BAB 2

1102 Kata
"Lo nggak ada kerjaan apa? Malah nangkring aja di sini," ucap Zio kepada seorang pria yang duduk di sofa dengan kaki selonjoran ke meja. "Harusnya gue yang nanya gitu sama lo. Ngapain aja lo baru nongol sekarang? Sampe ngebatalin meeting tadi pagi lagi," ujar pria itu lalu menurunkan kakinya. "Padahal itu penting, lho. Semua udah kumpul dan cuma lo doang yang nggak ada. Untung aja mereka nggak pada marah karena lo ngebatalin gitu aja." Pria itu mendengkus. "Terus tadi yang lo kirim chat ke gue itu siapa? Britania Raya?" Zio duduk di kursi kerjanya. "Dia cewek yang hampir gue tabrak, terus dia tiba-tiba pingsan dan gue bawa ke rumah sakit," jawab Zio. "Terus kenapa lo nggak biarin dia di sana aja? Kenapa harus nungguin dia?" "Vino, lo percaya nggak sama jatuh cinta pada pandangan pertama?" tanya Zio tiba-tiba.  Vino, sahabatnya itu mengernyitkan dahi heran. "Kenapa lo nanya gitu?" "Jawab aja kali." Vino mengangguk. "Yah, gue percaya sih, soalnya gue pacaran sama Hana itu bisa dibilang gitu juga. Meski gue awalnya menyangkal kalo gue udah jatuh cinta pada pandangan pertama sama dia." Zio diam, ia memainkan pulpen ditangannya sembari memikirkan sesuatu yang sama sekali di luar dugaannya. Benarkah ia menyukai Raya? "Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?" tanya Vino. "Gue—" "Lo jatuh cinta?" Vino membulatkan matanya. "Anjing, sama siapa?" "Gue belum bisa nyebut ini cinta," ucap Zio. "Cewek yang namanya Britania Raya itu? Gila, Zi, dia kayak apa sih sampe-sampe bikin lo tiba-tiba kesemsem gini?" Vino menggelengkan kepalanya tidak percaya. "Dia anak SMA? Anjir, nyokap lo selama ini nyomblangin lo sama banyak cewek bening yang enak dibawa ke ranjang. Tapi lo? Wah!" Vino menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Ia bahkan tidak bisa melanjutkan kata- katanya. Meskipun Zio bilang jika ini belum bisa disebut cinta, tapi ia yakin jika memang Zio telah jatuh hati pada gadis SMA itu. Sungguh kejadian langka! Selama ini maminya Zio sering menjodohkan Zio dengan sederetan wanita cantik, seksi dan berkelas, agar Zio cepat-cepat menikah. Vino sangat tau sekali bagaimana Zio, pria itu sulit untuk jatuh cinta. Tapi sekarang Zio dengan mudahnya jatuh hati kepada seseorang? Anak SMA pula! Zio menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Dia beda banget, Vin. Dia polos, lugu dan senyumnya itu bikin gue nggak bisa lupa." "Sekarang dia dimana?" tanya Vino. "Di apartemen gue." "Ngapain dia di sana?" "Dia kan nggak sekolah, kalo misalkan dia pulang, katanya nanti ibunya bakal marah. Gue nggak ngerti sih kenapa ibunya bakal marah. Kalo dia bilang dia sakit, ibunya nggak bakalan marah dong?" Vino mengangguk. "Betul." "Dia ketakutan banget saat dia nggak masuk sekolah. Dia bilang beasiswanya bakalan dicabut, ibunya bakalan marah dan nggak akan ngebiayain sekolah dia. Aneh nggak sih? Masa orangtua gitu sama anaknya," ujar Zio. Vino mengengguk setuju. "Jadi itu alasan lo nyuruh gue bikin keterangan soal tuh cewek ke sekolahnya?" Zio mengangguk. "Gue nggak akan biarin dia masuk tanpa keterangan. Lo nggak tau Vin gimana ekspresi ketakutannya dia tadi." "Terserah lo deh. Selagi tuh cewek emang baik-baik, gue dukung-dukung aja," ujar Vino lalu melenggang pergi dari ruangan Zio tanpa pamit. *** Ini sudah lebih dari jam dua siang, namun Raya sama sekali tidak mengirim pesan kepadanya. Zio mulai menduga-duga. Apakah Raya pergi dari apartemennya? Apakah Raya sakit dan pingsan lagi? Tidak, Zio sudah mulai berpikiran yang aneh-aneh sekarang. Pria itu mengambil kunci mobil yang ada dilaci meja kerjanya, lalu pergi tanpa mematikan komputernya terlebih dulu. "Mau kemana lo?" tanya Vino dari mejanya, ruangannya tepat di depan ruangan Zio karena Vino adalah sekretarisnya. Yah, Vino adalah sekretaris, sahabat, sekaligus orang kepercayaannya. Zio tidak nyaman memperkerjakan perempuan sebagai sekretarisnya. Zio banyak mendengar skandal antara boss dan sekretaris, jadi Zio tidak mau ia juga menjadi bahan gosip dengan kasus serupa. "Apartemen," jawab Zio tanpa menoleh, pria itu buru-buru memasuki lift khusus. Begitu tiba di basement, Zio bergegas melajukan mobilnya ke apartemennya yang terletak tak jauh dari kantornya. Tak sampai setengah jam, Zio sampai di gedung apartemennya. Pria itu bergegas masuk ke dalam lift dan naik ke lantai 13. Seharusnya Zio tidak sepanik ini hanya karena Raya tidak memberi kabar kepadanya. Tapi ia tidak bisa bohong bahwa ia benar-benar khawatir pada gadis itu. Zio membuka pintu apartemennya. Hal yang pertama ia temukan adalah Raya yang tertidur di sofa dengan keadaan televisi menyala. Zio menghela napas lega, ia berjongkok di depan Raya yang tidur menyamping. Wajah Raya yang sedang tertidur semakin terlihat polos, bibirnya yang berwarna merah ramun membuatnya terlihat semakin cantik. Tangan Zio terulur untuk menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Raya. Melihat Raya, Zio semakin yakin bahwa ia memang menyukai gadis ini. "Saya nggak nyangka akan secepat ini," gumam Zio. Zio duduk di atas karpet bulu, ia diam memperhatikan Raya yang tertidur pulas. Ekspresi wajah Raya yang semula tenang kini berubah seperti panik dan ketakutan. Keningnya berkerut dan tangannya mencengkram erat dasi yang dipakainya. Napas gadis itu terengah-rengah. Zio membelai wajah Raya, menepuknya pelan agar Raya tersadar. "Raya ikut bunda. Raya mau ikut," ucap Raya, lalu gadis itu terisak. "Raya? Bangun." "Bunda, Raya nggak mau di sini, Raya mau ikut," ucapnya lagi. Raya semakin histeris, membuat gadis itu kembali terjaga dan langsung menangis, membuat Zio dengan sigap memeluknya. "Nggak pa-pa, Raya, kamu hanya mimpi," ucap Zio sembari mengelus rambut hitam Raya. Raya terisak, tangannya mencengkram erat jas Zio. "Nggak, ini bukan mimpi," ucap Raya. "Tenang, Raya. Ada saya di sini." "Cuma bunda sama ayah yang ngertiin aku, yang peduli sama aku, yang sayang sama aku," ucap Raya disela isakan tangisnya. "Setelah mereka pergi, nggak ada lagi yang sayang sama aku." "Ada saya, Raya. Saya peduli sama kamu, saya akan menjaga kamu mulai sekarang," ujar Zio. Ia mengurai pelukannya, ia menatap wajah Raya yang basah oleh air mata. "Mulai sekarang kamu jangan sedih, jangan ngerasa sendiri, ada saya di sini," ujar Zio sambil mengusap air mata Raya. "Kenapa Om baik? Aku nggak perlu dikasihanin." Zio menggeleng. "Saya nggak kasihan sama kamu. Saya peduli sama kamu." "Kenapa Om peduli?" Zio hanya tersenyum, ia tidak mungkin mengatakan jika ia menyukai Raya, gadis itu pasti akan merasa tidak nyaman, apalagi ini pertemuan pertama mereka. "Jangan menangis lagi." Raya menunduk, ia meremas rok seragamnya. Pikiran dan perasaannya gelisah. Sudah setahun ini ia selalu memimpikan kedua orangtuanya yang telah meninggal. Raya merindukan mereka yang selalu memeluknya hangat, seperti pelukan Zio barusan. Ah Zio, haruskan Raya percaya pada pria di depannya ini? Jika melihat mata Zio, Raya melihat bahwa pria itu tidak sedang mempermainkannya, Raya tidak menemukan ada tanda-tanda kebohongan di bola mata pria itu. "Percaya sama saya Raya. Saya cuma mau melindungi kamu." Zio mengusap air mata Raya lagi. "Tolong jangan tolak saya." Raya menggigit bibir bawahnya gugup. Ada apa dengannya? Tatapan Zio membuatnya merona tiba-tiba. “Kamu sudah makan?” tanya Zio. Raya menggeleng. Ia memang belum makan karena tadi sehabis menonton televisi, ia langsung ketiduran. “Saya pesen makanan dulu ya. Nanti saya anterin kamu pulang.” Raya menggeleng. “Nggak usah, Om, aku pulang aja.” “Memangnya ini sudah jam pulang sekolah?” tanya Zio. Ah benar, masih tersisa setengah jam lagi menuju pulang sekolah. Zio tersenyum. “Nggak pa-pa, kamu makan dulu aja. Sekalian, saya juga lapar.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN