BAB 3

943 Kata
"Ini rumah kamu?" Raya mengangguk pelan. "Makasih Om udah mau nganterin aku." "Sama-sama, dan jangan panggil saya Om terus, Raya." Zio menggeram pelan. Raya terkekeh geli. "Iya—Kak?" "Not bad." Zio tersenyum. "Ayo turun, saya anter ke dalam." Raya menahan tangan Zio. "Jangan, Kak!" Zio menoleh dan menaikkan sebelah alisnya. Raya menunduk, menggigit bibir bawahnya, ragu untuk mengatakan sesuatu kepada Zio. "Ibu bakalan marah kalo Kakak ikut masuk." "Marah? Kenapa?" Raya diam. Ia terlalu takut untuk menjelaskan alasannya kepada Zio. Pria itu orang baru dihidupnya, sangat baru. Zio baik kepadanya, bahkan sejak pertemuan mereka kurang dari sepuluh jam ini. Raya bisa merasakan hangatnya sikap Zio kepadanya. Raya takut. Ia takut jika harus menjelaskan hidupnya yang kelam kepada Zio, maka Zio akan menjauhinya. "Nggak pa-pa kalo kamu nggak mau cerita. Ya sudah, kamu sekarang masuk jangan lupa kabarin saya," ujar Zio seraya mengelus punggung tangan Raya. Gadis itu mengangguk. Raya tersenyum kepada Zio sebelum ia keluar dari mobil Zio. Sedangkan Zio belum beranjak, ia masih memperhatikan Raya yang telah masuk ke dalam rumahnya. Rumah sederhana berlantai dua. Zio menyunggingkan senyumnya ketika ia melihat jendela lantai dua dibuka gordennya dan menampakan Raya ada di sana. Sekarang Zio tau jika itu adalah kamar Raya. Zio melajukan mobilnya meninggalkan rumah Raya. Zio sebenarnya sangat penasaran kepada Raya dan ibunya—yang ia tangkap dari cerita Raya terkenal suka marah. Mengapa alasannya? Ibunya Raya sepertinya gampang marah kepada Raya. Zio langsung menelepon Vino. "Halo?" "Vin, gue mau minta tolong sama lo," ucap Zio. "Ini di luar jam kerja, Zi, gue nggak mau buang-buang tenag,." ujar Vino di sebrang telepon. "Gue bayar." "Nah, kalo gitu gue demen. Ada apa?" Zio menghela napasnya pelan. "Cari tau soal Raya. Selengkap-lengkapnya." *** Raya menaruh tas sekolah di atas meja belajarnya. Gadis itu menghela napas panjang. Beruntung saat ia masuk, ibunya sedang tidak ada di rumah dan membuat Raya sedikit bernapas lega karena tidak perlu berpapasan atau berdebat hal yang tidak penting namun selalu dibesar-besarkan dengan ibunya. Pintu kamar Raya terbuka, seorang gadis berseragam SMA berdiri di ambang pintu. "Raya," panggil gadis itu. Raya menoleh. "Ada apa, Kak Dela?" Dela—kakak tirinya—beranjak masuk dan menutup kembali pintu. "Lo kenapa nggak sekolah?" tanya Dela. Raut wajah Raya terlihat gelisah. Dela memang baik kepadanya dibanding ibunya, tapi Raya takut ibunya akan tau bahwa ia tidak berangkat sekolah tadi. "Gue nggak bakalan bilang ibu, Ray, sekarang cerita sama gue kenapa lo nggak sekolah dan kemana?" ujar Dela lalu duduk di samping Raya. "Pas berangkat sekolah tadi, aku pingsan dan hampir ketabrak. Terus orang yang hampir nabrak aku bawa aku ke rumah sakit," ujar Raya. "Lo ketabrak? Ya ampun Raya! Lo nggak pa-pa? Ada yang luka?" tanya Dila heboh, khawatir. Raya bersyukur, meskipun ibunya kerap bersikap seenaknya dan kasar kepadanya, ia masih mempunyai kakak yang baik dan perhatian seperti Dela. Walaupun Dela bukan kakak kandungnya. "Hampir, Kak, nggak kena." "Terus kenapa lo sampe pingsan kalo nggak kena?" tanya Dela lagi. "Aku lemes karena belum makan, makanya aku pingsan," ucap Raya. Dela mendesah pelan. "Ibu nggak nyisain lo makanan lagi?" Raya hanya tersenyum tipis. Itu sudah biasa terjadi kepadanya. "Gue minta maaf ya karena nggak nyisihin makanan buat lo, padahal gue tau kalo ibu bakal ngelakuin itu," ujar Dela merasa bersalah. Raya menggeleng. "Nggak pa-pa, aku udah biasa kok, jadi nggak usah khawatir." Raya tersenyum. "Ibu kemana?" Dela menggeleng. "Mungkin kerja." "Tumben siang, biasanya Ibu kerjanya malem." "Ibu suka ngeluh ngantuk kalo malem. Mungkin dia minta ganti shift sama boss-nya," ujar Dela. Raya mengangguk. "Aku ke bawah dulu ya, takut ada cucian," ucap Raya lalu ia berdiri meninggalkalkan Dela yang masih di kamarnya. Dela menatap Raya yang mulai menghilang di balik pintu. Sebenarnya ia merasa khawatir kepada Raya karena ibunya selalu memperlakukan Raya kurang baik. Tapi setiap kali Dela menegur, sang ibu malah mengabaikannya. "Semoga ini segera berakhir, Ray." *** "Kamu mau ke mana Zio?" tanya Ely—maminya. "Kamu nggak mau makan malem di rumah? Papi kamu sebentar lagi sampai, Zio." "Zio ada urusan, Mi, sama Vino." "Urusan apa?" "Zio pergi dulu, Mi," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Ely. Zio melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota yang lumayan senggang. Restoran cepat saji di dekat kantornya adalah tempat pertemuannya dengan Vino. Zio memarkirkan mobilnya di depan restoran itu dan segera masuk karena Vino sudah menunggunya. Begitu Zio duduk di hadapan Vino, pria itu langsung menyodorkan amplop coklat yang berisikan informasi yang Zio inginkan. "Raya itu yatim piatu," ucap Vino lalu menggigit kentang goreng miliknya. Zio membaca dengan teliti lembaran demi lembaran informasi yang didapat Vino. Hal seperti ini bukanlah hal yang sulit bagi seorang Vino. "Yang dibilang Raya ibu itu adalah ibu tirinya, namanya Aneu. Dia juga punya anak namanya Adela Shafitri," ujar Vino lagi. "Ini soal orangtuanya Raya, beneran?" tanya Zio. Vino berdecak sebal. "Lo kenal gue dari jaman kapan sih, hah? Ya benerlah!" sahutnya kesal. "Ibunya Raya meninggal dua tahun yang lalu karena sakit kanker hati, tepatnya setelah Raya melakukan ujian nasional SMP. Terus ayahnya nikah lagi sama temen kantornya, ya si Aneu ini. Sekitar sembilan bulan yang lalu, ayahnya Raya meninggal kecelakaan, rem mobilnya blong lalu masuk ke jurang karena banting stir," lanjut Vino, menjelaskan. Zio mengusap rahangnya, ia lalu menatap Vino. "Lo bisa cari tau soal ibu tirinya Raya?" "Jangan terlalu jauh, Zi," tegur Vino. Zio menggeleng. "Gue rasa ibu tirinya Raya itu ada yang aneh." "Maksud lo?" tanya Vino tidak mengerti. "Raya selalu bilang kalo ibunya pasti marah ke dia. Terus pas tadi gue nganterin dia pulang, gue mau nganterin dia ke dalem tapi dia ngelarang gue dan bilang kalo gue masuk ibunya bakalan marah. Wajar nggak sih?" Zio menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. "Lo tanya aja sama Raya langsung. Lo mau deket sama dia, ‘kan? Yaudah!" "Gitu?" Vino memutar bola malanya malas. "b**o! Lo ganteng, tajir, pinter, tapi b**o banget soal cinta, Ya Tuhan! Pantesan jomblo mulu." Zio diam, dan malah menatap Vino dengan kesal. "Lo sebenernya niat bantuin gue nggak sih?" "Lo sebenernya niat nggak deketin Raya?" Vino mendengkus. "Nggak ada usahanya banget." "Gue kan baru kenal sama dia. Nggak wajar kalo gue nanya-nanya dia soal kehidupan pribadinya," sahut Zio, ia mengambil kentang goreng milik Vino. "Nanti kalo gue sempet deh." "Lo udah bosen kerja sama gue?" Zio menaikkan satu alisnya. Vino hanya cengar-cengir. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN