamu tidak tidur?" Ray menggeleng. "Tapi apa kamu pernah mengantuk?"
Ray kembali menggeleng di sana. "Ini benar-benar ajaib. Aku sudah seperti di dalam film," serunya penuh semangat. Ray hanya menggeleng tak percaya melihat perubahan perasaan gadis ini yang sangat cepat. "Tapi ... apakah kamu memiliki keluarga?" tanya Ara kembali.
"Sampai kapan topik ini terus berada di kehidupanku?" tanya Ray.
Ara meringis. "Kamu sangat tau dan mengenalku, jadi apa salahnya jika aku mengenalmu?" Gadis ini paling bisa untuk menjawab pertanyaan semua orang.
"Ya, aku memiliki keluarga. Keluarga yang kumaksud adalah makhluk yang memiliki peran sama sepertiku," jelas Ray. Sebenarnya dia tak boleh menceritakan identitasnya dengan akurat. Tapi, menurutnya ini tak apa-apa selama dia mampu untuk menyimpan hal yang seharusnya tak ia ceritakan.
"Bagaimana dengan perasaan? Apakah kamu memiliki pasangan?"
"Untuk hal itu ... aku tidak bisa menjawabnya Ara. Ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu. Ini janji kami dengan Tuhan," jelas Ray kembali. Ara pun mengangguk, dia tak kembali bertanya. "Bagaimana denganmu? Kenapa kamu mencintai pemuda itu?" tanya Ray balik.
Ara tersenyum. Meskipun di bawah sana Gara sedang asyik bersama Gladis, tetapi Ara tetap bisa menampilkan senyum terbaiknya. "Alasannya hanya satu. Karena kita sejak kecil selalu bersama."
"Alasan yang cukup aneh. Apakah orang yang sejak lama selalu bersama akan ditakdirkan menjadi sebuah pasangan? Aku rasa tidak. Karena di masa depan pun Gara akan menikahi Gladis bukan?"
"Yak! Kenapa kamu merusak suasana hatiku? Aish, kamu benar-benar," sembur Ara cepat. Kenapa Ray membahas masa depan Gara dan Gladis? Ini akan mengingatkan Ara jika Gara akan pergi dari dunia ini di usianya yang ke 25 tahun.
Ray tertawa di sana, bertemu dengan Ara cukup menarik baginya.
"Kamu adalah utusan Tuhan bukan? Apakah kamu tau kapan aku tiada?"
Entah mengapa percakapan keduanya mendadak menjadi serius. Ray tak serta merta langsung menjawab. Ara menatap pemuda ini dan menunggu jawaban apa yang akan ia keluarkan.
"Untuk hal itu ... aku tidak bisa memberitahukan kepadamu," putus Ray. Ini akan melanggar peraturan jika ia nekat.
"Buku yang kamu tunjukkan saat itu buku apa?"
Sepertinya Ara masih mengingatnya. Buku itu menampilkan foto Gara beserta segala informasi mengenai pemuda itu.
"Buku peganganku agar aku tidak lupa akan tugasku," jawab Ray seadanya. Ara pun mengangguk paham.
"Bagaimana dengan ibuku? Apakah di sana juga ada nama ibuku?" tanya Ara lebih lanjut.
Ray menggeleng. "Yang memiliki tugas bukan hanya aku saja. Kami terbagi menjadi beberapa kelompok dan orang."
Gadis ini mengembuskan napas beratnya. Dia terpikir mengenai kematian ibunya yang mungkin dalam kurun waktu lima tahun ke depan akan terjadi. Kematian memang pasti, namun Ara yakin dia akan mengulang kematian orang-orang sekitarnya sebanyak dua kali jika begini.
"Ada apa?" tanya Ray yang melihat wajah murung Ara.
Gadis itu menggeleng. Ara memaksakan senyumnya. "Aku mau beli sesuatu di kantin. Apakah kamu mau ikut?" ajaknya kemudian. Ray terdiam sejenak seperti mempertimbangkan ajakan gadis ini. Ara pun tak habis pikir dengan pemuda ajaib yang selalu didekatnya itu. "Apakah makhluk sepertimu tidak bisa memakan makanan manusia?" tanyanya tiba-tiba. Sebenarnya itulah yang Ara pikirkan.
"Tidak juga. Aku bebas makan apa pun yang ku mau. Ayo, aku akan menemanimu," jawab Ray yang berjalan lebih dulu ke pintu disusul oleh Ara di belakang.
"Ara ke mana?" tanya Gladis kepada sosok pemuda yang duduk tepat di sebelahnya. Padahal tanpa keduanya sadari orang yang sedang Gladis tanyakan memperhatikan keduanya dari arah rofftop.
"Entahlah. Sepertinya dia sedang bersama Ray," jawab Gara tak begitu yakin.
"Ray? Anak baru itu lagi?"
Gara mengangguk sebagai jawabannya. Gladis memandang sekumpulan siswa di lapangan yang sibuk mengejar bola. "Aku rasa Ara sekarang lebih banyak bersama anak itu. Apakah kamu juga merasakan yang sama?" tanya Gladis.
Pemuda ini menoleh, menatap gadis itu dari samping yang mana terlihat semakin mempesona di matanya. Apa yang Gladis katakan memang baru Gara sadari. Ya, Ara lebih banyak bersama Ray ketika di sekolah.
"Mungkin Ara sedang membantu Ray yang mana dia adalah murid baru, bukan?" kata Gladis yang selalu berpikir positif. Kemudian gadis ini beranjak dari duduknya. "Aku mau ke kantin. Bagaimana denganmu?" tanyanya.
Gara ikut berdiri. "Ayo. Aku juga mau beli minum," balas pemuda ini.
"Kamu mau minum apa, Ray?" tanya Ara ketika keduanya sudah berada di depan mesim pendingin yang berisi berbagai minuman dari merk tertentu.
Ray mengamati isi lemari pendingin itu. "Ini," tunjuknya pada botol berukuran sedang yang airnya berwarna orange. Bisa dipastikan jika itu mungkin minuman berasa jeruk.
Ara mengambil minuman dengan rasa yang sama sebanyak dua botol.
"Ara?"
Panggilan yang berasal dari arah sebelahnya membuat gadis ini refleks menoleh. Gladis dan Gara juga berada di kantin. Gara mengamati Ara dan Ray bergantian. Keduanya terlihat kembali bersama.
"Eh? Hai, Gladis, Gara," sapa Ara dengan sedikit kecanggungan di sana. Ara memberikan satu botol minuman milik Ray setelah membayarnya terlebih dahulu. Gara masih memperhatikan gerak-gerik keduanya.
"Kalian mau makan?" tanya Gladis lebih lanjut. Ara pun menggeleng.
"Kamu biasanya malas sarapan. Jadi, lebih baik jika kamu sekarang makan, Ra," sela Gara seperti tahu kebiasaan buruk temannya itu. Ara pun tersenyum kecut, dia melirik Ray yang sejak tadi hanya diam dan tak berniat membantunya. Jujur Ara sedikit tidak nyaman jika berada di satu tempat dengan Gara dan Gladis secara bersamaan.
"Kami sudah makan roti tadi," balas Ray yang membuat ketiganya mengalihkan atensi mereka kepada pemuda ini.
"Ah, iya. Tadi Ray membelikan roti untukku," imbuh Ara. Gladis pun mengangguk paham, gadis itu mengalihkan perhatiannya pada Gara yang masih memandang Ray dan Ara curiga.
"Bagaimana denganmu, Gara? Apakah kamu mau makan?" tanya Gladis.
Gara menggeleng. Dia mengambil satu minuman di lemari pendingin. "Aku hanya butuh minum," katanya.
"Baiklah, aku pun juga sama terlalu malas untuk makan hari ini," ungkap Gladis mengambil satu air di sana juga. Gara mengambil alih minuman Gladis dan langsung membayarnya. Perlakuan yang cukup diacungi jempol. Lagi-lagi Ara merasa risih sekarang.
Ray menarik tangan gadis ini dengan lembut. Keduanya pergi lebih dulu sebelum Gara dan Gladis menyadarinya.
Ray melirik Ara yang masih diam di tempatnya. "Kamu cemburu?" ucap Ray memecah keheningan.
"Rasanya aneh, Ray," jawab Ara yang tak pemuda ini pahami.